Senin, 15 Desember 2014

kajian ilmiah; posisi dan hubungan ilmu, filsafat dan agama



ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA
DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU
Sebuah Dialektika Segitiga

  1. Pengertian
a.      Ilmu
Kata ‘ilmu” merupakan terjemahan dari kata “science”, yang secara etimologis berasal dari kata latin “scire”, yang artinya “to know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitaif dan objektif.[1]
Menurut Titus, ilmu (science) diartikan sebagai “common sense” yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi yang teliti dan kritis.

Ashkey Montagu sebagaimana yang disunting Endang Saefudin Anshari, mengemukakan ilmu (science) merupakan pengetahuan yang disusun yang berasal dara pengamatan, studi, dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.[2]
Dari beberapa pengertian ilmu yang penulis kemukakan diatas, dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas bahwa ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran  secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.

b.      Filasafat
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “philos” yang artinya cinta, dan “Sophia” yang bermakna kebijaksanaan. Dengan kata lain filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip mencari kebenaran atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma dan agama), untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah “cinta kebijaksanaan”. Penjelasan “cinta” adalah “mencintai kebijaksanaan”, dan makna ”kebijaksanaan dapat mengacu pada 3 hal, yaitu: pengetahuan: filosof adalah orang yang banyak mengetahui hal-hal tertentu. Pengalaman kehidupan: kebijaksanaan filosof adalah akumulasi pengalaman dan pembelajaran dalam kehidupan. Pandangan atau wawasan: filosof adalah orang-orang yang dapat membuat keputusan dan pilihan cerdas dan cantik.[3]
Makna kunci yang menyusun “cinta kepada kebijaksanaan” adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas, dan mempertimbangkan seluruh wilayah, pemikiran dan memiliki perhatian pada kebenaran, yang semua itu melalui aktifitas dialog dan diskusi.[4]
Dengan kata lain, “cinta kepada kebijaksanaan” adalah suatu komitmen, kemauan mengikuti sesutau argumen atau alur pemikiran, ide sampai pada kesimpulannya. Akan tetapi setiap langkah proses itu selalu terbuka untuk ditentang, selalu terbuka untuk dibuktikan salah, kesimpulan-kesimpulan yang dicapai bersifat sementara dan tentatif.[5]
Berfilsafat bertujuan melatih orang berpikir, ”seni berpikir” adalah diperolehnya sekumpulan keahlian yang memungkinkan terjadinya suatu bentuk pemikiran tertentu yang disebut pemikiran argumentatif atau kritis.[6]
Brenda Almond, menyatakan berfilsafat sesungguhnya mencakup 2 komitmen, yaiau: pertama, berfilsafat menunjukan bahwa anda sedang memperlihatkan komitmen kepada kebenaran. Kedua, ketika berfilsafat anda sedang memperlihatkan bahwa anda menerima metode ini, bahwa proses dialog akan digunakan dimanapun, yang berdasar kejujuran, keterbukaan dan adil.[7]
Lebih jauh lagi, Louis Katssof menjelaskan tujuan filsafat dengan sebuah analogi: “bahwa filsafat tidak membuat roti. Namun filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat. Secara sederhana hal ini berarti bahwa tujuan filsafat ialah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu didalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita tindakan yang lebih layak.[8]

c.       Agama
Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidaksanggupan manusia untuk mendefinisikan agama bukan disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi karena itu tidak mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.
Sumber terjadinya agama terdapat dua kategori, pada umumnya agama samawi  dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi. Dan agama wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Budha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.
Dalam prakteknya, sulit memisahkan  antara wahyu illahi dengan budaya, karena pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, seruan-seruan pemuka agama meskipun diluar Kitab Suci-nya, tetapi oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai Perintah Illahi, sedangkan pemuka-pemuka agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya dan tidak dapat melepaskan diri dari budaya dalam masa kehidupannya, manusia selalu dalam jalinan lingkup budaya karena manusia berpikir dan berperilaku.
Berikut beberapa definisi Agama. Kata ‘agama “ berasal dari bahasa sansekerta A-GAM-A. awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan” sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang kekal. Dengan demikian agama adalah “pedoman hidup yang kekal”. Sedangkan menurut kitab “Sadarigama” agama berasal dari sansekerta IGAMA yang mengandung arti I atau Iswara, Ga berarti jasmani atau tubuh dan MA berarti Amartha yang bermakna hidup. Sehingga agama berarti “ilmu guna memahami tentang hakikat hidup dan keberadanaan Tuhan.[9]

Makna diatas terkesan sangatlah umum, namun jika merujuk kepada pengertian agama perspektif sosiologi, antropologi dan filsafat, maka akan diperoleh makna agama yang bisa lebih menarik.
Dari sudut pandang filsafat, agama didefinisikan dengan suatu unsur mengenai pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tertinggi, pengabdian kepada suatu kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan dan pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan upacara-upacara simbolis maupun melalui perbuatan lain yang bersifat perseorangan dan bersifat kemasyarakatan.[10]
Sedangkan apabila berlari sedikit ke sudut antropologi dan sosiologi, Emile Durkheim berpendapat agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu terpisah dan terlarang.[11] Term “sakral” kemudian dijabarkan oleh Mircea Aliade dengan definisi sakral: Tuhan, Kebaikan. Dan Profan: Manusia, keburukan.[12]
Max Weber memahamai agama kedalam dua bagian, yaitu: Tradisional dan Rasional. Agama tradisional adalah agama magis, identik dengan masyarakat primitif, kehidupan yang dipenuhi warna politeisme (roh, pohon). Agama rasional (Islam, Yahudi, Kristen), yaitu agama yang tidak melihat bentuk-bentuk ketuhanan dalam roh-roh, melainkan ke dalam satu atau beberapa bentuk spiritual.[13]
Kajian antropogi Clifford Ceetrz, mengemukakan bahwa agama adalah sebagai satu sistem kebudayaan, yakni sebuah sistem simbol yang memberi seseorang ide-ide, sehingga ia mendapatkan motivasi yang kuat, merasakan sesuatu dan melakukan sesuatu.[14]
Sedangkan definisi agama menurut sosiologi kontemporer,yaitu:
1). Sistem simbol yang berguna
2). Membentuk motivasi-motivasi yang kuat
3). Memformulasikan konsepsi-konsepsi tatanan umum eksistensi
4). Menyelubungi konsep-konsep tersebut dengan faktualisasi
5). Motivasi secara unik dapat ditangkap sebagai sesuatu yang realistis.[15]
Dari berbagai definisi diatas, setidaknya memberi informasi bahwa agama dari berbagai sudutnya mempunyai definisi dan apresiasi yang berbeda.

  1. Dialektika Segitiga: Sebuah Elaborasi
Setidaknya dialektika yang terjadi dewasa ini adalah seputar tarik menarik antara apa hubungan antara ilmu, filsafat dan agama. Dan yang lebih khusus lagi adalah apa hubungan filsafat dan agama, karena keduanya berlandaskan metodologi, pemikiran yang berbeda.
Kelihatannya dialektika segitiga tersebut, dapat dituntaskan dalam sesi diskusi nanti, dan dalam bagian ini penulis sedikit mengelaborasi tentang dialektika segitiga diatas.
Perlu dijabarkan sebelumnya, bahwa filsafat, ilmu dan agama pada hakikatnya adalah pengetahuan. Akan tetapi pada kelanjutannya, ilmu-ilmu tersebut mencapai kemandiriannya dan saling memisahkan diri. Hal ini diperoleh penjelasan tentang klasifikasi pengetahuan, seperti yang disebutkan Jujun S. Suriasumantri yang menggolongkan pengetahuan ke dalam 3 bagian, yaitu: 1). Pengetahuan tentang  yang baik dan yang buruk (etika/agama). 2). Pengetahuan tentang yang indah dan yang jelek (estetika/seni). 3) Pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (logika/ilmu).[16]
Singkatnya, pengetahuan hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu. Dengan demikian ilmu masuk didalamnya, begitu juga seni dan agama. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam yang bersifat umum dan impersonal, sementara seni bersifat individual dan personal. Sedangkan agama bersifat transendental yang berada diluar pengalaman manusia.
Makna agama yang transendental diatas, dalam konteks yang lain juga terkadang menimbulkan perbedaan pemahaman, hal ini bisa jadi disebabkan dengan penggunaan pendekatan dalam memahami agama yang berbeda. Berikut beberapa pedekatan agama, antara lain:
1). Pendekatan Antropologi: Mengkaji asal usul agama dan pemikirannya. Yaitu bahwa manusia mempunyai visi hidup sederhana bahwa agama adalah aspek kemanusiaan fundamental dan permanen. (Max Weber).
2). Pendekatan Feminis: melihat sejauah mana totalitas persesuaian agama melihat perempuan. (Hampson).
3). Pendekatan Fenomologis: agama adalah rasional dan empiris. Artinya bahwa agama dipandang sebagai fenomena sehingga agama perlu dikaji secara serius dan memberi pemahaman tentang humanitas dengan cara yang positif. (Marx).
4). Pendekatan Filosofis: melihat agama dari segi filsafat.
5). Pendekatan Psikologis
6). Pendekatan Sosiologis: melihat interaksi agama dan masyarakat.
7). Pendekatan Teologis
Begitu juga ketika dipermasalahkan apa hubungan antara filsafat dan agama. Berikut elaborasi hubungan filsafat dengan agama:[17]
1). Filsafat sebagai agama: Plato, Plotinus. Inti dari pendekatan ini terletak pada ide bahwa dengan merefleksikan watak realitas tertinggi-kebaiakan-Tuhan, kita dapat menemukan wawasan yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia.
2). Filsafat sebagai pelayan agama: Aquinas, John Lock. Refleksi memberikan pengertian parsial tentang tuhan dari ultimate spiritual; ia dapat menunjukan rasionalitas dari proses meyakini bahwa Tuhan ada, mendiskusiakn sifat-sifat Tuhan, refleksi berfungsi untuk membangun argumentasi-argumentasi yang menunjukan aktifitas Tuhan dalam sejarah dan kontrol Tuhan terhadap dunia (Teologi Natural).
3). Filsafat sebagai pembuat ruang bagi keimanan: Immanuel Kant. Refleksi paling banter hanya dapat memperlihatkan ketidak memadainya dalam membuat pertimbangan-pertimbangan tentang agama, refleksi membuka kemungkinan agama, dan menjelaskannya ketergantungan manusia pada wahyu, yang dengannya kita memperoleh pengetahuan mengenai Tuhan.
4). Filsafat sebagai studi analisis terhadap agama: Antony Flew. Yaitu menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan, menemukan cara kerjanya dan makna yang dibawanya.
5). Filsafat sebagai studi penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan, melihat secara teliti berbagai konteks dimana orang beriman itu melangsungkan kehidupannya dan hal yang mempengaruhi keyakinannya dan melihat bagaimana keyakinan itu diekspresikan dalam doktrin dan praktik.

  1. Ruang lingkup Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan.
Adapun untuk memahami filsafat ilmu, ada baiknya menyimak tiga titik pandang dalam filsafat ilmu.
a.       Filsafat ilmu adalah perumusan world-view yang konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, merupakan tugas filosof ilmu untuk mengelaborasi implikasi yang lebih luas dari ilmu.
b.      Filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu yang didalamnya terdapat konsep-konsep dan teori tentang ilmu yang diananlisi dan klasifikasikan.
c.       Filsafat ilmu merupakan patokan tingkat kedua, filsafat ilmu menuntut jawaban terhadap jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan:
-          Karakteristik-karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmah dari tipe penyelidikan lain?
-          Kondisi yang bagaimana yang patut dituruti oleh para ilmuwan dalam penyelidikan alam dan yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar menjadi benar  serta? Status kognitif dari prinsip-prinsip dan hukum ilmiah?
Secara umum, bidang garapan filsafat ilmu adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah yang tidak terlepas dari persepsi tentang yang ada, paham monisme: idealisme, speritualisme, dualisme. Sedangkan Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Dan Aksiologi Ilmu berbicara nailai-nilai dan manfaat ilmu.[18]
Adapun titik perbedaan. Antara lain: a). ilmu dan filsafat adalah hasil dari sumber yang sama yaitu: ra’yu (akal, budi, rasi) manusia. Sedangkan agama bersumber dari Wahyu Allah. b). Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif).[19]

REFERENSI

Mircea Eliade,  2002. Sakral dan Profan. Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru
Daniel L. Pals, 2006. Dekonstruksi Kebenaran. Jogjakarta: Ircisod
Max Weber, 2006. The Handbook of Sociology. Jogjakarta: Ircisod
Emile Durkheim, 2006. The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta: Ircisod
Bryan s. Turner, 2006. Agama dan Teori Sosial. Jogjakarta: Ircisod
Brian Morris, 2003. Antropologi Agama. Jogjakarta: AK Group
Peter Connolly, 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Jogjakarta: LKis
Louis O. Katssof, 2004. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Tiara Wacana
DR. Sony Susandra, 2005. Kompilasi Materi Filsafat. Purwokerto: STAIN Press
W.J.S. Poerwadarminta, 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka


[1]  DR. Sony Susandra, Kompilasi  Materi Filsafat. Purwokerto: STAIN Press. 2005. Hal 30
[2] IBID. HAL 23
[3] Peter Conolly. Aneka Pendekatan  Studi Agama. Jogjakarta:LKiS. 2002. Hal 161
[4]  Bryan Morros. Antropologi Agama . Jogkarata: AK. Group. 2003. Hal 162
[5] Peter Conolly. Op cit. hal 50
[6] Bryan Morris, op cit. hal 50
[7] Ibid. hal 163
[8] Louis Katssof. Pengantar  Filsafat. Jogjakarta: Tiara Wacana. 2004. Hal 3
[9] Djawara Putra Petir, MP., SH., MH. http://umum.kompasiana.com/2009/06/10/pengertian-agama-secara-umum/. Diunduh kamis,24 maret 2011
[10]  Louis Katssof. Op cit hal 436
[11] Emile Durkheim. The Elementary Of The Religious Life. Jogjakarta:Ircisod. 2006. Hal 172-176
[12] Mircea Eliade. Sakral dan Profan.  Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru. Hal 13
[13]  Max Weber. The Handbook Of Sociolohy. Jogjakarta: Ircisod. Hal 47
[14] Emile Durkheim. Op cit. hal 343
[15] Bryan  S. Burner. Op cit. hal 419
[16]  DR. Sony Susandra. Op cit. hal 25
[17]  Peter Connolly. Op cit. hal 167
[18] im Dosen Filsafat Ilmu UGM/Koento Wibisono. http://getuk.wordpress.com/2006/11/16/ruang-lingkup-filsafat-ilmu/. Di u8nduh pada  hari  rabu 23 maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar