Senin, 15 Desember 2014

Ilmu Kalam: Aliran Maturidiyah



ALIRAN MATURIDIYAH



DAFTAR ISI

A. Pendahuluan
B. Pembahasan
1. Riwayat Singkat Al-Maturidi
2. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Maturidi
a. Akal dan Wahyu
b. Perbuatan Manusia

c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d. Sufat Tuhan
e. Melihat Tuhan
f. Kalam Tuhan
g. Perbuatan Manusia
h. Pengutusan Rasul
i. Pelaku Dosa Besar (maurtakib Al-Kabir)

A. PENDAHULUAN
Aliran maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Almaturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifa. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Untuk mengetahui sistem pemikiran Al-maturidi, kita bisa meninggalkan pikiran-pikiran asy’ary dan aliran mu’tasilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya. Maturidiyah dan asy’aryah sering terjadi persamaan pendapat karena persamaan lawan yang dihadapinya yaitu mu’tazilah. Namun, perbedaan dan persamaannya masih ada.
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al-maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah.

B. PEMBAHASAN
1. Riwayat Hidup Al-Maturidi
            Abu Mansyur Al-Maturidi di lahirkan di Maturid, sebuah kota kecl didaerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 / 847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang di pandanginya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Makhaz Asy-Syara’I, Al-Jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-Ba’ad Ar-Rawafid, dan Kitab Radd ‘ala Al-Qaramath.
C. Golongan-Golongan Didalam Maturidiyah itu ada Ada, dua golongan didalam maturidiyah yaitu:
1. Golongan samarkand
Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham qadariyah. Maturidi menolak paham-paham mu’tazilah, antara lain maturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-qur’an itu makhluk. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran al-qur’an. Mesti diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang dengan pendapat asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
1.    Golongan buhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.

D. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a. Akal dan Wahyu
            Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kamampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalaui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya .
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah ,mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing .
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu .
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja . Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu karena perintah Allah dan yang buruk itu karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mi’tazilah dan Al-Asy’ari .

b. Perbuatan Manusia
            Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian, karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia . Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa pernuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat burukjuga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya . Dengan demikian, berarti manusia dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.

c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
            Telah diuraikan diatas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan berkehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

d. Sifat Tuhan
            Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, basher dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu Mulzamah (ada bersama, baca : inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain ad-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian anthropomorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilangnya yang qadim (taadud al-qudama) .
Tampaknya faham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

e. Melihat Tuhan
            Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan terletak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f. Kalam Tuhan
            Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca, sabda)yuang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadtis). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan suau perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Qur’an sebagai sabda tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an. Dalam keonteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut AL-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan .

g. Perbuatan Manusia
            Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tida wajib berbuat ash-shalah wa al-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia) . Setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain :
1. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga di beri kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2. Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

h. Pengutusan Rasul
            Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang di bebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menaurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuan-Nya kepada akalnya .
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupnya.
i. Pelaku Dosa Besar (maurtakib Al-Kabir)
            Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatnnya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal didalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karenma itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.


PENUTUP

Besar harapan penyusun biografi ini agar para pembaca bisa mendalami kajian yang ada dalam biografi ini. Sangatlah jauh dari sempurnaan. Apabila ada istilah atau kata-kata yang tidak signifikan kiralah dimaklumi adanya. Semoga para pembaca mengambil pelajaran terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Rosihan Anwar, M.Ag., Drs. Abdul Rozak, M.Ag., Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar