Sarno
Hanipudin, terlahir dari keluarga
sederhana nan jauh di desa. Putra ke-5 dari 6 bersaudara ini semenjak kecil ia
dibina langsung oleh orang tuanya khususnya dalam bidang agama. Bapaknya yang
merupakan guru agama yang bertugas di Pangandaran sekaligus “empunya” masjid, seakan menjadi aib
apabila anak-anaknya gamang dalam bidang agama.
Kelahirannya yang berbarengan dengan diangkat
bapaknya menjadi PNS di tahun 1985, membuatnya menjadi anak yang
‘diistimewakan’, akan tetapi rampung kuliah S1 juga berbarengan dengan
pensiunnya bapaknya sebagai PNS di tahun 2009.
Semenjak lahir, kecil dan besar dilingkungan
pedesaan yang mengangkat tinggi persaudaraan dan persahabatan, masa kecil
hingga sekolah menengah atas dihabiskan di
kota banjar. Di tahun 2002 merantau ke Purwokerto untuk kuliah di STAIN
Purwokerto, yang saat ini menjadi IAIN Purwokerto. Selama menetap di
Purwokerto, ia mesantren di PP Darul Abror, banyak ilmu tentunya yang di
dapatkan dari mesantren dan kuliah dalam waktu bersamaan ini, tetapi juga tentunya
capeknya juga dua kali lipat.
Menginjak masa akhir studi, ia diberi
kesempatan untuk bergabung dalam BEM- ST, selama di BEM ia mengadakan
acara-acara yang cukup luar biasa, salah satunya adalah mengadakan seminar
nasional “Agama dan Solidaritas Bangsa” di tahun 2008, dengan mendatangkan
Ismail Yusanto (Jubir HTI), DR. Chairil Anwar (PP Muhammadiyah) dan Masdar
Farid Mas’udi (PBNU), tujuan acara ini adalah “upaya pencerdasan dibalik perbedaan”.
Sebelum diwisuda ia juga diberi kesempatan untuk mengikuti program “pembibitan
dosen” dan dikirim ke Pare Kediri untuk kursus selama tiga bulan dengan
keseluruhan didanai oleh kampus. Ia menambah waktu kursus menjadi enam bulan
dengan dana sisa yang untuk tiga bulan. Selama di Pare ia ambil kursus di EECC,
The Daffodils, Elfast, The Awwareness.
Menginjak bulan ketiga ia pindah kos ke rumah seorang nenek yang kelak menjadi
“penolong” untuk tiga bulan terakhirnya, akhirnya di tiga bulan terakhir ia
menjadi “abdi” nenek tersebut sampai bulan keenam. Ketika hendak pulang, ia
baru tersadar bahwa uang di sakunya tinggal 80 ribu. Setelah dipikir-pikir
untuk memesan tiket ke stasiun Jombang ia mengayuh sepeda dari Pare Kediri ke
Stasiun Jombang selama 5 jam, capek memang, tapi ini lebih baik dari pada
uangnya semakin menipis untuk bolak-balik ke stasiun Jombang 20 rb, akhirnya ia
dapat tiket dan pulang kembali mengayuh sepeda 6 jam menuju Pare, itulah yang
disebut “The Power Of Bokek” ketika orang
dituntut berhemat maka jalan terpahit harus diambil.
Lulus kuliah S1 tahun 2009 dengan judul
skripsi “Pembaharuan Pendidikan A.S. Panji Gumilang”. Ia merasa bahwa inilah
puncak kepuasaan batiniah, disaat dosen pembimbing sendiri menyarankan untuk
mengganti objek penelitian karena diarasa akan sangat sulit sekali menemukan
data-data yang berhubungan dengan A.S. Panji Gumilang apalagi sampai
menemuinya. Akan tetapi lagi-lagi dengan keyakinan dan tekad yang kuat ia
berhasil meruntuhkan image itu, ia berhasil bertemu dengan A.S Panji Gumilang,
melakukan wawancara, dan hebatnya lagi peristiwa interview tersebut diliput
media dan masuk majalah, maka wajah ‘ndeso’nya terpampang jelas disitu.
Menginjak 2010 ia lanjut kuliah di Institut
PTIQ Jakarta, rektornya adalah wakil menteri Agama RI, Prof, Dr. Nasaruddin Umar.
Alhamdulillah kuliah S2 berjalan singkat hanya 2 tahun, walaupun waktu itu
tinggal di Kota Bogor, letaknya dekat dengan Universitas Ibnu Khaldun, namun
hal itu tidak menjadi persoalan, belum lagi tuntutan untuk membayar SPP yang
begitu besar, sehingga ia menekadkan diri untuk meletakan gengsi di urutan
nomor 1005, pekerjaan apapun dilakukan agar S2 dapat diraih. Tepat di usia 26
gelar M.Pd.I diraih.
Impiannya adalah kembali kuliah S3 sebelum
usia masuki angka 30 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar