Senin, 15 Desember 2014

Biografi Sarno Hanipudin, Kota Banjar, Jawa Barat



Sarno Hanipudin, terlahir dari keluarga sederhana nan jauh di desa. Putra ke-5 dari 6 bersaudara ini semenjak kecil ia dibina langsung oleh orang tuanya khususnya dalam bidang agama. Bapaknya yang merupakan guru agama yang bertugas di Pangandaran  sekaligus “empunya” masjid, seakan menjadi aib apabila anak-anaknya gamang dalam bidang agama.
Kelahirannya yang berbarengan dengan diangkat bapaknya menjadi PNS di tahun 1985, membuatnya menjadi anak yang ‘diistimewakan’, akan tetapi rampung kuliah S1 juga berbarengan dengan pensiunnya bapaknya sebagai PNS di tahun 2009.

 
Semenjak lahir, kecil dan besar dilingkungan pedesaan yang mengangkat tinggi persaudaraan dan persahabatan, masa kecil hingga sekolah menengah atas  dihabiskan di kota banjar. Di tahun 2002 merantau ke Purwokerto untuk kuliah di STAIN Purwokerto, yang saat ini menjadi IAIN Purwokerto. Selama menetap di Purwokerto, ia mesantren di PP Darul Abror, banyak ilmu tentunya yang di dapatkan dari mesantren dan kuliah dalam waktu bersamaan ini, tetapi juga tentunya capeknya juga dua kali lipat.
Menginjak masa akhir studi, ia diberi kesempatan untuk bergabung dalam BEM- ST, selama di BEM ia mengadakan acara-acara yang cukup luar biasa, salah satunya adalah mengadakan seminar nasional “Agama dan Solidaritas Bangsa” di tahun 2008, dengan mendatangkan Ismail Yusanto (Jubir HTI), DR. Chairil Anwar (PP Muhammadiyah) dan Masdar Farid Mas’udi (PBNU), tujuan acara ini adalah “upaya pencerdasan dibalik perbedaan”. Sebelum diwisuda ia juga diberi kesempatan untuk mengikuti program “pembibitan dosen” dan dikirim ke Pare Kediri untuk kursus selama tiga bulan dengan keseluruhan didanai oleh kampus. Ia menambah waktu kursus menjadi enam bulan dengan dana sisa yang untuk tiga bulan. Selama di Pare ia ambil kursus di EECC, The Daffodils, Elfast,  The Awwareness. Menginjak bulan ketiga ia pindah kos ke rumah seorang nenek yang kelak menjadi “penolong” untuk tiga bulan terakhirnya, akhirnya di tiga bulan terakhir ia menjadi “abdi” nenek tersebut sampai bulan keenam. Ketika hendak pulang, ia baru tersadar bahwa uang di sakunya tinggal 80 ribu. Setelah dipikir-pikir untuk memesan tiket ke stasiun Jombang ia mengayuh sepeda dari Pare Kediri ke Stasiun Jombang selama 5 jam, capek memang, tapi ini lebih baik dari pada uangnya semakin menipis untuk bolak-balik ke stasiun Jombang 20 rb, akhirnya ia dapat tiket dan pulang kembali mengayuh sepeda 6 jam menuju Pare, itulah yang disebut “The Power Of Bokek” ketika orang dituntut berhemat maka jalan terpahit harus diambil.
Lulus kuliah S1 tahun 2009 dengan judul skripsi “Pembaharuan Pendidikan A.S. Panji Gumilang”. Ia merasa bahwa inilah puncak kepuasaan batiniah, disaat dosen pembimbing sendiri menyarankan untuk mengganti objek penelitian karena diarasa akan sangat sulit sekali menemukan data-data yang berhubungan dengan A.S. Panji Gumilang apalagi sampai menemuinya. Akan tetapi lagi-lagi dengan keyakinan dan tekad yang kuat ia berhasil meruntuhkan image itu, ia berhasil bertemu dengan A.S Panji Gumilang, melakukan wawancara, dan hebatnya lagi peristiwa interview tersebut diliput media dan masuk majalah, maka wajah ‘ndeso’nya terpampang jelas disitu.
Menginjak 2010 ia lanjut kuliah di Institut PTIQ Jakarta, rektornya adalah wakil menteri Agama RI, Prof, Dr. Nasaruddin Umar. Alhamdulillah kuliah S2 berjalan singkat hanya 2 tahun, walaupun waktu itu tinggal di Kota Bogor, letaknya dekat dengan Universitas Ibnu Khaldun, namun hal itu tidak menjadi persoalan, belum lagi tuntutan untuk membayar SPP yang begitu besar, sehingga ia menekadkan diri untuk meletakan gengsi di urutan nomor 1005, pekerjaan apapun dilakukan agar S2 dapat diraih. Tepat di usia 26 gelar M.Pd.I diraih.
Impiannya adalah kembali kuliah S3 sebelum usia masuki angka 30 tahun.      



Tidak ada komentar:

Posting Komentar