Pendahuluan
Latar Belakang
Sekolah
adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan
output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, “bahwa
sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan
instruksional”. Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim
administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam
rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS
terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah
(school-based governance), manajemen
mandiri sekolah (school self-manegement),
dan bahkan juga dikenal dengan school
site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah
tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda.
Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan
dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya
dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man,
money, dan material.
Penyerahan
otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain adalah dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan
MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Tujuan utama
adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan
masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam
tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta
emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.[1]
Oleh karena itu, perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan. Sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan. Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Oleh karena itu, perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan. Sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan. Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Pembahasan
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:planning, organizing, directing, coordinating, controlling, dan evaluating.
Menurut Gaffar (1989) bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[2]
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:planning, organizing, directing, coordinating, controlling, dan evaluating.
Menurut Gaffar (1989) bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[2]
2. Tujuan Penerapan MBS
MBS
bertujuan untuk meningkatkan keunggulan sekolah melalui pengambilan keputusan
bersama. Fokus kajiannya adalah bagaimana memberikan pelayanan belajar yang
sesuai dengan kebutuhan siswa, memenuhi kriteria yang sesuai dengan
harapan orang tua siswa serta harapan sekolah dalam membangun keunggulan
kompetitif dengan sekolah sejenis.
Tujuan
SMA adalah melayani siswa agar dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dan dapat
memenuhi syarat kompetensi untuk dapat hidup mandiri. Siswa memiliki kompetensi
sehingga dapat hidup dengan mangandalkan potensi dirinya secara kompetitif.
Mutu sekolah ditentukan oleh seberapa besar daya sekolah untuk mewujudkan mutu
lulusan sesuai dengan syarat yang ditentukan bersama. Hal ini sejalan dengan
konsep yang dikemukakan oleh Edward Sallis bahwa mutu adalah memenuhi kriteria
yang dipersyaratkan.[3]
Kejelasan
tujuan merupakan prasyarat efektifnya sekolah. Kriteria mutu yang digambarkan
dengan sejumlah kriteria pencapaian tujuan dengan indikator yang jelas menjadi
bagian penting yang perlu sekolah rumuskan. Keuntungan dengan memperjelas
indikator dan kriteria mutu pada pencaian tujuan akan memandu sekolah
memformulasikan strategi, mengimplementasikan strategi dan mengukur pencapaian
kinerja.
Tujuan
MBS adalah meningkatkan mutu keputusan untuk mencapai tujuan. Oleh karena dalam
pelaksanaan MBS memerlukan tujuan yang hendak dicapai secara jelas, jelas
indikatornya, jelas kriteria pencapaiannya agar keputusan lebih terarah.
Lebih
dari itu dengan proses pengambilan keputusan bersama harus sesuai dengan
kepentingan siswa belajar. Dilihat dari sisi standardisasi, maka
penerapan MBS berarti meningkatkan standar kinerja belajar siswa melalui
pengambilan keputusan bersama, meningkatkan partisipasi dalam pelaksanaan
kegiatan, dan meningkatkan kontrol dan evaluasi agar lebih akuntabel.
Menyepakati profil hasil belajar yang diharapkan bersama merupakan dasar
penting dalam melaksanakan MBS.
3. Sekilas Sejarah Manajemen Berbasis Sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, sekolah telah dikenalkan sebuah pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.[4]
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Sejak beberapa waktu terakhir, sekolah telah dikenalkan sebuah pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.[4]
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di
Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah.
Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama
sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara
mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya
diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan
sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa
saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah
dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran
birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian.
Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah
menyusut lebih dari separuhnya.
MBS
adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan
melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung
jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab
itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat,
masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya
terhadap prestasi belajar murid.Manajemen Berbasis Sekolah dapat bermakna
adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat
sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan
sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan,
kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari
setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh
ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi,
mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting),
dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial
suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi
untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen
berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana
lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau
seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah
yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis
selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di
tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan
lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan
Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang
mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu
dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian
khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse)
manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan,
tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi
akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di
masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
4.
Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
MBS
dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama
ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk
meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan
penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada
dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan
keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS
memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru,
murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.[5]
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan
MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik
dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
5. Pengaruh penerapan MBS
terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah
Penerapan
MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan
banyak pengaruhnya. Perlu diingat bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika
para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri
kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang
haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS
menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih
banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah.
Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah
pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar
kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian,
standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan
keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah
(dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun,
pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi
setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif.
Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung
kreativitasnya untuk berinovasi.Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika
sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang
ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi.
Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah
berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, mayoritas sekolah belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Di Indonesia, mayoritas sekolah belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam
rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar
akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan,
dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan
pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih
menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan
standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan
sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi
kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya),
sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku
pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di
Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen
sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah,
wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat
lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis
kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur
yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik. Di beberapa
distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat
sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada
kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran
yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari
sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam
hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam
jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah
menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk
pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan
transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke
setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah
dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap
sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka
untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan
variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu
disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah,
sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke
program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya
perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
6. Syarat Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu
diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi,
manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini
ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat,
khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan,
kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan
kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut:
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
7.
Hambatan Dalam Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut:
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru. Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut:
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru. Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila
pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat
memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua
unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan
tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja
tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada
level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
8.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
di banyak sekolah Indonesia, mayoritas belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
di banyak sekolah Indonesia, mayoritas belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah
satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan
bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu
menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di
sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama
pula.
Hasil
MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran
kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes
terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima
langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade
County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di
sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun
peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan
MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak
langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di
Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan
menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru
memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan
staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid
sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah
diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam
bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan
penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun,
survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular
di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei
menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal
meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden
yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi
terkini (sebagaimana yang diterbitkan oleh Caldwell & Hayward, 1998;
Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal,
2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan
keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan
dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf
untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi
kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk
kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat
pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan
kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada
belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan
kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.[6]
Di
tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan
TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara
sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif
lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan
lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan
membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal
di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam
membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing
school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas,
yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun
hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga
keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan
swasta.
Pengalaman
menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu
betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan
desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini
merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas,
tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu
merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas
agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua
tingkat.
Satu
implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan
koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan
sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti
pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam
praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS
dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan
sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala
sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana
administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua
mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar
ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka
seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang
baru.
Ada
juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran.
Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan
perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan
murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi
bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis
administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran
kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun,
kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit
bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak
skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu.
Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian
besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya.
Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi
pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh
seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
9.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kesimpulan.
Demikian
makalah singkat ini, harapn penulis bahwa MBS nantinya berjalan sesuai dengan
harapan yang tersimpan dalam konsep MBS itu sendiri, sehingga pendidikan di
Indonesia dapat mencapai kemajuan signifikan dalam beberapa tahun kedepan.
Referensi
Edward Sallis, Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011)
Edward Sallis, Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011)
Nadjamudin Ramly, Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan
Mencerahkan (Jakarta: Grafindo, 2005)
Muhammad Rifa’i, Politik Pendidikan Nasional (Jogjakarta:
Ar-Ruz Media, 2011),
Dede Rosyada, Paradigma Demokratis (Jakarta: Kencana, 2007)
M Ihsan Dacholfany M.Ed Dan Evi Yuzana SKM, Manajemen Berbasis Sekolah (http://makalahkumakalah
mu.net/2009/05/15/manajemen-berbasis-sekolah-mbs/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar