Senin, 15 Desember 2014

Makalah; kebijakan pemerintah terhadap pendidikan berbasis masyarakat



A.     Pendahuluan
            Pendidikan pada asalnya merupakan sebuah usaha secara terus dan berkesinambungan dari manusia agar kelangsungan kehidupan bermartabat dapat terus tercipta.
Kemajuan zaman yang menjadi pertanda persaingan semakin kompleks, secara langsung memberikan efek tekanan yang besar bagi dunia pendidikan. Maka secara jelas dunia pendidikan harus melakukan terobosan-terobosan penting untuk hal ini.
 
Dalam makalah ini nantinya akan dibahas terkait hubungan antara kebijakan pemerintah terhadap pendidikan berbasis masyarakat, serta berbagai ulasan serta keterkaitan berbagai elemen di dalamnya.
Pada dasarnya, Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) bertujuan untuk membantu pemerintah dalam memobilisasi sumber daya lokal dan meningkatkan peranan masyarakat, meningkatkan rasa kepemilikan dan dukungan masyarakat terhadap sekolah, dan mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan, serta membantu mengatasi putus sekolah terutama dari SD. Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) dirasa penting, mengingat beberapa faktor, yaitu:
·      Besarnya penduduk indonesia yang menempuh pendidikan luar sekolah
·      Rendahnya anggaran dari pemerintah
·      Pemerintah belum melihat pendidikan secara utuh
Pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan kondisi negara dan kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa. Pendidikan dengan sendirinya merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada (Kartono, 1997). Masalah pendidikan akan menjadi masalah politik apabila pemerintah ikut terlibat di dalamnya. Bahkan menurut Michael W. Apple sebagaimana dikutip H.A.R. Tilaar (2003), kurikulum pendidikan yang berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Melalui kurikulum, pemerintah telah menjadikan pendidikan sebagai sarana rekayasa dalam rangka mengekalkan struktur kekuasaannya. Oleh karena itu, masalah pendidikan sesungguhnya adalah masalah politik, tapi bukan dalam artian yang praktis. Diakui Paulo Freire (2000), sekolah memang merupakan alat kontrol sosial yang efesien bagi upaya menjaga status quo. Di negara otoriter yang menganut paham pemerintahan totalitarianisme, pemerintah akan membatasi kebebasan individu dengan mengeluarkan kebijakan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik. Bagi negara semacam ini, pendidikan adalah kekuatan politik untuk mendominasi rakyat. Pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan, sebab tujuan pendidikan baginya adalah membuat rakyat menjadi alat negara (Kartono, 1997). Sebagai respon terhadap pandangan ini, muncul paham pemerintahan yang menerapkan konsep negara demokrasi, yang menghendaki adanya demokratisasi dalam pendidikan.
Demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan suatu keharusan, agar dapat melahirkan manusia-manusia yang berwatak demokratis. Reformasi pendidikan melalui demokrasi pendidikan, menurut Zamroni dapat dilakukan dalam tiga aspek pendidikan, yaitu regulatori, profesionalitas, dan manajemen. Aspek regulatori dititikberatkan pada reformasi kurikulum yang berkaitan dengan perumusan tujuan pendidikan, penerapan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum), pergeseran paradigma kerja guru dari responsibility ke arah accountability dan pelaksanaan evaluasi dengan Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat esei dan porto folio. 
Aspek profesionalitas ditujukan untuk mengembalikan hak-hak dan wewenang kepada guru dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Aspek ini dapat ditempuh melalui pengembangan kesadaran hak-hak politik guru dan pemberian kesempatan kepada guru untuk mengembangkan dirinya. Sedangkan aspek manajemen pendidik-an ditujukan untuk mengubah pusat-pusat pengambilan dan kendali pendidikan. Reformasi aspek manajemen ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, memberikan kesempatan yang lebih luas kepada lembaga pendidikan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan. Bentuk kebijakan ini adalah menumbuhkan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Kedua, memberikan kesempatan yang luas kepada warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan ini dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
Tulisan ini dengan telaah filosofis bermaksud mengungkap ide-ide dan konsep-konsep dasar yang terkandung dalam pendidikan berbasis masyarakat. Apa dan bagaimana pendidikan berbasis masyarakat itu? Mengapa ia perlu dilakukan dalam sebuah penyelenggaraan pendidik-an? Masalah pendidikan berbasis masyarakat sesungguhnya merupakan wacana baru yang muncul dalam dunia pendidikan, terutama bagi masyarakat Indonesia. Ia muncul berkaitan dengan reformasi pendidikan yang menghendaki adanya pergeseran paradigma pendidikan dari sentralistik ke desentralistik, bergeser dari praktik pendidikan yang otoriter ke praktik pendidikan demokratis yang membebaskan, serta dari konsep pendidikan yang berorientasi pemerintah (state oriented) ke konsep pendidikan yang berorientasi masyarakat (community oriented).
B.     Pembahasan
A.     Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM)
      Istilah pendidikan berbasis masyarakat pada awalnya diperkenalkan oleh Comton and Mc Clusky dengan menggunakan istilah Community education for development, yang diartika sebagai sebuah proses dimana setiap anggota masyarakat hadir untuk mengemukakan setiap persoalan dan kebutuhan, mencari solusi diantara mereka, mengerahkan sumberdaya yang tersedia dan melaksanakan suatu rencana kegiatan atau pembelajaran atau keduanya. Menurut Toto Suharto pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang sebagian besar keputusan pendidikannya ditentukan oleh masyarakat, dari input, output, proses dan pendanaan.     
      Konsep PBM adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, kompetitif, berpengetahuan, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.      

      D
engan demikian tenaga pendidikan harus melakukan pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan salah satu program dari demokratisasi pendidikan yang di antaranya dapat diwujudkan melalui penerapan konsep pendidikan berbasis masyarakat. Konsep ini menghendaki adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya pengambilan kebijakan-kebijakan pendidikan. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pendidikan di Indonesia, menurut Suyata (1996), bukanlah hal yang baru. Ia telah dilaksanakan oleh yayasan-yayasan swasta, kelompok sukarelawan, organisasi-organisasi non-pemerintah, dan bahkan oleh perseorangan. Secara khusus Azra (2002) menyebutkan, di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, partisipasi masyarakat dalam rangka pendidikan berbasis masyarakat telah dilaksanakan lebih lama lagi, yaitu setua sejarah perkembangan Islam di bumi Nusantara. Hampir seluruh lembaga pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari rangkang, dayah, meunasah (Aceh), surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), bustanul atfal, diniyah dan sekolah-sekolah Islam lainnya didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat Muslim. Lembaga-lembaga ini hanya sekedar contoh bagaimana konsep pendidikan berbasis masyarakat diterapkan oleh masyarakat Indonesia dalam lintasan sejarah. Permasalahannya, apa itu masyarakat dalam konsep pendidikan berbasis masyarakat?
Terma “masyarakat” merupakan alih bahasa dari society atau community. Society sering diartikan sebagai “masyarakat umum”, sedangkan community adalah “masyarakat setempat” atau “paguyuban” (Shadily, 1983). Dictionary of Sociology mencoba mendefinisikan community sebagai berikut. Community merupakan sub-kelompok yang mempunyai karakteristik seperti society, tetapi pada skala yang lebih kecil, dan dengan kepentingan yang kurang luas dan terkoordinir. Tersembunyi dalam konsep community adalah adanya suatu wilayah teritorial, sebuah derajat yang dapat dipertimbangkan mengenai perkenalan dan kontak antar pribadi, dan adanya beberapa basis koherensi khusus yang memisahkannya dari kelompok yang berdekatan. Community mempunyai perbekalan diri terbatas di banding society, tetapi dalam batas-batas itu mempunyai asosiasi yang akrab dan simpati yang lebih dalam. Mungkin ada beberapa ikatan kesatuan khusus dalam community, seperti ras, asal-usul bangsa atau afiliasi keagamaan.
Pengertian leksikal di atas mengisyaratkan bahwa community biasanya dimaknai sebagai suatu kelompok manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu dengan segala ikatan dan norma di dalamnya. Dengan redaksi berbeda, Smucker (1955) mencoba mendekati pendidikan dengan perspektif masyarakat (community approach to education). Ia mendefinisikan community sebagai suatu kumpulan populasi, tinggal pada suatu wilayah yang berdekatan, terintegrasi melalui pengalaman umum, memiliki sejumlah institusi pelayanan dasar, menyadari akan kesatuan lokalnya, dan mampu bertindak dalam kapasitasnya sebagai suatu korporasi.
      Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika.
      Dr. Arief Rahman[1] mengungkapkan beberapa problem mengenai mutu pendidikan yang saat ini terjadi,yaitu:          
a)  pembiasaan atau penyimpanganarah pendidikan dari tujuan pokoknya,         
b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,        
c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada   aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.       
      Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika dikaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah.        
      Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen pihak terkait (pendidikan). Hal ini menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
      Sementara itu, saat ini juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara global dapat dilihat dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat dilihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi.
      Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain. Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK-yang kemudian menjadi KTSP). Dengan kurikulum ini materi pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004).
      Sejalan dengan dicanangkannya KBK / KTSP, pemerintah juga melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A. 2004).
      MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam pendidikan formal. Pendidikan selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).     
      Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas dari masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua potensi yang ada di masyarakat apabila dapat diberdayakan secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional, dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional.
      Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., (2002), masyarakat modern mempunyai tiga sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
B.Karakteristik Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat secara jelas diperkenalkan di Indonesia melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional BAB XV bagian 2 pasal 55. Dalam undang-undang tersebut, pendidikan berbasis masyarakat didefinisikan sebagai bentuk penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan  pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.
Menurut Galbraith, pendidikan berbasis masyarakat memiliki beberapa prinsip, yaitu:
1.      Self determination (menentukan sendiri)
Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengenali sumber daya masyarakat yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan.
2.      Self help (menolong sendiri)
Masyarakat didorong untuk menolong diri mereka sendiri, mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian. Hal ini didasari dengan adanya anggapan bahwa kesejahteraan merupakan tanggung jawab bersama.

3.      Leadership development (pengembangan kepemimpinan)
Pemimpin lokal memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan memandirikan kelompok untuk mengembangkan masyarakat secara berkesinambungan.
4.      Localization (lokalitas)
Partisipasi masyarakat akan berjalan secara maksimal apabila masyarakat mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam program-program atau pelayanan yang ada dilingkungan tempat tinggalnya.
5.      Integred delivery of service (keterpaduan pemberian layanan)
Setiap organisasi yang ada dalam masyarakat secara bersama-sama melayani masyarakat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
6.      Reduce duplication of service (mengurangi duplikasi jasa)
Masyarakat perlu untuk mengkoordinasikan segala bentuk pelayanan, keuangan dan sumber daya manusia untuk menghindari duplikasi.
7.      Accept diversity (menerima keaekaragaman)
Pendidikan berbasis masyarakat hendaknya menghindari adanya pemisahan orang-orang disebabkan oleh perbedaan usia, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnik, agama, yang menyebabkan terhalangnya pengembangan masyarakat secara optimal. Pendidikan berbasis masyarakat tidak menginginkan adanya penyeragaman yang akan menghalangi berkembangnya pendidikan itu sendiri, sehingga segala macam perbedaan yang ada diberi penghargaan dan diakui eksistensinya. 
8.      Institusional responsive (tanggung jawab kelembagaan)
Lembaga pendidikan harus memiliki kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat yang selalu berubah.
9.      Life long learning (pembelajaran seumur hidup)
Peluang untuk belajar secara formal harus tersedia untuk semua anggota masyarakat dengan beragam latar belakang.
C.      Kendala Mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat     
Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004 adalah:            
·         Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggung jawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari bawah ke atas (Top Down).
·         Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
·         Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
·         Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.     
·         Sikap masyarakat dan juga pola pikirnya dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-hal yang bersifat kebutuhan kebendaan / badani.
·         Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
·         Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat.
·         Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.   
·         Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
·         Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.       
Sistem yang masih top down yang kurang memberikan ruang dan peluang perencanaan dari bawah, sehingga terjadi penyeragaman program serta penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program mengakibatkan pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi.
Kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.
Sementra itu, masyarakat masih memiliki budaya statis, merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka. Tokoh panutan yang berperilaku seperti birokrat mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.  
 Selain itu juga, kurangnya LSM mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat. Keterbatasan anggaran, sarana prasarana dan tenaga kependidikan serta prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program pendidikan berbasis masyarakat berkurang.            
Bertolak dari permasalahan-permasalahan ini, institusi sekolah bersama masyarakat perlu menyusun suatu model kebijakan sampai batas mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam manajemen pendidikan dan bagaimana masyarakat itu dapat berpartisipasi memenuhi kebutuhan sekolah. Salah satu solusinya, aspirasi masyarakat dan keikutsertaan masyarakat disalurkan melalui suatu forum yang disebut dewan sekolah atau komite sekolah yang fungsi tugasnya dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Komite sekolah merupakan pengembangan fungsi dari BP3 yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan dukungan pembiayaan tetapi juga berfungsi mengoreksi dan memberikan masukan atau ide bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite sekolah sebagai forum keikut sertaan masyarakat ditingkat sekolah sedangkan dewan pendidikan ditingkat Kabupaten/Kota.
Sekolah dan masyarakat saling membutuhkan sehingga kekuatan dan keterbatasan masing-masing dapat saling melengkapi menjadi sebuah kekuatan. Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.       
Selain itu untuk mengatasi kendala penerapan berbasis masyarakat perlu dilakukan perbahan sikap yang melihat pendidikan secara utuh, perubahan pola perencanaan dan penggunaan anggaran dari pusat dengan pola DIPA ke pola hibah (block grant), perubahan sikap birokrat dalam berperilaku untuk memberdayakan masyarakat, pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri pendidikan yang mereka perlukan dan pemerintah cukup membuat standar mutu, LSM serta organisasi kemasyarakatan serta swasta yang mau bergerak dibidang pendidikan perlu lebih diberdayakan.      

D. Peran Pemerintah dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Peran pemerintah dalam pendidikan berbasis masyarakat cukup besar, meskipun peran sentral tidak lagi dipegang, namun keberadaan pemerintah sebagai mediator dan pengawas pendidikan dalam skala nasional tetaplah diperlukan.
Agak sedikit berbeda dengan konsep sentralisasi, dalam konsep desentralisasi peran pemerintah dalm konteks pendidikan tidak terlalu besar, karena pendidikan yang berada di daerah sudah diberikan kewenangan kepada pemerintah setempat untuk mengelola pendidikan. Hal ini dipahami karena yang lebih mengetahui potensi dan pendidikan daerah adalah pemerintah setempat.
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana.  
            Sebagai Pelayan Masyarakat, dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.
   
            Sebagai Fasilitator, pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.
        
            Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan.
      
            Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa (bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat (Ing ngarsa sung tulodo).
           
            Sebagai Mitra, apabila kita berangkat sari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.
           
            Sebagai Penyandang Dana, pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat yang disalurkan berdasarkan usulan dari lembaga pengelola PKBM.
E.      Pesantren: sebagai lembaga Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pesantren terbentuk berawal dari kebutuhan masyarakat. Masyarakat memerlukan pendidikan yang akan  meningkatkan kualitas hidupnya. Maka masyarakat belejar kepada orang lain yang dianggap berilmu. Dari hal sederhana inilah pesantren berkembang tidak saja sebagai sebuah lembaga pendidikan, tetapi juga sebuah system dan komunitas.
Dilihat dari pembentukan dan karakteristiknya, pesantren dapat dikatakan sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat. Pesantren muncul karena adanya kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Pesantren tidak akan ada apabila masyarakat sekitarnya tidak memiliki kesadaran akan perlunya pendidikan bagi mereka.
Sebuah lembaga pendidikan akan berfungsi dengan baik apabila mampu memlihara keterpaduan antara kehidupan dalam lembaga pendidikab dengan masyarakat. Lembaga pendidikan harus terbuka, kreatif, dinamis ditengah-tengah masyarakat. Dengan menjadi lembaga pendidikan yang terbuka dan fleksibel, akan lebih mudah membentuk sebuah pusat kegiatan pendidikan yang menyediakan kesempatan dan pengalaman kepada peserta didik sehingga siap menghadapi berbagai masalah kehidupan. Pesantren telah memnuhi persyaratan ini. Pesantren menggunakan system pendidikan yang fleksibel dan dekat dengan lingkungannya. Hal ini menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang efisien dan fungsional. 
Kedekatan pesantren dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya  membuat pesantren memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Apalagi dengan dipertahankannya lokalitas pesantren. Pesantren menjadi bagian penting dalam masyarakat dan dapat segera tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini membuat pesantren memiliki sifat institusional responsive. Segala macam ilmu yang dibutuhkan masyatakat dapat diakomodiur oleh pesantren dengan  memanfaatkan potensi masyarakat, bahakan dimasa lalu mengajarkab cara bercocok tanam.
Syarat keterbukaan dalam menerima peserta didik juga dipenuhi oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Pesantren tidak memiliki jenjang dan batasan waktu pendidikan. Siapapun dengan latar belakang pendidikan apapun dapat bergabung dan belajar dipesantren. Penyelesaian kegiatan pembelajaran bukan berdasarkan pemenuhan kredit ataupun jenjang. Santri baru dinyatakan selesai apabila telah menguasai ilmu yang dipelajarinya, itupun ia masih diberi kesempatan untuk memperdalam atau memperluas ilmunya lagi.
Posisi pesantren pada masa pemerintah kolonial sebagai antitetis pemerintah turut mempengaruhi perkembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Keterkucilan pesantren dalam kehidupapemerintahan memaksa pesantren untuk berdiri  diatas kakinya sendiri. Namun setelah kemerdekaan, popularitas sekolah formal membuat beberapa pesantren merasa dituntut untuk membuka dirinya sendiri. Penyeragaman yang diterapkan oleh pemerintah dalam pendidikan sedikit banyak telah mengubah kultur pesantren. Beberapa pesantren yang merasaka adanya konflik antara kebijakan pemerintah dengan system tradisional pesantren berupaya untuk membelokan kurikulum, melakukan penyesuaian dengan lingkungan disekitarnya. Dalam hal ini pesantren berperan sebagai center of selfhelp: mengambil kebijakan yang sesuai untuk menyelesaikan masalah yang ada secara mandiri.
F.      Penutup
Dari analisa diatas, dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu:  
ü   Peran pemerintah harus bergeser sebagai pelayan, pendamping, pendorong dan penggugah dalam mengembangkan PBM.  
ü   PBM harus bertumpu pada masyarakat.
ü   PBM harus didukung oleh kemitrasejajaran.      
ü   Penganekaragaman program pembelajaran perlu dikembangkan.          
ü   Pola penganggaran yang salah dapat memastikan kreativitas masyarakat.         
ü   PBM ditumbuhkan, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.           














Referensi
Irawan, A., dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah. Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta. Indonesia Corruption Watch, Jakarta.
 
Jalal, F. Dan Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Bappenas-Depdiknas
. Adicita Karya Nusantara. Jakarta.   
Mukhlishah. 2002. Mendesak, Pendidikan Berbasis Komunitas. Pikiran Rakyat Cyber Media.
Jakarta.  
Sagala, S. 2004. Manajemen Berbasis sekolah dan Masyarakat. Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. PT Rakasta Samasta, Jakarta.
     
Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar. Menggagas paradigma Baru Pendidikan. Radar Jaya Offset, Jakarta.
  
Sudjatmiko dan Nurlaili, L. 2004. KBK dalam Menunjang Kecakapan Hidup Siswa. Dirtendik, Reformasi pendidikan. Pikiran Rakyat, 2 Mei 2002.
Jakarta.  



[1] Dalam Mukhlishah. 2002. Mendesak, Pendidikan Berbasis Komunitas. Jakarta: Pikiran Rakyat Cyber Media.hal. 30

2 komentar:

  1. Halo, saya Ibu Joyce, pemberi pinjaman pinjaman swasta yang memberikan pinjaman kesempatan seumur hidup. Apakah Anda membutuhkan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau Anda membutuhkan pinjaman untuk meningkatkan bisnis Anda? Anda telah ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Apakah Anda membutuhkan pinjaman konsolidasi atau hipotek? mencari lebih karena kita di sini untuk membuat semua masalah keuangan Anda sesuatu dari masa lalu. Kami meminjamkan dana kepada individu yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit buruk atau membutuhkan uang untuk membayar tagihan, untuk berinvestasi di bisnis di tingkat 2%. Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu Anda bahwa kami memberikan bantuan yang handal dan penerima dan akan bersedia untuk menawarkan pinjaman. Jadi hubungi kami hari ini melalui email di: joycemeyerloanfirm@gmail.com

    BalasHapus
  2. Selamat Tahun Baru semuanya,

    Nama saya Mia Aris.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 JUTA) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com.
    Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.

    BalasHapus