ILMU, FILSAFAT
DAN AGAMA
DAN RUANG
LINGKUP FILSAFAT ILMU
Sebuah
Dialektika Segitiga
- Pengertian
a. Ilmu
Kata ‘ilmu” merupakan terjemahan dari kata “science”,
yang secara etimologis berasal dari kata latin “scire”, yang artinya “to know”.
Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan
alam yang sifatnya kuantitaif dan objektif.[1]
Menurut Titus, ilmu (science) diartikan sebagai
“common sense” yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap
benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi
yang teliti dan kritis.
Ashkey Montagu sebagaimana yang disunting Endang Saefudin Anshari, mengemukakan
ilmu (science) merupakan pengetahuan yang disusun yang berasal dara pengamatan,
studi, dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang
sedang dipelajari.[2]
Dari beberapa pengertian ilmu yang penulis kemukakan
diatas, dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas bahwa ilmu pada prinsipnya
merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense,
suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode.
b. Filasafat
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“philos” yang artinya cinta, dan “Sophia” yang bermakna kebijaksanaan. Dengan
kata lain filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip
mencari kebenaran atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak
terikat dengan tradisi, dogma dan agama), untuk memperoleh kebenaran. Filsafat
adalah “cinta kebijaksanaan”. Penjelasan “cinta” adalah “mencintai
kebijaksanaan”, dan makna ”kebijaksanaan dapat mengacu pada 3 hal, yaitu: pengetahuan: filosof adalah orang yang
banyak mengetahui hal-hal tertentu. Pengalaman
kehidupan: kebijaksanaan filosof adalah akumulasi pengalaman dan pembelajaran
dalam kehidupan. Pandangan atau wawasan:
filosof adalah orang-orang yang dapat membuat keputusan dan pilihan cerdas dan
cantik.[3]
Makna kunci yang menyusun “cinta kepada kebijaksanaan” adalah kemauan
menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas, dan mempertimbangkan
seluruh wilayah, pemikiran dan memiliki perhatian pada kebenaran, yang semua
itu melalui aktifitas dialog dan diskusi.[4]
Dengan kata lain, “cinta kepada kebijaksanaan” adalah
suatu komitmen, kemauan mengikuti sesutau argumen atau alur pemikiran, ide sampai
pada kesimpulannya. Akan tetapi setiap langkah proses itu selalu terbuka untuk
ditentang, selalu terbuka untuk dibuktikan salah, kesimpulan-kesimpulan yang
dicapai bersifat sementara dan tentatif.[5]
Berfilsafat bertujuan melatih orang berpikir, ”seni
berpikir” adalah diperolehnya sekumpulan keahlian yang memungkinkan terjadinya suatu
bentuk pemikiran tertentu yang disebut pemikiran argumentatif atau kritis.[6]
Brenda Almond, menyatakan berfilsafat sesungguhnya
mencakup 2 komitmen, yaiau: pertama,
berfilsafat menunjukan bahwa anda sedang memperlihatkan komitmen kepada
kebenaran. Kedua, ketika berfilsafat
anda sedang memperlihatkan bahwa anda menerima metode ini, bahwa proses dialog
akan digunakan dimanapun, yang berdasar kejujuran, keterbukaan dan adil.[7]
Lebih jauh lagi, Louis Katssof menjelaskan tujuan
filsafat dengan sebuah analogi: “bahwa filsafat tidak membuat roti. Namun
filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya,
menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungku pada
waktu yang tepat. Secara sederhana hal ini berarti bahwa tujuan filsafat ialah
mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur
semua itu didalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada
pemahaman dan pemahaman membawa kita tindakan yang lebih layak.[8]
c. Agama
Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah,
dan ketidaksanggupan manusia untuk mendefinisikan agama bukan disebabkan oleh
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat
ditawar-tawar lagi karena itu tidak mengherankan jika secara internal muncul
pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja
sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan
menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.
Sumber terjadinya agama terdapat dua kategori, pada
umumnya agama samawi dari langit, agama
yang diperoleh melalui Wahyu illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi. Dan
agama wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang
diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain
Hindu, Budha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau
kepercayaan.
Dalam prakteknya, sulit memisahkan antara wahyu illahi dengan budaya, karena
pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, seruan-seruan pemuka agama meskipun diluar
Kitab Suci-nya, tetapi oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai Perintah
Illahi, sedangkan pemuka-pemuka agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya
dan tidak dapat melepaskan diri dari budaya dalam masa kehidupannya, manusia
selalu dalam jalinan lingkup budaya karena manusia berpikir dan berperilaku.
Berikut beberapa definisi Agama. Kata ‘agama “ berasal
dari bahasa sansekerta A-GAM-A. awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi
atau berjalan” sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang kekal. Dengan
demikian agama adalah “pedoman hidup yang kekal”. Sedangkan menurut kitab
“Sadarigama” agama berasal dari sansekerta IGAMA yang mengandung arti I atau
Iswara, Ga berarti jasmani atau tubuh dan MA berarti Amartha yang bermakna
hidup. Sehingga agama berarti “ilmu guna memahami tentang hakikat hidup dan
keberadanaan Tuhan.[9]
Makna diatas terkesan sangatlah umum, namun jika merujuk kepada
pengertian agama perspektif sosiologi, antropologi dan filsafat, maka akan
diperoleh makna agama yang bisa lebih menarik.
Dari sudut pandang filsafat, agama didefinisikan
dengan suatu unsur mengenai pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai
nilai yang tertinggi, pengabdian kepada suatu kekuasaan yang dipercayai sebagai
sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai dan
sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan dan pengabdian tersebut, baik
dengan jalan melakukan upacara-upacara simbolis maupun melalui perbuatan lain
yang bersifat perseorangan dan bersifat kemasyarakatan.[10]
Sedangkan apabila berlari sedikit ke sudut antropologi
dan sosiologi, Emile Durkheim berpendapat agama adalah satu sistem kepercayaan
dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu
terpisah dan terlarang.[11] Term “sakral”
kemudian dijabarkan oleh Mircea Aliade dengan definisi sakral: Tuhan, Kebaikan.
Dan Profan: Manusia, keburukan.[12]
Max Weber memahamai agama kedalam dua bagian, yaitu: Tradisional
dan Rasional. Agama tradisional adalah agama magis, identik dengan masyarakat primitif,
kehidupan yang dipenuhi warna politeisme (roh, pohon). Agama rasional (Islam,
Yahudi, Kristen), yaitu agama yang tidak melihat bentuk-bentuk ketuhanan dalam
roh-roh, melainkan ke dalam satu atau beberapa bentuk spiritual.[13]
Kajian antropogi Clifford Ceetrz, mengemukakan bahwa
agama adalah sebagai satu sistem kebudayaan, yakni sebuah sistem simbol yang
memberi seseorang ide-ide, sehingga ia mendapatkan motivasi yang kuat, merasakan
sesuatu dan melakukan sesuatu.[14]
Sedangkan definisi agama menurut sosiologi kontemporer,yaitu:
1). Sistem simbol yang berguna
2). Membentuk motivasi-motivasi yang kuat
3). Memformulasikan konsepsi-konsepsi tatanan umum eksistensi
4). Menyelubungi konsep-konsep tersebut dengan faktualisasi
5). Motivasi secara unik dapat ditangkap sebagai sesuatu yang realistis.[15]
Dari berbagai definisi diatas, setidaknya memberi informasi bahwa agama
dari berbagai sudutnya mempunyai definisi dan apresiasi yang berbeda.
- Dialektika Segitiga: Sebuah Elaborasi
Setidaknya dialektika yang terjadi dewasa ini adalah
seputar tarik menarik antara apa hubungan antara ilmu, filsafat dan agama. Dan yang
lebih khusus lagi adalah apa hubungan filsafat dan agama, karena keduanya
berlandaskan metodologi, pemikiran yang berbeda.
Kelihatannya dialektika segitiga tersebut, dapat
dituntaskan dalam sesi diskusi nanti, dan dalam bagian ini penulis sedikit
mengelaborasi tentang dialektika segitiga diatas.
Perlu dijabarkan sebelumnya, bahwa filsafat, ilmu dan
agama pada hakikatnya adalah pengetahuan. Akan tetapi pada kelanjutannya,
ilmu-ilmu tersebut mencapai kemandiriannya dan saling memisahkan diri. Hal ini
diperoleh penjelasan tentang klasifikasi pengetahuan, seperti yang disebutkan
Jujun S. Suriasumantri yang menggolongkan pengetahuan ke dalam 3 bagian, yaitu:
1). Pengetahuan tentang yang baik dan
yang buruk (etika/agama). 2). Pengetahuan tentang yang indah dan yang jelek
(estetika/seni). 3) Pengetahuan tentang yang benar dan yang salah
(logika/ilmu).[16]
Singkatnya, pengetahuan hakikatnya merupakan segenap
apa yang kita ketahui tentang objek tertentu. Dengan demikian ilmu masuk
didalamnya, begitu juga seni dan agama. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan
mengenai alam yang bersifat umum dan impersonal, sementara seni bersifat
individual dan personal. Sedangkan agama bersifat transendental yang berada
diluar pengalaman manusia.
Makna agama yang transendental diatas, dalam konteks
yang lain juga terkadang menimbulkan perbedaan pemahaman, hal ini bisa jadi disebabkan
dengan penggunaan pendekatan dalam memahami agama yang berbeda. Berikut beberapa
pedekatan agama, antara lain:
1). Pendekatan Antropologi: Mengkaji asal usul agama dan pemikirannya. Yaitu
bahwa manusia mempunyai visi hidup sederhana bahwa agama adalah aspek
kemanusiaan fundamental dan permanen. (Max Weber).
2). Pendekatan Feminis: melihat sejauah mana totalitas persesuaian agama
melihat perempuan. (Hampson).
3). Pendekatan Fenomologis: agama adalah rasional dan empiris. Artinya bahwa
agama dipandang sebagai fenomena sehingga agama perlu dikaji secara serius dan memberi
pemahaman tentang humanitas dengan cara yang positif. (Marx).
4). Pendekatan Filosofis: melihat agama dari segi filsafat.
5). Pendekatan Psikologis
6). Pendekatan Sosiologis: melihat interaksi agama dan masyarakat.
7). Pendekatan Teologis
Begitu juga ketika dipermasalahkan apa hubungan antara
filsafat dan agama. Berikut elaborasi hubungan filsafat dengan agama:[17]
1). Filsafat sebagai agama: Plato, Plotinus. Inti dari pendekatan ini
terletak pada ide bahwa dengan merefleksikan watak realitas
tertinggi-kebaiakan-Tuhan, kita dapat menemukan wawasan yang sesungguhnya
mengenai pengalaman manusia dan dunia.
2). Filsafat sebagai pelayan agama: Aquinas, John Lock. Refleksi memberikan
pengertian parsial tentang tuhan dari ultimate spiritual; ia dapat menunjukan
rasionalitas dari proses meyakini bahwa Tuhan ada, mendiskusiakn sifat-sifat
Tuhan, refleksi berfungsi untuk membangun argumentasi-argumentasi yang
menunjukan aktifitas Tuhan dalam sejarah dan kontrol Tuhan terhadap dunia
(Teologi Natural).
3). Filsafat sebagai pembuat ruang bagi keimanan: Immanuel Kant. Refleksi
paling banter hanya dapat memperlihatkan ketidak memadainya dalam membuat
pertimbangan-pertimbangan tentang agama, refleksi membuka kemungkinan agama,
dan menjelaskannya ketergantungan manusia pada wahyu, yang dengannya kita
memperoleh pengetahuan mengenai Tuhan.
4). Filsafat sebagai studi analisis terhadap agama: Antony Flew. Yaitu menganalisis
dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan, menemukan cara kerjanya dan
makna yang dibawanya.
5). Filsafat sebagai studi penalaran yang digunakan dalam pemikiran
keagamaan, melihat secara teliti berbagai konteks dimana orang beriman itu
melangsungkan kehidupannya dan hal yang mempengaruhi keyakinannya dan melihat
bagaimana keyakinan itu diekspresikan dalam doktrin dan praktik.
- Ruang lingkup Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri
mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan.
Adapun untuk memahami filsafat ilmu, ada baiknya menyimak tiga titik
pandang dalam filsafat ilmu.
a.
Filsafat ilmu adalah perumusan world-view yang konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting.
Menurut pandangan ini, merupakan tugas filosof ilmu untuk mengelaborasi
implikasi yang lebih luas dari ilmu.
b.
Filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu yang
didalamnya terdapat konsep-konsep dan teori tentang ilmu yang diananlisi dan
klasifikasikan.
c.
Filsafat ilmu merupakan patokan tingkat kedua, filsafat
ilmu menuntut jawaban terhadap jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan:
-
Karakteristik-karakteristik apa yang membedakan
penyelidikan ilmah dari tipe penyelidikan lain?
-
Kondisi yang bagaimana yang patut dituruti oleh para
ilmuwan dalam penyelidikan alam dan yang harus dicapai bagi suatu penjelasan
ilmiah agar menjadi benar serta? Status
kognitif dari prinsip-prinsip dan hukum ilmiah?
Secara umum, bidang garapan filsafat ilmu adalah ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran
dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah yang tidak terlepas dari
persepsi tentang yang ada, paham monisme: idealisme, speritualisme, dualisme.
Sedangkan Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana dan tata cara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Dan Aksiologi Ilmu berbicara
nailai-nilai dan manfaat ilmu.[18]
Adapun titik perbedaan. Antara lain: a). ilmu dan filsafat adalah hasil
dari sumber yang sama yaitu: ra’yu (akal, budi, rasi) manusia. Sedangkan agama
bersumber dari Wahyu Allah. b). Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan
penyeledikan, pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu
ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau
mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh)
serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali
ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan
menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi
masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk
manusia di permukaan planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif).[19]
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif).[19]
REFERENSI
Mircea Eliade, 2002. Sakral
dan Profan. Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru
Daniel L. Pals, 2006. Dekonstruksi Kebenaran. Jogjakarta:
Ircisod
Max Weber, 2006. The Handbook of Sociology. Jogjakarta:
Ircisod
Emile Durkheim, 2006. The Elementary Forms of The Religious Life.
Jogjakarta: Ircisod
Bryan s. Turner, 2006. Agama dan Teori Sosial. Jogjakarta:
Ircisod
Brian Morris, 2003. Antropologi Agama. Jogjakarta: AK Group
Peter Connolly, 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama.
Jogjakarta: LKis
Louis O. Katssof, 2004. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Tiara
Wacana
DR. Sony Susandra, 2005. Kompilasi Materi Filsafat. Purwokerto:
STAIN Press
W.J.S. Poerwadarminta, 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
[2] IBID.
HAL 23
[3] Peter
Conolly. Aneka Pendekatan Studi Agama. Jogjakarta:LKiS. 2002. Hal
161
[4] Bryan Morros. Antropologi Agama . Jogkarata: AK. Group. 2003. Hal 162
[5] Peter
Conolly. Op cit. hal 50
[6] Bryan
Morris, op cit. hal 50
[7] Ibid.
hal 163
[8] Louis
Katssof. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Tiara Wacana. 2004.
Hal 3
[9] Djawara Putra Petir, MP.,
SH., MH. http://umum.kompasiana.com/2009/06/10/pengertian-agama-secara-umum/.
Diunduh kamis,24 maret 2011
[10] Louis Katssof. Op cit hal 436
[11] Emile
Durkheim. The Elementary Of The Religious
Life. Jogjakarta:Ircisod. 2006. Hal 172-176
[12] Mircea
Eliade. Sakral dan Profan. Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru. Hal 13
[13] Max Weber. The Handbook Of Sociolohy. Jogjakarta: Ircisod. Hal 47
[14] Emile
Durkheim. Op cit. hal 343
[15]
Bryan S. Burner. Op cit. hal 419
[16] DR. Sony Susandra. Op cit. hal 25
[17] Peter Connolly. Op cit. hal 167
[18] im
Dosen Filsafat Ilmu UGM/Koento Wibisono. http://getuk.wordpress.com/2006/11/16/ruang-lingkup-filsafat-ilmu/.
Di u8nduh pada hari rabu 23 maret 2011
[19] http://yudhim.blogspot.com/2008/01/hubungan-ilmu-pengetahuan-filsafat-dan.html.
di unduh pada rabu 23 maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar