HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
(Pendekatan
Baru dalam Memahami Kehendak Tuhan)
A. Pendahuluan
Bagi umat Islam, al-Qur’an adalah
kitab suci yang diyakini secara konsensus (ijma’) otentisitas dan
orisinalitasnya sebagai hudan li al-nas dan rahmatan li al-alamin. Sebagai kitab suci yang memiliki posisi sangat penting
bagi kehidupan manusia, yang dianggap shalih li kulli zaman wa makan (Relevan
bagi setiap ruang dan waktu), ia senantiasa ditafsirkan dan ditafsirkan ulang.
Sebagaimana diperkenalkan kepada
kita, al-Qur’an adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakikatnya adalah tanda dan
simbol yang tampak. Namun, simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu
yang lain yang tidak tersurat, tetapi tersirat, sebagaimana diperkenalkan
konsep tafsir dan ta’wil. Hubungan antara keduanya, antara makna
tersurat dan makna tersirat, terjalin sedemikian rupa, hingga bila tanda dan
simbol itu dipahami oleh pikiran, maka makna yang tersirat –insya Allah, berkat
bantuan Allah- akan dipahami pula oleh jiwa seseorang.
Munculnya berbagai pendekatan baru
dalam upaya memahami al-Qur’an, jelas membuktikan adanya dinamika pada diri
umat Islam dalam upaya memahami universalitas kitab sucinya. Hermeneutika
misalnya, merupakan salah satu pendekatan eksegesis (penafsiran) kontemporer
dalam diskursus ulum al-Qur’an yang banyak mendapat sorotan para
pemerhati al-Qur’an.
Sejak hermeneutika menjadi bagian
dari upaya pemahaman atas al-Qur’an, pemikiran-pemikiran yang muncul terkait
dengan pemaknaan kitab suci itu pun semakin progressif. Hal yang kemudian
menjadi sangat menarik dalam pendekatan hermeneutik ini adalah ketika teks
tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang “sakral”. Di mata hermeneutik, semua
ayat bisa “dipahami” betapapun harus “mengobrak-abrik” pemaknaan yang telah
mapan selama berabad-abad, bahkan terhadap al-Qur’an sendiri. Betapapun tradisi
ta’wil sudah cukup lama dalam sejarah umat Islam, namun pendekatan
hermeneutik menawarkan sesuatu yang baru.
B. Pengertian
Secara etimologis, kata
“hermeneutic” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti
“menafsirkan”, dan dari kata hermeneuin ini dapat ditarik kata benda hermeneia
yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes yang
berarti interpreter (penafsir).
Istilah Yunani
ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan
pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai
kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa
Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung
Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena
itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalah-pahaman tentang
pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus
mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu hermes menjadi simbol seorang
duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil atau tidaknya misi itu
sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.
Dengan demikian, hermeneutik pada
dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa
teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan
maknanya, di mana metode hermeneutik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan
masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.
Sementara itu,
Komaruddin Hidayat dalam bukunya “Menafsirkan Kehendak Tuhan” menulis sebagai
berikut:
“Menurut Hossein Nasr, Hermes tak
lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebutkan dalam al-Quran. Sementara menurut
cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai
tukang tenun, atau menurut riwayat yang lain lagi, sebagai tukang bangunan.
Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang dewa Hermes, di
sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenun” atau “memintal” yang dalam
bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus
atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang
dinisbatkan pada Hermes. Jadi, kata hermeneutika yang diambil dari peran
Hermes adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi
rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks.”
Sedangkan
menurut Nurcholis Madjid, hermeneutika ialah pemahaman atau pemberian
pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur’an dan
al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah hanya makna
lahiriah dari kata-kata teks suci itu, tetapi lebih-lebih “makna dalam” (batin,
“inward meaning”) yang dikandungnya.
Dari uraian di
atas, maka jika melihat terminologinya, kata hermeneutika ini bisa
didefinisikan sebagai tiga hal:
- Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
- Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
- Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Pengertian
hermeneutika yang dikemukakan oleh para ahli diatas, secara umum, sangat
identik dengan ilmu Tafsir dalam tradisi studi al-Qur’an. Bahkan kalau merujuk
kepada definisi yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid, agaknya pengertian
hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir tapi juga ta’wil.
Ini berarti, praktik hermeneutik sebenarnya telah lama dilakukan oleh umat
Islam, bahkan sejak al-Qur’an itu diwahyukan, namun belum ditampilkan secara
definitif. Hal ini dikarenakan memang sumber hermeneutik itu sendiri berasal
dari tradisi Barat yang bergerak dalam wilayah filsafat linguistik. Selain itu,
menurut Komaruddin, hermeneutik yang berkembang dan dipahami dalam tradisi
filsafat kelihatannya, secara metodologis, melangkah lebih jauh, sehingga
melampaui batas tradisi ilmu tafsir yang selama ini dikembangkan dalam studi
Islam.
Dalam tradisi
Barat, pada awalnya, hermeneutik merupakan bagian dari
ilmu filologi, ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks. Mulai abad
ke-16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih
akademis dan serius keika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat diskusi dan
debat mengenai autentisitas Bibel. Mereka ingin memperoleh kejelasan serta
pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel, yang dalam berbagai hal,
dianggap bertentangan. Dengan demikian, posisi hermeneutika mulai mencakup juga
meode kritik histiografi. Memasuki akhir abad ke-18, hermeneutika mulai
dirasakan sebagai teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya
sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode
dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Khususnya dalam ilmu sejarah, karena yang
menjadi objek kajian adalah pemahaman tentang makna dan pesan yang terkandung
dalam sebuah teks, yang variabelnya meliputi pengarang, proses penulisan, dan
karya tulis, maka hermeneutika tidak bisa ditinggalkan.
Sedangkan dalam
pemikiran Islam, hermeneutik pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam
karyanya yang berjudul Les Methodes d’Exegese, Essai sur La Science des
Fordements de la Comprehension, Ilm Ushul al-Fiqh (1965), sekalipun
tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam
tradisional, terutama tradisi Usul al-Fiqh dan Tafsir al-Qur’an.
Rintisan Hasan
Hanafi ini kemudian mendapat respon dan dilanjutkan oleh pemikir-pemikir Muslim
kontemporer lainnya seperti Nasr Hamid Abu Zayd dengan Mafhum al-Nash
nya, Sahrur dengan Qira’ah Mu’ashirah nya, Asghar Ali Engineer dengan Islam
and Liberation Theology dan lain-lain.
C. Prinsip dan Konsep
Dasar
Menurut
Komaruddin Hidayat, dalam hermeneutika ada dua mazhab,
yaitu mazhab hermeneutika transendental dan mazhab historis-psikologis. Yang
pertama berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak
harus mengaitkan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom
ketika tampil dalam teks. Yang terakhir berpandangan bahwa teks adalah
eksposisi eksternal dan temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara
kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representatif
oleh kehadiran teks.
Pengasosiasian
hermeneutik dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur dalam
aktivitas penafsiran, yaitu:
- Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes.
- Perantara atau penafsir (Hermes).
- Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Bisa dikatakan
ketiga unsur inilah nantinya yang akan menjadi tiga unsur utama dalam
hermeneutika, yaitu sifat-sifat teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks
dan bagaimana pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan
dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsirkan teks.
Asumsi paling
mendasar dari hermeneutika ini sebenanya telah jelas, yaitu adanya pluralitas
dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya,
karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup manusia.
1.
Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami (Hermeneutical Theory)
Hermeneutika jenis pertama ini
adalah hermeneutika teoritis. Dalam klasifikasi ini hermeneutika merupakan
kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional.
Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu? Itulah pertanyaan utama dari
hermeneutika teori. Tentu saja sebagaimana asumsi awal bahwa perbedaan konteks
mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermaneutika dalam kelompok pertama ini
merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus
dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Selain
pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti bagaimana makna teks secara morfologis,
leksikologis, dan sintaksis perlu pula pertanyaan-pertanyaan
seperti dari siapa teks itu berasal ? Untuk tujuan apa, dalam kondisi apa dan
bagaimana kondisi pengarangnya ketika teks itu tersebut disusun ? dan lain
sebagainya.
2.
Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman (Hermenetiucal
Philosophy)
Hermeneutika jenis kedua ini
melangkah lebih jauh kedalam dataran filosofis, sehingga lebih dikenal sebagai
hermeneutika filosofis. Dalam hermeneutika jenis kedua ini, fokus perhatiannya
bukan lagi bagaimana agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi
lebih jauh mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam
aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebagainya termasuk
dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian terhadap pemahaman dan
penafsiran sebagai prasyarat eksistensial manusia.
3.
Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman.
Hermeneutika
jenis ketiga ini dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih jauh dari
hermeneutika jenis kedua, bahkan dapat dikatakan bahwa secara prinsipil obyek
formal yang menjadi fokus kajiannya adalah sama. Yang membedakan hermeneutika
jenis ketiga dengan hermeneutika jenis kedua adalah penekanan hermeneutika
jenis ketiga ini terhadap determinasi-determinasi historis dalam proses
pemahaman, serta sejauh mana determinasi-determinasi tersebut sering
memunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana, termasuk juga
penindasan-penindasan sosial-budaya-politik akibat penguasaan otoritas
pemaknaan dan pemahaman oleh kelompok tertentu.
Memahami
teks dalam hermeneutika kritis tidaklah sekedar memahami makna teks itu
sendiri, melainkan mencakup pada wilayah pembongkaran persepsi dari sebuah
pengetahuan interpretasi maupun metode interpretasi yang sudah dianggap mapan,
dalam hal ini adalah tentang hakikat teks al-Qur’an. Selain itu, hal ini pun
mencoba juga menyingkap distorsi dan ketimpangan yang mungkin terjadi ketika
menimbang dan melakukan kegiatan serta interpretasi. Apabila dikaitkan dengan
teks al-Qur’an, maka kajian kritis dari hermeneutika ini terfokus pada analisis
dan kritik wacana teks al-Qur’an.
Dengan prosedur
kerja dan asumsi-asumsi semacam yang digambarkan diatas, maka hermeneutika bisa
dikatakan bergerak dalam tiga horison, yaitu horison pengarang, horison teks
dan horison penerima atau pembaca. Atau dalam istilah Komaruddin, ketiga
variable ini disebut dengan the world of the text, the world of the author,
dan the world of the reader. sementara
secara prosedural, langkah kerja hermeneutika itu menggarap wilayah teks,
konteks dan kontekstualisasi, baik yang berkenaan dengan aspek operasional
metodologisnya maupun dalam dimensi epistemologis penafsirannya. Hermeneutika
jenis pertama dapat dikatakan menekankan proses pemahaman dalam dua horison,
yaitu dalam horison pengarang dan horison teks ; sementara hermeneutika jenis
kedua dan jenis ketiga memfokuskan kepada horison pembaca. Hermeneutika jenis
pertama berusaha melacak bagaimana teks tersebut dipahami oleh pengarangnya dan
kemudian pemahaman pengarang itulah yang dipandang sebagai pemaknaan yang
paling akurat terhadap teks, sementara hermeneutika jenis kedua dan jenis
ketiga lebih melihat bagaimana teks itu dipahami oleh pembaca, karena pengarang
tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah diproduksinya,
sehingga teks pada dasarnya mutlak milik pembacanya untuk dipahami dan dihayati
seperti apapun keinginannya. Dalam kondisi yang
demikian, sangat logis bila secara konseptual hermeneutik mengisyaratkan bahwa
tidak ada suatu teks yang tak dapat ditafsirkan oleh hermeneut. Di sinilah
bedanya dengan ilmu tafsir, di mana diajarkan bahwa tidak semua teks (ayat)
al-Qur’an dapat dipahami maknanya secara jelas. Dalam
konteks ini, Abd Allah Ibn Abbas yang menyandang predikat “juru bicara
al-Qur’an” menegaskan bahwa tafsir al-Qur’an terbagi ke dalam empat kategori. Pertama,
dapat diketahui secara umum melalui bahasa Arab. Kedua, tidak alasan
untuk tidak mengetahuinya seperti ayat-ayat tentang halal dan haram. Ketiga,
hanya dapat dipahami oleh para ulama. Keempat, hanya Allah saja yang
tahu maknanya.
D. Operasionalisasi
Hermeneutika
1. Mengolah Teks
Hermeneutika pada dasarnya
merupakan bagian dari filsafat linguistik, artinya sorotan utama hermeneutik
adalah bagaimana memahami bahasa yang tertuang dalam sebuah teks atau sesuatu
yang dianggap teks. Ketika mengolah teks, perhatian pertama hermeneutika adalah
aspek kebahasaannya.
Hermeneutika yang ditawarkan dalam
kajian ini berangkat dari tradisi filsafat bahasa yang kemudian melangkah pada
analisis psiko-historiko-sosiologis. Jadi, jika pendekatan ini dipertemukan
dengan kajian teks al-Qur’an, maka persoalan dan tema yang dihadapi adalah
bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, dipahami, ditafsirkan,
diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menafsirkan realitas sosial.
Analisa kebahasaan memang sangat perlu
dilakukan, karena bahasa menurut Naquib al-Attas, seperti yang dikutip oleh
Ahmad Sahidah, mencerminkan sebuah ontologi.Untuk itu,
langkah awal yang tentunya tidak boleh diabaikan dalam penafsiran al-Qur’an
adalah memahami teksnya, yakni melihatnya dalam aspek kebahasaannya, yaitu
bahasa Arab. Tanpa perhatian terhadap teks bisa
dipastikan seorang penafsir akan mendapatkan pengertian dan kesan yang salah
sehingga penjelasannya terhadap ayat akan keliru atau setidaknya ia akan
membuat kesimpulan yang tidak berdasar.
Selanjutnya, menurut Komaruddin
Hidayat, ketika sebuah teks hadir didepan kita, maka teks menjadi berbunyi dan
berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna berdasarkan
sistem tanda yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara teks,
pikiran pengarang, dan benak pembacanya. Ketiga variable ini, masing-masing
merupakan titik pusaran tersendiri, meskipun kesemuanya saling mendukung –bisa
juga malah menyesatkan- pihak pembaca dalam memahami sebuah teks. .
2. Memahami Konteks
Penggalian terhadap makna teks yang
hanya berhenti pada isi teks tanpa mau melihat latar belakang dan setting
historis yang ada dibalik teks pada akhirnya akan membawa pemahaman yang
parsial dan penafsiran yang tidak tepat sasaran. Dalam kaca mata hermeneutik,
teks itu tidak berdiri sendiri, ia sangat bergantung kepada keberadaan
konteks-konteks yang melingkupinya, baik dalam aspek bentuk maupun isinya.
Ringkasnya, menggali makna teks dengan mengabaikan konteks yang ada diseputar
teks yang dimaksud hanyalah akan menghasilkan sebentuk “reduksi makna” yang
sebenarnya dari teks tersebut.
Pemahaman terhadap konteks sejarah
yang menjadi latar belakang munculnya ayat-ayat al-Qur’an bisa dikatakan
merupakan suatu komponen vital untuk mengantarkan kepada pemahaman yang tepat
terhadap al-Qur’an. Apa yang menyebabkan al-Qur’an itu turun dan bagaimana
generasi yang mengalami langsung al-Qur’an tersebut menyikapinya adalah poin
utama yang tidak boleh ditinggalkan. Sehubungan dengan
ini, Muhammad Syahrur dalam bukunya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah
mengatakan: “perlakukanlah al-Qur’an seolah-olah Nabi baru meninggal
kemarin” Ungkapan Sahrur ini harus dipahami sebagai
sebuah isyarat bahwa dalam memahami al-Qur’an faktor konteks historis selalu
menjadi fokus perhatian. Selanjutnya Sahrur juga mengatakan bahwa pemahaman
terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif, historis, dan temporal.
Urgensi dari perhatian tehadap
konteks kesejarahan ini terletak pada realita bahwasanya sebagian besar muatan
al-Qur’an itu bekaitan dengan situasi keagamaan, keyakinan, pandangan dunia dan
adat- istiadat masyarakat tempat ia turun, yaitu masyarakat Arab. Bukti yang
sangat jelas mengenai asumsi ini adalah diturunkannya al-Qur’an secara
berangsur-angsur (tadarruj) selama 23 tahun masa kenabian Muhammad dan
fenomena asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh dalam ayat-ayat
al-Qur’an.
3. Kontekstualisasi:
Upaya Reproduksi Makna
Pemahaman akan al-Qur’an dalam
konteksnya sebagaimana dipaparkan diatas, akan menjadi kajian yang semata-mata
bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Di sinilah
perlunya kontekstualisasi, dalam arti upaya untuk menerapkan makna teks yang
dipahami dari suatu wacana dalam konteks tetentu di masa yang telah lalu dengan
konteks yang berbeda di masa kini.
Kontekstualisasi berarti melihat
realitas historis yang sedang terjadi pada saat ini dan kemudian mencari
pedoman dan petunjuk al-Qur’an mengenai apa yang harus dilakukan.
Tradisi hermeneutik memusatkan
perhatian terhadap ketiga aspek (teks, konteks, dan kontekstualisasi) tersebut
dalam sebuah lingkaran yang tidak terputus, dalam arti ketika seorang melakukan
penggalian dan sekaligus “reproduksi” makna, ketiga aspek tersebut harus
dilibatkan tanpa terputus. Ketika seseorang menggali makna teks, maka ketika
itu pula ia harus memperhatikan konteks dimana teks tersebut muncul dan
bagaimana teks itu dipahami dalam konteks asalnya, sehingga dengan pemahaman
tersebut bisa dilakukan pemaknaan kembali teks yang dimaksud dalam konteks yang
berbeda.
Diantara contoh dari hermeneutika
al-Qur’an adalah penafsiran Syahrur terhadap surat al-Nisa’ ayat 13-14 yang
melahirkan sebuah teori baru dalam penetapan hukum. Teori ini ia sebut dengan Nazariyat
al-Hudud (teori batas). Redaksi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
تلك حدود الله ومن يطع الله
ورسوله يدخله جنت تجرى من تحتها الانهر خلدين فيها وذلك
الفوزالعظيم. ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خلدا فيها وله عذاب
مهين.
“Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang
siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Dan itulah kemenangan yang agung.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hokum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang
menghinakan”
Syahrur mencermati penggalan ayat “تلك
حدودلله”
yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan
batasan-batasan hukum adalah hanya Allah semata. Dia berpendapat bahwa otoritas
penetapan hukum (haqq al-tasyri’) hanya dimiliki Allah, sedangkan
Muhammad Saw, walaupun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya
bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (al-syari’).
Muhammad adalah seorang pelopor ijtihad dalam Islam.
Pendapat ini didasarkan pada
pemahaman penggalan ayat setelahnya “ويتعد حدوده”, yang berarti “dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya.” Kata
ganti (dlamir) “hu” pada penggalan ayat di atas merujuk kepada
Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap akan lebih menegaskan pemahaman
ini : “Dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya serta
melanggar batas-batas ketetapan hukum-Nya”. Ayat ini harus dipahami bahwa
otoritas penetapan hukum hanya pada Allah saja, seandainya Nabi Muhammad berhak
atau memiliki otoritas tasyri’ tentulah ayat tersebut akan berbunyi, “ويتعد
حدودهما”,
yang artinya, “dan melanggar batas-batas penetapan hukum keduanya (Allah dan
rasul-Nya).
Selain itu penggalan ayat yang
berbunyi :
ومن يعص الله ورسوله ويتعد
حدوده…
menegaskan bahwa perbuatan maksiat
(menolak untuk mengerjakan) dapat dilakukan terhadap Allah dan rasul-Nya,
tetapi pelanggaran batasan hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena otoritas
penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga Hari Kiamat itu hanya milik
Allah saja.
Dengan demikian haruslah dipahami
bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari Nabi tidak semuanya identik dengan
penetapan hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat
temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan
peradaban masyarakat waktu itu, maka ketetapan hukum tersebut tidak bersifat
mengikat hingga akhir zaman.
Di sinilah menurut syahrur, letak
keutamaan Muhammad sebagai Nabi. Beliau adalah uswah hasanah dalam pengertian
teladan dalam berijtihad dan penerapannya. Syahrur mengajukan motivasi kepada
para cendikiawan Muslim untuk tidak ragu berijtihad meskipun masalah-masalah
hokum tersebut telah diklaim memiliki justifikasi nash hadits Nabi. Bagi
syahrur kondisi masyarakat yang dinamis dan selalu berubah sesuai tuntutan
situasi dan kondisi yang dilator belakangi kemajuan ilmu pengetahuan, merupakan
alasan utama pemberlakuan ijtihad.
Kemudian contoh lain dari hermeneutika al-Qur’an adalah
penafsiran yang dilakukan oleh Asghar Ali Engineer terhadap surat al-Nisa’ (4):
3 :
وان خفتم ألا تقسطوافي اليتامي فانكحواماطاب لكم من
النساء مثني وثلاث ورباع فان خفتم الاتعدلوا فواحدة أوماملكت أيمانكم ذلك أدني ألاتعولوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Baginya poligami untuk konteks saat ini bertentangan
dengan nilai keadilan.Poligami hanya bisa diterima apabila memenuhi
syarat-syarat tertentu, di antaranya syarat keadilan suami kepada
isteri-isterinya. Keterkaitan poligami dengan syarat-syarat ini menunjukkan
bahwa yang dituju oleh Islam sesungguhnya adalah monogami.
Berikut ini model pemahaman teks Asghar Ali Engineer yang berkaitan dengan poligami
:
Sosio-Historis
poligami pra-islam tidak dibatasi, tidak adil
|
Poligami
Islam: Maksimal 4 isteri dengan syarat harus adil satu isteri saja
|
Keadilan
dalam poligami sulit tercapai
|
Monogami
lebih sesuai dengan keadilan
|
Poligami
bertentangan dengan nilai keadilan untuk konteks sekarang
|
E. PENUTUP
Pada dasarnya prinsip-prinsip dasar
hermeneutika secara operasional telah diterapkan dalam tradisi klasik Ulum
al-Qur’an seperti yang diperkenalkan kepada kita tentang metode tafsir dan
ta’wil. Namun, secara definitif metodologi hermeneutik baru dimunculkan pada
abad modern ini seiring dengan munculnya penafsiran-penafsiran kontemporer
terhadap teks al-Qur’an.
Keberadaan hermeneutika dengan
metodologinya sendiri membawa nuansa baru dalam penafsiran al-Qur’an. Dengan
metodenya ini al-Qur’an tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, karena
dalam kacamata hermeneutika ketika teks turun dan berada ditengah-tengah realitas
kehidupan manusia maka ia sepenuhnya menjadi milik manusia dan berhak untuk
diinterpretasikan, dihayati, dan dipahami seperti apa pun keinginannya. Semua
yang tertuang dalam teks, bagi hermeneutika, dapat ditafsirkan dan dipahami
maknanya dengan jelas. Dan inilah yang membedakannya secara fundamental dengan
terma tafsir dalam diskursus Ulum al-Qur’an.
Akhirnya apa yang ditawarkan oleh
hermeneutik dalam menafsirkan teks, linguistik, sejarah, agama, dan disiplin
ilmu yang lainnya adalah suatu kreasi, karya, dan bikinan manusia. Karena itu,
ia mempunyai kelemahan yang tidak bisa ditutupi, lebih-lebih jika ia berdiri
sendiri tanpa dialog dengan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amal,Taufik
Adnan dan Syamsu Rijal Panggabean. 1992. Tafsir Kontekstual al- Qur’an.
Bandung: Mizan.
Baidowi, Ahmad.
“Hermeneutika al-Qur’an Asghar Ali- Engineer,” al-Jami’ah: Journal of
Islamic Studies, Vol. 41, No. 2, 2003
Faiz,
Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
—–, Fakhruddin.
2005. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: Elsaq
Press.
Hidayat, Komaruddin. 2004. Menafsirkan
Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju.
Sahidah, Ahmad ,
“Adil Terhadap Pembaruan Islam,” Republika (Jakarta), 12 Januari 2007
Shabuniy,
Muhammad Ali al-.2003. al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah.
Shahrur,
Muhammad. 2004. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, terj.
Yogyakarta: Elsaq Press.
Shihab,
M. Quraish. 2006. Membumikan Al-Qur’an. Mizan: Bandung.
Sudarto. 1996. Metodologi Penelitian
Filsafat.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sumayono,E.1999. Hermeneutika:
Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta: Kanisius.
Syamsuddin,
Sahiron, dkk. 2003. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta:
Islamika.
Zarqaniy,
Muhammad Abd al-Azhim, al-. 2001. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an.
Kairo: Dar al-Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar