A.
Pendahuluan
Pendidikan pada asalnya merupakan
sebuah usaha secara terus dan berkesinambungan dari manusia agar kelangsungan
kehidupan bermartabat dapat terus tercipta.
Kemajuan zaman yang menjadi pertanda persaingan semakin kompleks, secara
langsung memberikan efek tekanan yang besar bagi dunia pendidikan. Maka secara
jelas dunia pendidikan harus melakukan terobosan-terobosan penting untuk hal
ini.
Dalam makalah ini nantinya akan dibahas terkait hubungan antara kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan berbasis masyarakat, serta berbagai ulasan serta
keterkaitan berbagai elemen di dalamnya.
Pada dasarnya, Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) bertujuan untuk
membantu pemerintah dalam memobilisasi sumber daya lokal dan meningkatkan
peranan masyarakat, meningkatkan rasa kepemilikan dan dukungan masyarakat
terhadap sekolah, dan mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi
kelembagaan, serta membantu mengatasi putus sekolah terutama dari SD. Pendidikan
Berbasis Masyarakat (PBM) dirasa penting, mengingat beberapa faktor, yaitu:
·
Besarnya penduduk indonesia yang
menempuh pendidikan luar sekolah
·
Rendahnya anggaran dari pemerintah
·
Pemerintah belum melihat pendidikan
secara utuh
Pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan
kondisi negara dan kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa. Pendidikan
dengan sendirinya merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada (Kartono, 1997).
Masalah pendidikan akan menjadi masalah politik apabila pemerintah ikut
terlibat di dalamnya. Bahkan menurut Michael W. Apple sebagaimana dikutip
H.A.R. Tilaar (2003), kurikulum pendidikan yang berlaku sebenarnya merupakan
sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Melalui kurikulum, pemerintah
telah menjadikan pendidikan sebagai sarana rekayasa dalam rangka mengekalkan
struktur kekuasaannya. Oleh karena itu, masalah pendidikan sesungguhnya adalah
masalah politik, tapi bukan dalam artian yang praktis. Diakui Paulo Freire (2000),
sekolah memang merupakan alat kontrol sosial yang efesien bagi upaya menjaga status quo. Di negara otoriter yang menganut paham pemerintahan
totalitarianisme, pemerintah akan membatasi kebebasan individu dengan
mengeluarkan kebijakan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik. Bagi
negara semacam ini, pendidikan adalah kekuatan politik untuk mendominasi
rakyat. Pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan, sebab tujuan pendidikan
baginya adalah membuat rakyat menjadi alat negara (Kartono, 1997). Sebagai
respon terhadap pandangan ini, muncul paham pemerintahan yang menerapkan konsep
negara demokrasi, yang menghendaki adanya demokratisasi dalam pendidikan.
Demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan suatu
keharusan, agar dapat melahirkan manusia-manusia yang berwatak demokratis. Reformasi
pendidikan melalui demokrasi pendidikan, menurut Zamroni dapat dilakukan dalam tiga aspek
pendidikan, yaitu regulatori, profesionalitas, dan manajemen. Aspek regulatori
dititikberatkan pada reformasi kurikulum yang berkaitan dengan perumusan tujuan
pendidikan, penerapan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum), pergeseran paradigma kerja guru dari
responsibility ke arah accountability dan pelaksanaan evaluasi
dengan Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat esei dan porto
folio.
Aspek profesionalitas ditujukan untuk mengembalikan
hak-hak dan wewenang kepada guru dalam melaksanakan tugas kependidikannya.
Aspek ini dapat ditempuh melalui pengembangan kesadaran hak-hak politik guru
dan pemberian kesempatan kepada guru untuk mengembangkan dirinya. Sedangkan
aspek manajemen pendidik-an ditujukan untuk mengubah pusat-pusat pengambilan
dan kendali pendidikan. Reformasi aspek manajemen ini dapat dilakukan dengan
dua cara. Pertama, memberikan kesempatan yang lebih luas kepada lembaga pendidikan
untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan. Bentuk kebijakan ini
adalah menumbuhkan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Kedua, memberikan kesempatan yang luas
kepada warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Kebijakan ini dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
Tulisan ini dengan telaah filosofis bermaksud
mengungkap ide-ide dan konsep-konsep dasar yang terkandung dalam pendidikan
berbasis masyarakat. Apa dan bagaimana pendidikan berbasis masyarakat itu?
Mengapa ia perlu dilakukan dalam sebuah penyelenggaraan pendidik-an? Masalah
pendidikan berbasis masyarakat sesungguhnya merupakan wacana baru yang muncul
dalam dunia pendidikan, terutama bagi masyarakat Indonesia. Ia muncul berkaitan
dengan reformasi pendidikan yang menghendaki adanya pergeseran paradigma
pendidikan dari sentralistik ke desentralistik, bergeser dari praktik
pendidikan yang otoriter ke praktik pendidikan demokratis yang membebaskan,
serta dari konsep pendidikan yang berorientasi pemerintah (state oriented) ke konsep pendidikan yang berorientasi masyarakat (community oriented).
B.
Pembahasan
A.
Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
(PBM)
Istilah
pendidikan berbasis masyarakat pada awalnya diperkenalkan oleh Comton and Mc
Clusky dengan menggunakan istilah Community
education for development, yang diartika sebagai sebuah proses dimana
setiap anggota masyarakat hadir untuk mengemukakan setiap persoalan dan
kebutuhan, mencari solusi diantara mereka, mengerahkan sumberdaya yang tersedia
dan melaksanakan suatu rencana kegiatan atau pembelajaran atau keduanya.
Menurut Toto Suharto pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang
sebagian besar keputusan pendidikannya ditentukan oleh masyarakat, dari input,
output, proses dan pendanaan.
Konsep PBM adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, kompetitif, berpengetahuan, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian tenaga pendidikan harus melakukan pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat.
Konsep PBM adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, kompetitif, berpengetahuan, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian tenaga pendidikan harus melakukan pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal
tulisan ini, bahwa pendidikan berbasis
masyarakat merupakan salah satu program dari demokratisasi
pendidikan yang di antaranya dapat diwujudkan
melalui penerapan konsep pendidikan berbasis masyarakat. Konsep ini menghendaki
adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya pengambilan kebijakan-kebijakan
pendidikan. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pendidikan di Indonesia,
menurut Suyata (1996), bukanlah hal yang baru. Ia telah dilaksanakan oleh
yayasan-yayasan swasta, kelompok sukarelawan, organisasi-organisasi
non-pemerintah, dan bahkan oleh perseorangan. Secara khusus Azra (2002)
menyebutkan, di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, partisipasi masyarakat
dalam rangka pendidikan berbasis masyarakat telah dilaksanakan lebih lama lagi,
yaitu setua sejarah perkembangan Islam di bumi Nusantara. Hampir seluruh
lembaga pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari rangkang, dayah, meunasah
(Aceh), surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), bustanul atfal, diniyah dan
sekolah-sekolah Islam lainnya didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat
Muslim. Lembaga-lembaga ini hanya sekedar contoh bagaimana konsep pendidikan
berbasis masyarakat diterapkan oleh masyarakat Indonesia dalam lintasan
sejarah. Permasalahannya, apa itu masyarakat dalam konsep pendidikan berbasis
masyarakat?
Terma “masyarakat” merupakan alih bahasa dari society atau community. Society sering diartikan sebagai “masyarakat umum”,
sedangkan community adalah “masyarakat setempat” atau “paguyuban” (Shadily,
1983). Dictionary of Sociology mencoba
mendefinisikan community sebagai berikut. Community
merupakan sub-kelompok yang mempunyai karakteristik seperti society, tetapi
pada skala yang lebih kecil, dan dengan kepentingan yang kurang luas dan
terkoordinir. Tersembunyi dalam konsep community adalah adanya suatu wilayah
teritorial, sebuah derajat yang dapat dipertimbangkan mengenai perkenalan dan
kontak antar pribadi, dan adanya beberapa basis koherensi khusus yang
memisahkannya dari kelompok yang berdekatan. Community mempunyai perbekalan
diri terbatas di banding society, tetapi dalam batas-batas itu mempunyai
asosiasi yang akrab dan simpati yang lebih dalam. Mungkin ada beberapa ikatan
kesatuan khusus dalam community, seperti ras, asal-usul bangsa atau afiliasi
keagamaan.
Pengertian leksikal di atas mengisyaratkan bahwa
community biasanya dimaknai sebagai suatu kelompok manusia yang mendiami suatu
wilayah tertentu dengan segala ikatan dan norma di dalamnya. Dengan redaksi
berbeda, Smucker (1955) mencoba mendekati pendidikan dengan perspektif
masyarakat (community approach to
education). Ia mendefinisikan community sebagai suatu kumpulan populasi,
tinggal pada suatu wilayah yang berdekatan, terintegrasi melalui pengalaman
umum, memiliki sejumlah institusi pelayanan dasar, menyadari akan kesatuan
lokalnya, dan mampu bertindak dalam kapasitasnya sebagai suatu korporasi.
Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat
mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika.
Dr. Arief Rahman[1]
mengungkapkan beberapa problem mengenai mutu pendidikan yang saat ini
terjadi,yaitu:
a) pembiasaan atau penyimpanganarah pendidikan dari tujuan pokoknya,
b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,
c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.
a) pembiasaan atau penyimpanganarah pendidikan dari tujuan pokoknya,
b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,
c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.
Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika
pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan,
sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut
menjadi lebih komplek jika dikaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh
masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil
pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya
saing yang rendah.
Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu
hasil pendidikan adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap
persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen pihak terkait (pendidikan).
Hal ini menggambarkan
secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem
pendidikan sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam
masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar
prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan
di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan
(dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak
bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
Sementara itu, saat ini juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai
dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara
Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour
Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik
politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan
geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara
global dapat dilihat dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba.
Secara regional dapat dilihat dengan maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida
ligitan. Secara Nasional dapat dilihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba,
pariwisata, dan demokrasi.
Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan
mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya
manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain.
Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum
2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK-yang kemudian menjadi KTSP). Dengan kurikulum ini materi
pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi
dasar. Pusat hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk
menyampaikan semua materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk
mencapai kompetensi dan berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif
(Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004).
Sejalan dengan dicanangkannya KBK / KTSP, pemerintah juga melakukan
pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah
menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang
memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya
sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam
upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan
nasional (Irawan, A. 2004).
MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang
dilaksanakan dalam pendidikan formal. Pendidikan selama ini memandang sekolah
sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah dianggap
sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara
pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan
di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan
memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin
lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).
Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder)
terutama orang tua dan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam
peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan model pendidikan berbasis
masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas dari masyarakat dan
menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua
potensi yang ada di masyarakat apabila dapat diberdayakan secara sistemik,
sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional, dapat dijadikan
sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., (2002), masyarakat modern mempunyai tiga
sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor
sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar
menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan
simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka
berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
B.Karakteristik Pendidikan Berbasis
Masyarakat
Pendidikan berbasis
masyarakat secara jelas diperkenalkan di Indonesia melalui Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional BAB XV bagian 2 pasal 55. Dalam undang-undang tersebut, pendidikan
berbasis masyarakat didefinisikan sebagai bentuk penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat
sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh
dan untuk masyarakat.
Menurut Galbraith,
pendidikan berbasis masyarakat memiliki beberapa prinsip, yaitu:
1.
Self determination (menentukan sendiri)
Setiap anggota masyarakat memiliki
hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan
mengenali sumber daya masyarakat yang dapat dipergunakan untuk mencukupi
kebutuhan.
2.
Self help (menolong sendiri)
Masyarakat didorong untuk menolong
diri mereka sendiri, mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun
kemandirian. Hal ini didasari dengan adanya anggapan bahwa kesejahteraan
merupakan tanggung jawab bersama.
3.
Leadership development (pengembangan kepemimpinan)
Pemimpin lokal memiliki kemampuan
untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan memandirikan kelompok untuk
mengembangkan masyarakat secara berkesinambungan.
4.
Localization (lokalitas)
Partisipasi masyarakat akan berjalan
secara maksimal apabila masyarakat mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam
program-program atau pelayanan yang ada dilingkungan tempat tinggalnya.
5.
Integred delivery of service (keterpaduan pemberian layanan)
Setiap organisasi yang ada dalam
masyarakat secara bersama-sama melayani masyarakat untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
6.
Reduce duplication of service (mengurangi duplikasi jasa)
Masyarakat perlu untuk
mengkoordinasikan segala bentuk pelayanan, keuangan dan sumber daya manusia
untuk menghindari duplikasi.
7.
Accept diversity (menerima keaekaragaman)
Pendidikan berbasis masyarakat
hendaknya menghindari adanya pemisahan orang-orang disebabkan oleh perbedaan
usia, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnik, agama, yang menyebabkan
terhalangnya pengembangan masyarakat secara optimal. Pendidikan berbasis
masyarakat tidak menginginkan adanya penyeragaman yang akan menghalangi
berkembangnya pendidikan itu sendiri, sehingga segala macam perbedaan yang ada
diberi penghargaan dan diakui eksistensinya.
8.
Institusional responsive (tanggung jawab kelembagaan)
Lembaga pendidikan harus memiliki
kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat yang selalu berubah.
9.
Life long learning (pembelajaran seumur hidup)
Peluang untuk belajar secara formal
harus tersedia untuk semua anggota masyarakat dengan beragam latar belakang.
C.
Kendala Mengimplementasikan Pendidikan
Berbasis Masyarakat
Kendala dalam
mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004
adalah:
·
Sistem perencanaan, pengangguran dan
pertanggung jawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari bawah ke atas (Top
Down).
·
Kurangnya kepercayaan pemerintah
terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
·
Sikap Birokrat yang belum mampu
membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
·
Karakteristik kebutuhan belajar
masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih
turun dari atas dan bersifat standar.
·
Sikap masyarakat dan juga pola pikirnya
dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-hal yang bersifat kebutuhan
kebendaan / badani.
·
Budaya
menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
·
Tokoh
panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan
sering berperilaku seperti birokrat.
·
Lembaga
sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
·
Keterbatasan
anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
·
Egoisme
sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang
kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan
berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.
Sistem yang masih
top down yang kurang memberikan ruang dan peluang perencanaan dari bawah,
sehingga terjadi penyeragaman program serta penyeragaman sistem dan mekanisme
pelaksanaan program mengakibatkan pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu
kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi.
Kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengambil peran
dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat mengakibatkan
terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.
Sementra itu, masyarakat masih memiliki budaya statis, merasa puas dengan
apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil
prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan menyebabkan
sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka. Tokoh panutan yang berperilaku
seperti birokrat mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk
mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan
program.
Selain itu juga, kurangnya LSM mengakibatkan kelambatan
dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
pendidikan berbasis masyarakat. Keterbatasan anggaran, sarana prasarana dan tenaga
kependidikan serta prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan kepercayaan
masyarakat terhadap program pendidikan berbasis masyarakat berkurang.
Bertolak dari permasalahan-permasalahan ini, institusi sekolah bersama
masyarakat perlu menyusun suatu model kebijakan sampai batas mana masyarakat
dapat berpartisipasi dalam manajemen pendidikan dan bagaimana masyarakat itu
dapat berpartisipasi memenuhi kebutuhan sekolah. Salah satu solusinya, aspirasi masyarakat dan
keikutsertaan masyarakat disalurkan melalui suatu forum yang disebut dewan
sekolah atau komite sekolah yang fungsi tugasnya dituangkan dalam peraturan
pemerintah maupun peraturan daerah. Komite sekolah merupakan pengembangan
fungsi dari BP3 yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan dukungan pembiayaan
tetapi juga berfungsi mengoreksi dan memberikan masukan atau ide bagi upaya
peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite sekolah sebagai forum keikut
sertaan masyarakat ditingkat sekolah sedangkan dewan pendidikan ditingkat
Kabupaten/Kota.
Sekolah dan
masyarakat saling membutuhkan sehingga kekuatan dan keterbatasan masing-masing
dapat saling melengkapi menjadi sebuah kekuatan. Hal-hal yang dapat didukung
orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala,
S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan
kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas,
dan kompetensi perseorangan.
Selain itu untuk
mengatasi kendala penerapan berbasis masyarakat perlu dilakukan perbahan sikap
yang melihat pendidikan secara utuh, perubahan pola perencanaan dan penggunaan
anggaran dari pusat dengan pola DIPA ke pola hibah (block grant), perubahan sikap birokrat dalam berperilaku untuk
memberdayakan masyarakat, pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk
mengelola sendiri pendidikan yang mereka perlukan dan pemerintah cukup membuat
standar mutu, LSM serta organisasi kemasyarakatan serta swasta yang mau
bergerak dibidang pendidikan perlu lebih diberdayakan.
D. Peran Pemerintah dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
D. Peran Pemerintah dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Peran pemerintah dalam
pendidikan berbasis masyarakat cukup besar, meskipun peran sentral tidak lagi
dipegang, namun keberadaan pemerintah sebagai mediator dan pengawas pendidikan
dalam skala nasional tetaplah diperlukan.
Agak sedikit berbeda
dengan konsep sentralisasi, dalam konsep desentralisasi peran pemerintah dalm
konteks pendidikan tidak terlalu besar, karena pendidikan yang berada di daerah
sudah diberikan kewenangan kepada pemerintah setempat untuk mengelola
pendidikan. Hal ini dipahami karena yang lebih mengetahui potensi dan
pendidikan daerah adalah pemerintah setempat.
Beberapa peran yang
diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan
pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah
peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai
pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana.
Sebagai Pelayan Masyarakat, dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.
Sebagai Fasilitator, pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.
Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan.
Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa (bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat (Ing ngarsa sung tulodo).
Sebagai Mitra, apabila kita berangkat sari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.
Sebagai Penyandang Dana, pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat yang disalurkan berdasarkan usulan dari lembaga pengelola PKBM.
Sebagai Pelayan Masyarakat, dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.
Sebagai Fasilitator, pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.
Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan.
Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa (bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat (Ing ngarsa sung tulodo).
Sebagai Mitra, apabila kita berangkat sari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.
Sebagai Penyandang Dana, pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat yang disalurkan berdasarkan usulan dari lembaga pengelola PKBM.
E.
Pesantren:
sebagai lembaga Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pesantren terbentuk
berawal dari kebutuhan masyarakat. Masyarakat memerlukan pendidikan yang
akan meningkatkan kualitas hidupnya.
Maka masyarakat belejar kepada orang lain yang dianggap berilmu. Dari hal
sederhana inilah pesantren berkembang tidak saja sebagai sebuah lembaga
pendidikan, tetapi juga sebuah system dan komunitas.
Dilihat dari pembentukan dan
karakteristiknya, pesantren dapat dikatakan sebagai sebuah lembaga pendidikan
yang berbasis masyarakat. Pesantren muncul karena adanya kebutuhan masyarakat
akan pendidikan. Pesantren tidak akan ada apabila masyarakat sekitarnya tidak
memiliki kesadaran akan perlunya pendidikan bagi mereka.
Sebuah lembaga pendidikan
akan berfungsi dengan baik apabila mampu memlihara keterpaduan antara kehidupan
dalam lembaga pendidikab dengan masyarakat. Lembaga pendidikan harus terbuka,
kreatif, dinamis ditengah-tengah masyarakat. Dengan menjadi lembaga pendidikan
yang terbuka dan fleksibel, akan lebih mudah membentuk sebuah pusat kegiatan
pendidikan yang menyediakan kesempatan dan pengalaman kepada peserta didik
sehingga siap menghadapi berbagai masalah kehidupan. Pesantren telah memnuhi
persyaratan ini. Pesantren menggunakan system pendidikan yang fleksibel dan
dekat dengan lingkungannya. Hal ini menjadikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang efisien dan fungsional.
Kedekatan pesantren
dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya
membuat pesantren memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap
lingkungan sekitarnya. Apalagi dengan dipertahankannya lokalitas pesantren.
Pesantren menjadi bagian penting dalam masyarakat dan dapat segera tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini membuat pesantren memiliki sifat
institusional responsive. Segala macam ilmu yang dibutuhkan masyatakat dapat
diakomodiur oleh pesantren dengan
memanfaatkan potensi masyarakat, bahakan dimasa lalu mengajarkab cara
bercocok tanam.
Syarat keterbukaan dalam
menerima peserta didik juga dipenuhi oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan
berbasis masyarakat. Pesantren tidak memiliki jenjang dan batasan waktu
pendidikan. Siapapun dengan latar belakang pendidikan apapun dapat bergabung dan
belajar dipesantren. Penyelesaian kegiatan pembelajaran bukan berdasarkan
pemenuhan kredit ataupun jenjang. Santri baru dinyatakan selesai apabila telah
menguasai ilmu yang dipelajarinya, itupun ia masih diberi kesempatan untuk
memperdalam atau memperluas ilmunya lagi.
Posisi pesantren pada
masa pemerintah kolonial sebagai antitetis pemerintah turut mempengaruhi
perkembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat.
Keterkucilan pesantren dalam kehidupapemerintahan memaksa pesantren untuk
berdiri diatas kakinya sendiri. Namun setelah
kemerdekaan, popularitas sekolah formal membuat beberapa pesantren merasa
dituntut untuk membuka dirinya sendiri. Penyeragaman yang diterapkan oleh
pemerintah dalam pendidikan sedikit banyak telah mengubah kultur pesantren.
Beberapa pesantren yang merasaka adanya konflik antara kebijakan pemerintah
dengan system tradisional pesantren berupaya untuk membelokan kurikulum,
melakukan penyesuaian dengan lingkungan disekitarnya. Dalam hal ini pesantren
berperan sebagai center of selfhelp:
mengambil kebijakan yang sesuai untuk menyelesaikan masalah yang ada secara
mandiri.
F.
Penutup
Dari analisa diatas, dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu:
ü Peran
pemerintah harus bergeser sebagai pelayan, pendamping, pendorong dan penggugah dalam
mengembangkan PBM.
ü PBM
harus bertumpu pada masyarakat.
ü PBM
harus didukung oleh kemitrasejajaran.
ü Penganekaragaman
program pembelajaran perlu dikembangkan.
ü Pola
penganggaran yang salah dapat memastikan kreativitas masyarakat.
ü PBM
ditumbuhkan, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.
Referensi
Irawan, A., dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah. Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta. Indonesia Corruption Watch, Jakarta.
Jalal, F. Dan Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Bappenas-Depdiknas. Adicita Karya Nusantara. Jakarta.
Mukhlishah. 2002. Mendesak, Pendidikan Berbasis Komunitas. Pikiran Rakyat Cyber Media. Jakarta.
Sagala, S. 2004. Manajemen Berbasis sekolah dan Masyarakat. Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. PT Rakasta Samasta, Jakarta.
Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar. Menggagas paradigma Baru Pendidikan. Radar Jaya Offset, Jakarta.
Sudjatmiko dan Nurlaili, L. 2004. KBK dalam Menunjang Kecakapan Hidup Siswa. Dirtendik, Reformasi pendidikan. Pikiran Rakyat, 2 Mei 2002. Jakarta.
[1] Dalam Mukhlishah. 2002. Mendesak,
Pendidikan Berbasis Komunitas. Jakarta: Pikiran Rakyat Cyber Media.hal. 30
Halo, saya Ibu Joyce, pemberi pinjaman pinjaman swasta yang memberikan pinjaman kesempatan seumur hidup. Apakah Anda membutuhkan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau Anda membutuhkan pinjaman untuk meningkatkan bisnis Anda? Anda telah ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Apakah Anda membutuhkan pinjaman konsolidasi atau hipotek? mencari lebih karena kita di sini untuk membuat semua masalah keuangan Anda sesuatu dari masa lalu. Kami meminjamkan dana kepada individu yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit buruk atau membutuhkan uang untuk membayar tagihan, untuk berinvestasi di bisnis di tingkat 2%. Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu Anda bahwa kami memberikan bantuan yang handal dan penerima dan akan bersedia untuk menawarkan pinjaman. Jadi hubungi kami hari ini melalui email di: joycemeyerloanfirm@gmail.com
BalasHapusSelamat Tahun Baru semuanya,
BalasHapusNama saya Mia Aris.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 JUTA) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com.
Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.