- DEFINISI
Menurut As-Suyuthi,
kisah dalam al-Qur’an sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari sejarah,
lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan Al-Qur’an. Kisah-kisah dalam
Al-Qur’an merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran kepada ummat
manusia dan bagaimana mereka menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah.
Hal ini dapat dilihat bagaimana Al-Qur’an secara eksplisit berbicara tentang
pentingnya sejarah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 140 : “Dan masa( kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan
diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).”
Muhammad Iqbal menyatakan, “Al-Qur’an dalam memperbincangkan kisah ini
yang bersifat historis, hampir selamanya ia bertujuan hendak memberikan suatu
pengertian moral atau filosofis yang sifatnya universal[1].
Kata “kisah” berasal dari bahasa Arab
yang bentuk jama-nya, yaitu qishah yang berarti kisah, cerita, berita, keadaan
atau tatabbu al-atsar (napak tilas/mengulang kembali masa lalu)[2]. Arti ini diperoleh dari uraian Al-Quran
pada surat Al-Kahfi (18) ayat 64:1
Artinya: “Musa berkata: "Itulah
(tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka
semula”.
Secara
etimologi (bahasa), al-qashash juga berarti urusan (al-amr)[3], berita (khabar), dan
keadaan (hal). Dalam bahasa Indonesia, kata itu diterjemahkan dengan kisah yang
berarti kejadian (riwayat , dan lain sebagainya).
Adapun
secara istilah (terminologi), kisah menurut Muhammad Khalfullah dalam Al-Fann
Al-Qashashiy fi Al-Quran Al-Karim sebagai suatu karya kesusasteraan mengenai
peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku baik pada hakikatnya tidak ada
ataupun benar-benar terjadi yang berkisar pada dirinya ataupun tidak, namun kisah
itu disusun atas dasar seni yang indah, yang mendahulukan sebagian peristiwa
dan membuang sebagian lagi, ataupun ditambahi dengan peristiwa yang tidak
terjadi, sehingga penggambarannya keluar dari kebenaran yang sesungguhnya,
menyebabkan terjadinya para pelaku fiktif.
Sedangkan
yang dimaksud dengan qashash Al-quran disini adalah pemberitaan mengenai
keadaan umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu, dan peristiwa yang pernah terjadi
pada masa dahulu[4].
B. MACAM-MACAM KISAH DALAM Al-QUR’AN
Secara umum kisah-kisah dalam Al-qur’an terbagi menjadi tiga macam,
yaitu:
Pertama, kisah para nabi dan rasul yang mencakup kisah dakwah dan perjuangan mereka menyampaikan risalah kenabian. Kemudian tentang mukjizat yang dikaruniakan kepada mereka. Juga kisah para penentang dakwah mereka, fase dakwah yang dilaluinya serta akibat akhir dari orang beriman dan orang yang kafir.
Kedua, yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penggalan yang sifatnya temporal atau tentang kisah beberapa orang (kelompok) yang bukan nabi maupun rasul. Seperti kisah orang yang keluar dari rumahnya sedang dia dalam keadaan takut akan kematian, atau kisah tentang Jalut, Thalut, kisah tentang dua anak Adam Qabil dan Habil tentang ashabul kahfi, tentang Dzulqornain, Qorun, mereka yang terlibat pada "Peristiwa Sabtu", tentang Maryam, tentang ashabul kahfi ,lukman, tentang tentara gajah.
Ketiga, kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw, seperti kisah tentang terjadinya Perang Badar, Perang Uhud dalam surah Ali Imran, tentang perang Hunain dan Perang Tabuk dalam surah at-Taubah, Perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, tentang peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah, tentang Isra' Mi'raj, Bani Quraizhah, Bani Nadhir, kisah tentang Zaid Bin Haritsah, kisah tentang Abu Lahab dan kisah-kisah yang lain.[5]
Pertama, kisah para nabi dan rasul yang mencakup kisah dakwah dan perjuangan mereka menyampaikan risalah kenabian. Kemudian tentang mukjizat yang dikaruniakan kepada mereka. Juga kisah para penentang dakwah mereka, fase dakwah yang dilaluinya serta akibat akhir dari orang beriman dan orang yang kafir.
Kedua, yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penggalan yang sifatnya temporal atau tentang kisah beberapa orang (kelompok) yang bukan nabi maupun rasul. Seperti kisah orang yang keluar dari rumahnya sedang dia dalam keadaan takut akan kematian, atau kisah tentang Jalut, Thalut, kisah tentang dua anak Adam Qabil dan Habil tentang ashabul kahfi, tentang Dzulqornain, Qorun, mereka yang terlibat pada "Peristiwa Sabtu", tentang Maryam, tentang ashabul kahfi ,lukman, tentang tentara gajah.
Ketiga, kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw, seperti kisah tentang terjadinya Perang Badar, Perang Uhud dalam surah Ali Imran, tentang perang Hunain dan Perang Tabuk dalam surah at-Taubah, Perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, tentang peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah, tentang Isra' Mi'raj, Bani Quraizhah, Bani Nadhir, kisah tentang Zaid Bin Haritsah, kisah tentang Abu Lahab dan kisah-kisah yang lain.[5]
C.
MENGAPA SERING TERULANGNYA KISAH
Di antara kisah-kisah tersebut ada yang hanya
disebutkan sekali saja, seperti kisah Luqman dan pemuda Al-Kahfi, dan ada yang
disebutkan berulang kali, menurut keperluan dan mashlahatnya. Pengulangan itu
tidaklah dalam bentuk yang sama. Namun berbeda-beda bentuknya, kadang panjang,
kadang pendek, kadang lembut dan kadang keras, kadang disebutkan beberapa
bagian dari kisah tersebut di satu tempat dan tidak disebutkan di tempat
lainnya.
Hikmah pengulangan
tersebut adalah sebagai berikut:
- Penjelasan tentang urgensi kisah tersebut. Karena pengulangannya menunjukkan bahwa kisah tersebut penting.
- Penegasan kisah tersebut, agar lebih meresap ke dalam hati manusia.
- Melihat kondisi zaman dan keadaan manusia pada saat itu. Oleh sebab itu, kisah-kisah dalam surat Makkiyah biasanya lebih keras dan lebih ringkas. Sementara kisah-kisah dalam surat-surat Madaniyah sebaliknya, lebih lembut dan lebih panjang.
- Keterangan tentang indahnya balaghah Al Qur’an yang mampu menghadirkan kisah tersebut dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan keadaannya.
- Menunjukkan kebenaran Al Qur’an dan menunjukkan bahwa Al Qur’an berasal dari sisi Allah Ta’ala, di mana kisah-kisah tersebut dihadirkan dalam bentuk yang berbeda-beda tanpa terdapat kontroversi di dalamnya[6].
Al-Qur’an
tidak menceritakan kejadian dan peristiwa-peristiwa secara berurutan
(kronologis) dan tidak pula memaparkan kisah-kisah itu secara panjang lebar.
Al-Qur’an juga mengandung berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang di
beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan disebutkan
dalam Al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Disatu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang
ditempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang secara
panjang lebar. Hal ini menimbulkan perdebatan dikalangan orang-orang yang
meyakini dan orang-orang yang menentang dan meragukan Al-Qur’an. Mereka yang
meragukan seringkali mempertanyakan, mengapa kisah-kisah tersebut tidak
tersusun secara kronologis dan sistematis, sehingga lebih mudah dipahami.
Menurut
Manna’ Khalil Al-Qaththan, bahwa penyajian kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang
demikian itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya :
1).
Menjelaskan Balaghah Al-Qur’an dalam tingkat paling
tinggi. Kisah yang berulang itu dikemukakan disetiap tempat dengan ushlub yang
berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula,
sehingga tidak membuat orang merasa bosan, bahkan dapat menambah kedalam
jiwanya makna-makna baru yang tidak di dapatkan di saat membacanya di tempat
yang lain.
2).Menunjukan kehebatan Al-Qur’an, sebab mengemukakan sesuatu
makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentukpun tidak di
tandingi oleh sastrawan Arab, merupakan dahsyah dan bukti bahwa Al-Qur’an itu
murni datangnya dari Allah SWT.
3).Mengundang perhatian yang besar terhadap kisah tersebut
agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan
salah satu cara pengukuhan dan tanda betapa besarnya perhatian Al-Qur’an
terhadap masalah tersebut. Misalnya kisah Nabi Musa dengan Fir’aun.
Kisah ini mengisahkan pergulatan sengit antara kebenaran dan kebathilan.
4).Penyajian
seperti itu menunjukan perbedaan tujuan yang karenanya kisah itu di ungkapkan.
Sebagian dari makna-maknanya diterangkan di suatu tempat, karena hanya itulah
yang diperlukan, sedangkan makna-makna lainnya dikemukakan di tempat lain,
sesuai dengan keadaan[7].
Dalam sumber yang
lain juga disebutkan, bahwa di dalam Al-Quran terkadang satu kisah disebutkan
beberapa kali dalam tempat yang berbeda. Bahkan cara menguraikannya pun
berbeda-beda, baik dalam mendahulukan dan mengakhirkan (taqdim dan takhir),
maupun dalam hal singkat (i'jaz) dan panjang lebar (ithnab). Tentu saja
pengulangan itu bukan tanpa alasan. Banyak hikmah dan ibroh (pelajaran)
yang dapat dipetik dari pengulangan kisah tersebut, di antaranya:
Pertama, untuk menunjukkan ketinggian sastra (balaghoh) yang dimiliki Al-Quran. Karena di antara karakteristik ketinggian sastra ialah kemampuannya untuk mengungkapkan peristiwa maupun perkara yang hanya satu, dalam gambaran yang bermacam-macam. Kisah-kisah yang diungkapkan Al-Quran dari satu peristiwa mempunyai ciri pengungkapan (uslub) yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan masing-masing uslub (pengungkapan) mempunyai keistimewaan sendiri yang tidak dimiliki uslub (pengungkapan) yang lainnya.
Kisah-kisah itu diungkapkan dalam suasana yang berbeda-beda. Tidak pernah menjadikan pembacanya merasa bosan akan pengulangan, bahkan dari masing-masing pengungkapan itu akan selalu ditemukan nuansa makna baru yang tidak ditemukan di tempat lain. Semua itu termasuk kekuatan mukjizat (quwwatul i'jaaz) yang dimiliki Al-Quran dalam mengungkapkan makna yang satu dalam bentuk yang berbeda-beda. Bangsa Arab sendiri tidak mampu membuatnya meskipun untuk satu bentuksaja.
Kedua, untuk memberikan perhatian yang besar terhadap kisah-kisah tersebut agar semakin meresap di dalam hati. Pengulangan adalah salah satu bentuk 'penekanan' serta tanda-tanda meresap di dalam hati. Pengulangan adalah salah satu bentuk 'penekanan' serta tanda-tanda adanya perhatian yang lebih, misalnya kisah antara Nabi Musa dan Fir'aun. Kisah tersebut merupakan simbol yang utuh dan abadi tentang perseteruan antara kekuatan yang haq dan kekuatan yang bathil sehingga diulangi berkali-kali dalam Al-Quran.
Ketiga, karena kadang masing-masing pengulangan tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Misalnya, pada salah satu pengungkapan yang ditonjolkan adalah bagaimana seharusnya setia di jalan perjuangan. Sementara pada pengungkapan yang lain ditekankan pelajaran bagaimana akhir dari kebenaran dan kebathilan.[8]
Pertama, untuk menunjukkan ketinggian sastra (balaghoh) yang dimiliki Al-Quran. Karena di antara karakteristik ketinggian sastra ialah kemampuannya untuk mengungkapkan peristiwa maupun perkara yang hanya satu, dalam gambaran yang bermacam-macam. Kisah-kisah yang diungkapkan Al-Quran dari satu peristiwa mempunyai ciri pengungkapan (uslub) yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan masing-masing uslub (pengungkapan) mempunyai keistimewaan sendiri yang tidak dimiliki uslub (pengungkapan) yang lainnya.
Kisah-kisah itu diungkapkan dalam suasana yang berbeda-beda. Tidak pernah menjadikan pembacanya merasa bosan akan pengulangan, bahkan dari masing-masing pengungkapan itu akan selalu ditemukan nuansa makna baru yang tidak ditemukan di tempat lain. Semua itu termasuk kekuatan mukjizat (quwwatul i'jaaz) yang dimiliki Al-Quran dalam mengungkapkan makna yang satu dalam bentuk yang berbeda-beda. Bangsa Arab sendiri tidak mampu membuatnya meskipun untuk satu bentuksaja.
Kedua, untuk memberikan perhatian yang besar terhadap kisah-kisah tersebut agar semakin meresap di dalam hati. Pengulangan adalah salah satu bentuk 'penekanan' serta tanda-tanda meresap di dalam hati. Pengulangan adalah salah satu bentuk 'penekanan' serta tanda-tanda adanya perhatian yang lebih, misalnya kisah antara Nabi Musa dan Fir'aun. Kisah tersebut merupakan simbol yang utuh dan abadi tentang perseteruan antara kekuatan yang haq dan kekuatan yang bathil sehingga diulangi berkali-kali dalam Al-Quran.
Ketiga, karena kadang masing-masing pengulangan tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Misalnya, pada salah satu pengungkapan yang ditonjolkan adalah bagaimana seharusnya setia di jalan perjuangan. Sementara pada pengungkapan yang lain ditekankan pelajaran bagaimana akhir dari kebenaran dan kebathilan.[8]
D.
RELEVANSI
ANTARA KISAH DAN SEJARAH
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan karya seni yang
tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas yang dipatuhi oleh seni, tanpa harus
memeganginya sebagai kebenaran sejarah. Ia sejalan dengan kisah seorang
sastrawan yang mengisahkan suatu peristiwa secara artistik. Bahwa Al-Qur’an telah
menciptakan beberapa kisah dan ulama-ulama terdahulu telah berbuat salah dengan
menganggap kisah Qur’ani ini sebagai sejarah yang dapat dipegangi.
Kisah-kisah yang ada dalam
Al-Qur’an tentu saja tidak dapat dianggap semata-mata sebagai dongeng, apalagi
Al-Qur’an adalah kitab suci yang berbeda dengan bacaan lainnya. Memang sering
timbul perdebatan, apakah kisah-kisah tersebut benar-benar memiliki
landasan historis atau sebaliknya ?, sebagai kisah yang historis sejauh manakah
posisi Al-Qur’an dalam memandang sejarah sebagai suatu realitas ?
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an
bukanlah kitab sejarah sehingga tidak adil jika Al-Qur’an dianggap mandul hanya
karena kisah-kisah yang ada didalamnya tidak dipaparkan secara gamblang. Akan
tetapi berbeda dengan cerita fiksi, kisah-kisah tersebut tidak
didasarkan pada khayalan yang jauh dari realitas.
Melalui studi yang mendalam,
diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar sejarahnya, misalnya situs-situs
sejarah bangsa Iran yang di identifikasikan sebagai bangsa ‘Ad
dalam kisah Al-Qur’an, Al-Mu’tafikat yang di identifikasikan
sebagai kota-kota palin, Sodom dan Gomorah yang merupakan
kota-kota wilayah Nabi Luth.
Kemudian berdasarkan
penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir sebagai Fir’aun yang
dikisahkan dalam Al-Qur’an. Disamping itu memang terdapat kisah-kisah yang
tampaknya sulit untuk di deteksi sisi historisnya, misalnya peristiwa Isra’
Mi’raj dan kisah Ratu Saba. Karena itu sering di sinyalir bahwa
kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu ada yang historis ada juga yang a-historis.
Meskipun demikian,
pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat
sedikit untuk dijadikan bahan penyelidikan menurut kacamata pengetahuan modern,
misalnya mengenai raja-raja Israil yang dinyatakan dalam Al-Qur’an.[9]
E.
MENGAPA TERDAPAT KISAH DALAM AL-QUR’AN
Cerita dalam Al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang
hanya bernilai sastra saja akan tetapi cerita dalam Al-Qur’an merupakan salah
satu media untuk mewujudkan tujuan aslinya. Bagaimanapun juga Al-Qur’an adalah
kitab dakwah dan kitab yang meyakinkan objeknya.
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an secara umum bertujuan kebenaran dan semata-mata
tujuan keagamaan. Jika di lihat dari keseluruhan kisah yang ada maka
tujuan-tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Ø Salah satu tujuan cerita itu
ialah menetapkan adanya wahyu dan ke-Rasulan. Dalam Al-Qur’an tujuan ini
diterangkan dengan jelas diantaranya dalam Q.S. 12 : 2-3 “Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami
mewahyukan) nya termasuk orang-orang yang belum mengetahui” (Q.S. Yusuf : 2-3) . Dan Q.S.
28 : 3. Sebelum mengutarakan cerita Nabi Musa, lebih dahulu Al-Qur’an
menegaskan : “Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun
dengan sebenarnya untuk orang-orang yang beriman”(Q.S. Al-Qashash : 3).
Dalam Q.S. 3 : 44, pada permulaan diceritakan Maryam disebutkan : “Itulah
berita yang ghaib, yang Kami wahyukan kepadamu.”(Q.S. Ali Imran : 3)[10]
Ø Menerangkan bahwa agama dari
Allah, dari masa Nabi Nuh sampai dengan masa Nabi Muhammad SAW, bahwa kaum
muslimin semuanya merupakan satu ummat, bahwa Allah yang Maha Esa adalah Tuhan
bagi semuanya (Q.S. 21 : 51 – 92).
Ø Menerangkan bahwa agama itu
semua dasarnya satu dan itu semuanya dari Tuhan Yang Maha Esa (Q.S. 7 : 59)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata : “Wahai
kaumku senbahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
“Sesungguhnya (kalu kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa
azab yang besar (hari kiamat).”(Q.S. Al-A’raf : 59)
Ø Menerangkan bahwa cara yang
ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka
terhadap dakwahnya itu juga serupa (Q.S. Hud : 17) “Sesungguhnya
(Al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak
beriman.”
Ø
Menerangkan
dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dengan agama
Nabi Ibrahim As, secara khusus, dengan agama-agama bangsa-bangsa Israil pada
umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat daripada hubungan yang
umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam
cerita Nabi Ibrahim, Musa dan Isa AS[11].
F.
MANFA’AT MENGETAHUI KISAH DALAM AL-QUR’AN
Adapun semua kisah yang disampaikan Allah di dalam
Al-Quran pasti ada manfaatnya bagi semua umat manusia sampai akhir zaman.
Beberapa manfaat yang dapat dipetik dari paparan kisah-kisah tersebut antara
lain:
Pertama, untuk menerangkan asas dan lansan dakwah di jalan Allah, serta menjelaskan pilar-pilar umum dari syariat masing-masing Rasul yang diutus oleh Allah. Firman Allah, "Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya Tidak ada Tuhan selain Aku, maka dari itu sembahlah Aku." (QS. Al-Anbiya': 25).
Kedua, untuk meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya agar tetap berada dalam dienul Islam yang dibawa olehnya. Serta untuk menguatkan ketsiqahan dan kepercayaan orang-orang mukmin akan pertolongan dan bantuan tentara Allah yang haq adanya. Juga untuk meyakinkan akan kehinaan kebathilan serta para pengikutnya.
Ketiga, untuk membenarkan kenabian para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW dan melanggengkan pengingatan terhadap mereka serta mengabdikan kenangan dari perjalanan-perjalanan dakwah mereka yang penuh dengan lika-liku dan tantangan.
Keempat, untuk menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad beserta risalah dan dakwah yang dibawanya, sebagaimana diberitakan dan dibenarkan oleh para nabi sebelumnya.
Kelima, untuk menghadapi ahli kitab dengan hujjah yang nyata, atas apa-apa yang mereka sembunyikan dari petunjuk dan hidayah, serta menantang mereka tentang apa yang mereka miliki dalam kitab mereka sebelum terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang mereka lakukan. Firman Allah: "Sesungguhnya semua makanan itu asalnya halal untuk Bani Israil kecuali apa-apa yang diharamkan oleh Bani Israil sendiri atas diri mereka sebelum diturunkan Taurat, katakanlah: "Datangkanlah Taurat dan bacalah kalau memang kalian yang benar." (QS. Ali Imran: 93).
Demikianlah, ternyata kisah tentang sebuah peristiwa yang dikaitkan dengan sebab-sebab terjadinya serta dampak yang dihasilkan oleh peristiwa tersebut memang sangat enak di dengar. Maka dari itu, menasihati dengan menggambarkan kisah-kisah nyata dari penggalan kehidupan masa lalu untuk dijadikan pelajaran jauh lebih bisa menuai sasaran. Dan kisah-kisah yang penuh dengan kejujuran dan kebenaran dalam bahasa Arab, dengan kedalaman sastra serta memiliki ketinggian bahasa, namun mudah dicerna, hanya dimiliki oleh Al-Quran[12].
Pertama, untuk menerangkan asas dan lansan dakwah di jalan Allah, serta menjelaskan pilar-pilar umum dari syariat masing-masing Rasul yang diutus oleh Allah. Firman Allah, "Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya Tidak ada Tuhan selain Aku, maka dari itu sembahlah Aku." (QS. Al-Anbiya': 25).
Kedua, untuk meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya agar tetap berada dalam dienul Islam yang dibawa olehnya. Serta untuk menguatkan ketsiqahan dan kepercayaan orang-orang mukmin akan pertolongan dan bantuan tentara Allah yang haq adanya. Juga untuk meyakinkan akan kehinaan kebathilan serta para pengikutnya.
Ketiga, untuk membenarkan kenabian para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW dan melanggengkan pengingatan terhadap mereka serta mengabdikan kenangan dari perjalanan-perjalanan dakwah mereka yang penuh dengan lika-liku dan tantangan.
Keempat, untuk menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad beserta risalah dan dakwah yang dibawanya, sebagaimana diberitakan dan dibenarkan oleh para nabi sebelumnya.
Kelima, untuk menghadapi ahli kitab dengan hujjah yang nyata, atas apa-apa yang mereka sembunyikan dari petunjuk dan hidayah, serta menantang mereka tentang apa yang mereka miliki dalam kitab mereka sebelum terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang mereka lakukan. Firman Allah: "Sesungguhnya semua makanan itu asalnya halal untuk Bani Israil kecuali apa-apa yang diharamkan oleh Bani Israil sendiri atas diri mereka sebelum diturunkan Taurat, katakanlah: "Datangkanlah Taurat dan bacalah kalau memang kalian yang benar." (QS. Ali Imran: 93).
Demikianlah, ternyata kisah tentang sebuah peristiwa yang dikaitkan dengan sebab-sebab terjadinya serta dampak yang dihasilkan oleh peristiwa tersebut memang sangat enak di dengar. Maka dari itu, menasihati dengan menggambarkan kisah-kisah nyata dari penggalan kehidupan masa lalu untuk dijadikan pelajaran jauh lebih bisa menuai sasaran. Dan kisah-kisah yang penuh dengan kejujuran dan kebenaran dalam bahasa Arab, dengan kedalaman sastra serta memiliki ketinggian bahasa, namun mudah dicerna, hanya dimiliki oleh Al-Quran[12].
KESIMPULAN
Dari uraian
diatas, jelaslah bahwa maksud adanya kisah-kisah dalam al Qur’an ádalah sebagai
peringatan dan ajaran bagi umat setelahnya. Al Qur’an menjelaskan juga bahwa
dengan adaya kisah-kisah, kita akan mendapatkan pelajaran serta hikmah dari
kisah-kisah tersebut.
Untuk itu,
dirasa sangat penting bagi segenap kaum muslimin untuk mulai mengerti dan
memahami berbagai kisah dan tujuan-tujuannya. Karena dengan hal ini, sebenarnya
kita telah dan sedang mensyukuri sekaligus belajar dari orang-orang sebelum
kita.
Sebagai
contoh, kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu yang dilaknat oleh Allah.
Andaikan kita mengetahui kisah-kisah tersebut serta merenungkannya, maka
idealnya umat Islam tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti yang
dilakukan oleh umat-umat terdahulu yang dilaknat oleh Allah. Begitu juga dengan
kisah-kisah para nabi, dengan memahaminya secara mendetail, maka semangat
kenabian dan kemurnian niat akan terpancar dari kaum muslim. Dan begitu juga
kisah-kisah yang lainnya.
Untuk itu,
sebagai bahan koreksi bagi kita semua, marilah kita memahami dengan segenap
kesadaran kita dan hati kita, sehingga kita benar-benar menjadi orang yang
tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti orang terdahulu sebelum kita.
REFFERENSI
Departemen
Agama RI,
2005. Al Qur’an dan Terjemahnya.
Manna’
Khalil al-Qattan,
2002. Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: LiteraNusa
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,
2002.
Ilmu-ilmu Al Qur’an. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
http://indiaonech.co.cc. Kisah-Dalam-Al-Qur-an. 16
0kt 2010
http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Islam.Urgensi
Kisah dalam Alquran Menurut Ilmu Psikologi. 16 okt 2010.
http://www.waspada.co.id. kisah-kisah-dalam-al-quran.
16 okt 2010
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, Tafsir
Juz ‘Amma (terjemahan).
[2]
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta:
LiteraNusa.2002. hal 436
[3] Tengku Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra.2002.
hal 191
[4].http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Islam/Urgensi Kisah dlm Alquran Menurut Ilmu Psikologi. 16 okt 10. lihat juga dalam Tengku Muhammad hasbi Ash shiddieqy, op.cit. hal 191
[7] Manna’
Khalil al-Qattan.op.cit. hal 438
[10] Departemen Agama RI. Al Qur’an dan
Terjemahnya. 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar