Senin, 15 Desember 2014

Kajian Akademis: Hermeunetika Al-Qur'an



HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
 (Pendekatan Baru dalam Memahami Kehendak Tuhan)

A. Pendahuluan
Bagi umat Islam, al-Qur’an adalah kitab suci yang diyakini secara konsensus (ijma’) otentisitas dan orisinalitasnya sebagai hudan li al-nas dan rahmatan li al-alamin. Sebagai kitab suci yang memiliki posisi sangat penting bagi kehidupan manusia, yang dianggap shalih li kulli zaman wa makan (Relevan bagi setiap ruang dan waktu), ia senantiasa ditafsirkan dan ditafsirkan ulang.
Sebagaimana diperkenalkan kepada kita, al-Qur’an adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakikatnya adalah tanda dan simbol yang tampak. Namun, simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tetapi tersirat, sebagaimana diperkenalkan konsep tafsir dan ta’wil. Hubungan antara keduanya, antara makna tersurat dan makna tersirat, terjalin sedemikian rupa, hingga bila tanda dan simbol itu dipahami oleh pikiran, maka makna yang tersirat –insya Allah, berkat bantuan Allah- akan dipahami pula oleh jiwa seseorang.

Munculnya berbagai pendekatan baru dalam upaya memahami al-Qur’an, jelas membuktikan adanya dinamika pada diri umat Islam dalam upaya memahami universalitas kitab sucinya. Hermeneutika misalnya, merupakan salah satu pendekatan eksegesis (penafsiran) kontemporer dalam diskursus ulum al-Qur’an yang banyak mendapat sorotan para pemerhati al-Qur’an.
Sejak hermeneutika menjadi bagian dari upaya pemahaman atas al-Qur’an, pemikiran-pemikiran yang muncul terkait dengan pemaknaan kitab suci itu pun semakin progressif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam pendekatan hermeneutik ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang “sakral”. Di mata hermeneutik, semua ayat bisa “dipahami” betapapun harus “mengobrak-abrik” pemaknaan yang telah mapan selama berabad-abad, bahkan terhadap al-Qur’an sendiri. Betapapun tradisi ta’wil sudah cukup lama dalam sejarah umat Islam, namun pendekatan hermeneutik menawarkan sesuatu yang baru.

B. Pengertian
Secara etimologis, kata “hermeneutic” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan dari kata hermeneuin ini dapat ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir).
Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalah-pahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil atau tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.
Dengan demikian, hermeneutik pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.
Sementara itu, Komaruddin Hidayat dalam bukunya “Menafsirkan Kehendak Tuhan” menulis sebagai berikut:
“Menurut Hossein Nasr, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebutkan dalam al-Quran. Sementara menurut cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang tenun, atau menurut riwayat yang lain lagi, sebagai tukang bangunan. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang dewa Hermes, di sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenun” atau “memintal” yang dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbatkan pada Hermes. Jadi, kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks.”
Sedangkan menurut Nurcholis Madjid, hermeneutika ialah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur’an dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah hanya makna lahiriah dari kata-kata teks suci itu, tetapi lebih-lebih “makna dalam” (batin, “inward meaning”) yang dikandungnya.
Dari uraian di atas, maka jika melihat terminologinya, kata hermeneutika ini bisa didefinisikan sebagai tiga hal:
  1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
  2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
  3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Pengertian hermeneutika yang dikemukakan oleh para ahli diatas, secara umum, sangat identik dengan ilmu Tafsir dalam tradisi studi al-Qur’an. Bahkan kalau merujuk kepada definisi yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid, agaknya pengertian hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir tapi juga ta’wil. Ini berarti, praktik hermeneutik sebenarnya telah lama dilakukan oleh umat Islam, bahkan sejak al-Qur’an itu diwahyukan, namun belum ditampilkan secara definitif. Hal ini dikarenakan memang sumber hermeneutik itu sendiri berasal dari tradisi Barat yang bergerak dalam wilayah filsafat linguistik. Selain itu, menurut Komaruddin, hermeneutik yang berkembang dan dipahami dalam tradisi filsafat kelihatannya, secara metodologis, melangkah lebih jauh, sehingga melampaui batas tradisi ilmu tafsir yang selama ini dikembangkan dalam studi Islam.
Dalam tradisi Barat, pada awalnya, hermeneutik merupakan bagian dari ilmu filologi, ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks. Mulai abad ke-16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius keika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai autentisitas Bibel. Mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel, yang dalam berbagai hal, dianggap bertentangan. Dengan demikian, posisi hermeneutika mulai mencakup juga meode kritik histiografi. Memasuki akhir abad ke-18, hermeneutika mulai dirasakan sebagai teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Khususnya dalam ilmu sejarah, karena yang menjadi objek kajian adalah pemahaman tentang makna dan pesan yang terkandung dalam sebuah teks, yang variabelnya meliputi pengarang, proses penulisan, dan karya tulis, maka hermeneutika tidak bisa ditinggalkan.
Sedangkan dalam pemikiran Islam, hermeneutik pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Les Methodes d’Exegese, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehension, Ilm Ushul al-Fiqh (1965), sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi Usul al-Fiqh dan Tafsir al-Qur’an.
Rintisan Hasan Hanafi ini kemudian mendapat respon dan dilanjutkan oleh pemikir-pemikir Muslim kontemporer lainnya seperti Nasr Hamid Abu Zayd dengan Mafhum al-Nash nya, Sahrur dengan Qira’ah Mu’ashirah nya, Asghar Ali Engineer dengan Islam and Liberation Theology dan lain-lain.
C. Prinsip dan Konsep Dasar
Menurut Komaruddin Hidayat, dalam hermeneutika ada dua mazhab, yaitu mazhab hermeneutika transendental dan mazhab historis-psikologis. Yang pertama berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Yang terakhir berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representatif oleh kehadiran teks.
Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu:
  1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes.
  2. Perantara atau penafsir (Hermes).
  3. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Bisa dikatakan ketiga unsur inilah nantinya yang akan menjadi tiga unsur utama dalam hermeneutika, yaitu sifat-sifat teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks dan bagaimana pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsirkan teks.
Asumsi paling mendasar dari hermeneutika ini sebenanya telah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup manusia.
Adapun pada tataran praksisnya, hermeneutika dapat dibagi menjadi tiga bentuk:
1. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami (Hermeneutical Theory)
Hermeneutika jenis pertama ini adalah hermeneutika teoritis. Dalam klasifikasi ini hermeneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu? Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teori. Tentu saja sebagaimana asumsi awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermaneutika dalam kelompok pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Selain pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti bagaimana makna teks secara morfologis, leksikologis, dan sintaksis perlu pula pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa teks itu berasal ? Untuk tujuan apa, dalam kondisi apa dan bagaimana kondisi pengarangnya ketika teks itu tersebut disusun ? dan lain sebagainya.
2. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman (Hermenetiucal Philosophy)
Hermeneutika jenis kedua ini melangkah lebih jauh kedalam dataran filosofis, sehingga lebih dikenal sebagai hermeneutika filosofis. Dalam hermeneutika jenis kedua ini, fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebagainya termasuk dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai prasyarat eksistensial manusia.
3. Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman.
Hermeneutika jenis ketiga ini dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih jauh dari hermeneutika jenis kedua, bahkan dapat dikatakan bahwa secara prinsipil obyek formal yang menjadi fokus kajiannya adalah sama. Yang membedakan hermeneutika jenis ketiga dengan hermeneutika jenis kedua adalah penekanan hermeneutika jenis ketiga ini terhadap determinasi-determinasi historis dalam proses pemahaman, serta sejauh mana determinasi-determinasi tersebut sering memunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana, termasuk juga penindasan-penindasan sosial-budaya-politik akibat penguasaan otoritas pemaknaan dan pemahaman oleh kelompok tertentu.
Memahami teks dalam hermeneutika kritis tidaklah sekedar memahami makna teks itu sendiri, melainkan mencakup pada wilayah pembongkaran persepsi dari sebuah pengetahuan interpretasi maupun metode interpretasi yang sudah dianggap mapan, dalam hal ini adalah tentang hakikat teks al-Qur’an. Selain itu, hal ini pun mencoba juga menyingkap distorsi dan ketimpangan yang mungkin terjadi ketika menimbang dan melakukan kegiatan serta interpretasi. Apabila dikaitkan dengan teks al-Qur’an, maka kajian kritis dari hermeneutika ini terfokus pada analisis dan kritik wacana teks al-Qur’an.
Dengan prosedur kerja dan asumsi-asumsi semacam yang digambarkan diatas, maka hermeneutika bisa dikatakan bergerak dalam tiga horison, yaitu horison pengarang, horison teks dan horison penerima atau pembaca. Atau dalam istilah Komaruddin, ketiga variable ini disebut dengan the world of the text, the world of the author, dan the world of the reader. sementara secara prosedural, langkah kerja hermeneutika itu menggarap wilayah teks, konteks dan kontekstualisasi, baik yang berkenaan dengan aspek operasional metodologisnya maupun dalam dimensi epistemologis penafsirannya. Hermeneutika jenis pertama dapat dikatakan menekankan proses pemahaman dalam dua horison, yaitu dalam horison pengarang dan horison teks ; sementara hermeneutika jenis kedua dan jenis ketiga memfokuskan kepada horison pembaca. Hermeneutika jenis pertama berusaha melacak bagaimana teks tersebut dipahami oleh pengarangnya dan kemudian pemahaman pengarang itulah yang dipandang sebagai pemaknaan yang paling akurat terhadap teks, sementara hermeneutika jenis kedua dan jenis ketiga lebih melihat bagaimana teks itu dipahami oleh pembaca, karena pengarang tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah diproduksinya, sehingga teks pada dasarnya mutlak milik pembacanya untuk dipahami dan dihayati seperti apapun keinginannya. Dalam kondisi yang demikian, sangat logis bila secara konseptual hermeneutik mengisyaratkan bahwa tidak ada suatu teks yang tak dapat ditafsirkan oleh hermeneut. Di sinilah bedanya dengan ilmu tafsir, di mana diajarkan bahwa tidak semua teks (ayat) al-Qur’an dapat dipahami maknanya secara jelas. Dalam konteks ini, Abd Allah Ibn Abbas yang menyandang predikat “juru bicara al-Qur’an” menegaskan bahwa tafsir al-Qur’an terbagi ke dalam empat kategori. Pertama, dapat diketahui secara umum melalui bahasa Arab. Kedua, tidak alasan untuk tidak mengetahuinya seperti ayat-ayat tentang halal dan haram. Ketiga, hanya dapat dipahami oleh para ulama. Keempat, hanya Allah saja yang tahu maknanya.
D. Operasionalisasi Hermeneutika
1. Mengolah Teks
Hermeneutika pada dasarnya merupakan bagian dari filsafat linguistik, artinya sorotan utama hermeneutik adalah bagaimana memahami bahasa yang tertuang dalam sebuah teks atau sesuatu yang dianggap teks. Ketika mengolah teks, perhatian pertama hermeneutika adalah aspek kebahasaannya.
Hermeneutika yang ditawarkan dalam kajian ini berangkat dari tradisi filsafat bahasa yang kemudian melangkah pada analisis psiko-historiko-sosiologis. Jadi, jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, maka persoalan dan tema yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menafsirkan realitas sosial.
Analisa kebahasaan memang sangat perlu dilakukan, karena bahasa menurut Naquib al-Attas, seperti yang dikutip oleh Ahmad Sahidah, mencerminkan sebuah ontologi.Untuk itu, langkah awal yang tentunya tidak boleh diabaikan dalam penafsiran al-Qur’an adalah memahami teksnya, yakni melihatnya dalam aspek kebahasaannya, yaitu bahasa Arab. Tanpa perhatian terhadap teks bisa dipastikan seorang penafsir akan mendapatkan pengertian dan kesan yang salah sehingga penjelasannya terhadap ayat akan keliru atau setidaknya ia akan membuat kesimpulan yang tidak berdasar.
Selanjutnya, menurut Komaruddin Hidayat, ketika sebuah teks hadir didepan kita, maka teks menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna berdasarkan sistem tanda yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara teks, pikiran pengarang, dan benak pembacanya. Ketiga variable ini, masing-masing merupakan titik pusaran tersendiri, meskipun kesemuanya saling mendukung –bisa juga malah menyesatkan- pihak pembaca dalam memahami sebuah teks. .
2. Memahami Konteks
Penggalian terhadap makna teks yang hanya berhenti pada isi teks tanpa mau melihat latar belakang dan setting historis yang ada dibalik teks pada akhirnya akan membawa pemahaman yang parsial dan penafsiran yang tidak tepat sasaran. Dalam kaca mata hermeneutik, teks itu tidak berdiri sendiri, ia sangat bergantung kepada keberadaan konteks-konteks yang melingkupinya, baik dalam aspek bentuk maupun isinya. Ringkasnya, menggali makna teks dengan mengabaikan konteks yang ada diseputar teks yang dimaksud hanyalah akan menghasilkan sebentuk “reduksi makna” yang sebenarnya dari teks tersebut.
Pemahaman terhadap konteks sejarah yang menjadi latar belakang munculnya ayat-ayat al-Qur’an bisa dikatakan merupakan suatu komponen vital untuk mengantarkan kepada pemahaman yang tepat terhadap al-Qur’an. Apa yang menyebabkan al-Qur’an itu turun dan bagaimana generasi yang mengalami langsung al-Qur’an tersebut menyikapinya adalah poin utama yang tidak boleh ditinggalkan. Sehubungan dengan ini, Muhammad Syahrur dalam bukunya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah mengatakan: “perlakukanlah al-Qur’an seolah-olah Nabi baru meninggal kemarin” Ungkapan Sahrur ini harus dipahami sebagai sebuah isyarat bahwa dalam memahami al-Qur’an faktor konteks historis selalu menjadi fokus perhatian. Selanjutnya Sahrur juga mengatakan bahwa pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif, historis, dan temporal.
Urgensi dari perhatian tehadap konteks kesejarahan ini terletak pada realita bahwasanya sebagian besar muatan al-Qur’an itu bekaitan dengan situasi keagamaan, keyakinan, pandangan dunia dan adat- istiadat masyarakat tempat ia turun, yaitu masyarakat Arab. Bukti yang sangat jelas mengenai asumsi ini adalah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur (tadarruj) selama 23 tahun masa kenabian Muhammad dan fenomena asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh dalam ayat-ayat al-Qur’an.
3. Kontekstualisasi: Upaya Reproduksi Makna
Pemahaman akan al-Qur’an dalam konteksnya sebagaimana dipaparkan diatas, akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Di sinilah perlunya kontekstualisasi, dalam arti upaya untuk menerapkan makna teks yang dipahami dari suatu wacana dalam konteks tetentu di masa yang telah lalu dengan konteks yang berbeda di masa kini.
Kontekstualisasi berarti melihat realitas historis yang sedang terjadi pada saat ini dan kemudian mencari pedoman dan petunjuk al-Qur’an mengenai apa yang harus dilakukan.
Tradisi hermeneutik memusatkan perhatian terhadap ketiga aspek (teks, konteks, dan kontekstualisasi) tersebut dalam sebuah lingkaran yang tidak terputus, dalam arti ketika seorang melakukan penggalian dan sekaligus “reproduksi” makna, ketiga aspek tersebut harus dilibatkan tanpa terputus. Ketika seseorang menggali makna teks, maka ketika itu pula ia harus memperhatikan konteks dimana teks tersebut muncul dan bagaimana teks itu dipahami dalam konteks asalnya, sehingga dengan pemahaman tersebut bisa dilakukan pemaknaan kembali teks yang dimaksud dalam konteks yang berbeda.
Diantara contoh dari hermeneutika al-Qur’an adalah penafsiran Syahrur terhadap surat al-Nisa’ ayat 13-14 yang melahirkan sebuah teori baru dalam penetapan hukum. Teori ini ia sebut dengan Nazariyat al-Hudud (teori batas). Redaksi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
تلك حدود الله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنت تجرى من تحتها الانهر خلدين فيها وذلك الفوزالعظيم. ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خلدا فيها وله عذاب مهين.
Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hokum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan”
Syahrur mencermati penggalan ayat “تلك حدودلله” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Allah semata. Dia berpendapat bahwa otoritas penetapan hukum (haqq al-tasyri’) hanya dimiliki Allah, sedangkan Muhammad Saw, walaupun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (al-syari’). Muhammad adalah seorang pelopor ijtihad dalam Islam.
Pendapat ini didasarkan pada pemahaman penggalan ayat setelahnya “ويتعد حدوده”, yang berarti “dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya.” Kata ganti (dlamir) “hu” pada penggalan ayat di atas merujuk kepada Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap akan lebih menegaskan pemahaman ini : “Dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya serta melanggar batas-batas ketetapan hukum-Nya”. Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas penetapan hukum hanya pada Allah saja, seandainya Nabi Muhammad berhak atau memiliki otoritas tasyri’ tentulah ayat tersebut akan berbunyi, “ويتعد حدودهما”, yang artinya, “dan melanggar batas-batas penetapan hukum keduanya (Allah dan rasul-Nya).
Selain itu penggalan ayat yang berbunyi :
ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده…
menegaskan bahwa perbuatan maksiat (menolak untuk mengerjakan) dapat dilakukan terhadap Allah dan rasul-Nya, tetapi pelanggaran batasan hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena otoritas penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga Hari Kiamat itu hanya milik Allah saja.
Dengan demikian haruslah dipahami bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari Nabi tidak semuanya identik dengan penetapan hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masyarakat waktu itu, maka ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman.
Di sinilah menurut syahrur, letak keutamaan Muhammad sebagai Nabi. Beliau adalah uswah hasanah dalam pengertian teladan dalam berijtihad dan penerapannya. Syahrur mengajukan motivasi kepada para cendikiawan Muslim untuk tidak ragu berijtihad meskipun masalah-masalah hokum tersebut telah diklaim memiliki justifikasi nash hadits Nabi. Bagi syahrur kondisi masyarakat yang dinamis dan selalu berubah sesuai tuntutan situasi dan kondisi yang dilator belakangi kemajuan ilmu pengetahuan, merupakan alasan utama pemberlakuan ijtihad.
Kemudian contoh lain dari hermeneutika al-Qur’an adalah penafsiran yang dilakukan oleh Asghar Ali Engineer terhadap surat al-Nisa’ (4): 3 :
وان خفتم ألا تقسطوافي اليتامي فانكحواماطاب لكم من النساء مثني وثلاث ورباع فان خفتم الاتعدلوا فواحدة أوماملكت أيمانكم ذلك أدني ألاتعولوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Baginya poligami untuk konteks saat ini bertentangan dengan nilai keadilan.Poligami hanya bisa diterima apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya syarat keadilan suami kepada isteri-isterinya. Keterkaitan poligami dengan syarat-syarat ini menunjukkan bahwa yang dituju oleh Islam sesungguhnya adalah monogami. Berikut ini model pemahaman teks Asghar Ali Engineer yang berkaitan dengan poligami :
Sosio-Historis poligami pra-islam tidak dibatasi, tidak adil

Poligami Islam: Maksimal 4 isteri dengan syarat harus adil satu isteri saja

Keadilan dalam poligami sulit tercapai

Monogami lebih sesuai dengan keadilan

Poligami bertentangan dengan nilai keadilan untuk konteks sekarang



E. PENUTUP
Pada dasarnya prinsip-prinsip dasar hermeneutika secara operasional telah diterapkan dalam tradisi klasik Ulum al-Qur’an seperti yang diperkenalkan kepada kita tentang metode tafsir dan ta’wil. Namun, secara definitif metodologi hermeneutik baru dimunculkan pada abad modern ini seiring dengan munculnya penafsiran-penafsiran kontemporer terhadap teks al-Qur’an.
Keberadaan hermeneutika dengan metodologinya sendiri membawa nuansa baru dalam penafsiran al-Qur’an. Dengan metodenya ini al-Qur’an tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, karena dalam kacamata hermeneutika ketika teks turun dan berada ditengah-tengah realitas kehidupan manusia maka ia sepenuhnya menjadi milik manusia dan berhak untuk diinterpretasikan, dihayati, dan dipahami seperti apa pun keinginannya. Semua yang tertuang dalam teks, bagi hermeneutika, dapat ditafsirkan dan dipahami maknanya dengan jelas. Dan inilah yang membedakannya secara fundamental dengan terma tafsir dalam diskursus Ulum al-Qur’an.
Akhirnya apa yang ditawarkan oleh hermeneutik dalam menafsirkan teks, linguistik, sejarah, agama, dan disiplin ilmu yang lainnya adalah suatu kreasi, karya, dan bikinan manusia. Karena itu, ia mempunyai kelemahan yang tidak bisa ditutupi, lebih-lebih jika ia berdiri sendiri tanpa dialog dengan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amal,Taufik Adnan dan Syamsu Rijal Panggabean. 1992. Tafsir Kontekstual al- Qur’an. Bandung: Mizan.
Baidowi, Ahmad. “Hermeneutika al-Qur’an Asghar Ali- Engineer,” al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 41, No. 2, 2003
Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
—–, Fakhruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: Elsaq Press.
Hidayat, Komaruddin. 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju.
Sahidah, Ahmad , “Adil Terhadap Pembaruan Islam,” Republika (Jakarta), 12 Januari 2007
Shabuniy, Muhammad Ali al-.2003. al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Shahrur, Muhammad. 2004. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, terj. Yogyakarta: Elsaq Press.
Shihab, M. Quraish. 2006. Membumikan Al-Qur’an. Mizan: Bandung.
Sudarto. 1996. Metodologi Penelitian Filsafat.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sumayono,E.1999. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta: Kanisius.
Syamsuddin, Sahiron, dkk. 2003. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika.
Zarqaniy, Muhammad Abd al-Azhim, al-. 2001. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadits.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar