Senin, 15 Desember 2014

Hermeneutika Perspektif Farid Esack



Hermeneutika Perspektif Farid Esack


A. Pendahuluan
Farid Esack dilahirkan di Afrika Selatan, di wynberg wilayah dengan pluralitas agama. Farid Esack memberikan kontribusi kontemporer berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism : An Islamic Perspektive of Interreligious Solidarity againts Oppression (1997). Farid Esack menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk hidup dalam kepercayaan penuh terhadap Al-Qur’an dan konteks kehidupan sekarang yang bersama-sama kepercayaan-kepercayaan lain berkerjasama untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Esack mengembangkan gagasan hermeneutika Al-Qur’an sebagai kontribusi bagi pengembangan pluralisme teologi dalam Islam, menguji cara Al-Qur’an mendefinisikan diri (muslim) dan orang lain (non-muslim) dengan tujuan untuk menciptakan ruang bagi kebenaran. Esack mencoba melihat dari pemikiran Fazlur Rahman Dan Arkoun.
 Fazlur Rahman mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement). Mohammad Arkoun juga menawarkan pendekatan hermeneutik kontemporer. Arkoun menekankan pada pendekatan historis-sosiologis-antropologis, tapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi. Esack berusaha mengeksplorasi retorika pembebasan al-Qur’an dalam suatu teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembebasan yang lebih kohern. Latar belakang Apartheid di Afrika Selatan kesulitan untuk mengeksplorasi kehidupan sosial di dalam interpretasi (eksplorasi di dalam al-qur’an). Kehidupan social keagamaan tidak bisa dilepaskan dari Struktur social politik. Esack mengungkapkan Teologi pembebasan Al-Qur’an bekerja menuju pembebasan agama dari struktur social, politik dan agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi termasuk gender, ras, kelas, dan agama.

B. Problematika (Kegelisahan Akademik)
Latar belakang Apartheid di Afrika Selatan kesulitan untuk mengeksplorasi kehidupan sosial di dalam interpretasi (eksplorasi di dalam al-qur’an). Kehidupan social keagamaan tidak bisa dilepaskan dari Struktur social politik. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.

C. Pentingnya Topik Penelitian
Konteks pembebasan dari seluruh bentuk rasisme dan eksploitasi ekonomi selama masa apartheid, esack berusaha mengeksplorasi retorika pembebasan al-Qur’an dalam suatu teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembebasan yang lebih kohern. Teologi pembebasan Al-Qur’an bekerja menuju pembebasan agama dari struktur social, politik dan agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi termasuk gender, ras, kelas, dan agama. Teologi pembebasan semacam ini berusaha mencapai tujuannya melalui partisipasi dan pembebasan.

D. Hasil Penelitian Terdahulu

· Fazlur Rahman
Fazlur Rahman mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement).
· Mohammad Arkoun juga menawarkan pendekatan hermenetik kontemporer. Arkoun menekankan pada pendekatan historis-sosiologis-antropologis, tapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi. Bahkan ia ingin memperkayanya dengan memasukkan kondisi historis dan sosial kongkret dalam mana islam dipraktekkan. Arkoun menyajikan garis-garis pemikiran itu mencakup Kegunaan, Tanda, Simbol.
E. Metode Penelitian
Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan (Fazlur Rahman dan Mohammad Arkoun). Pendekatan rahman, menurutnya, kurang apresiasi atas kompleksitas tugas hermeneutika dan pluralisme intelektual yang intrinsik di dalamnya. Rahman lebih menyesalkan ketundukan islam pada politik daripada nilai-nilai Islam sejati yang mengendalikan politik, tanpa mengakui dialetika antara keduanya. Ia terlalu menekankan kriteria kognisi dan mengabaikan hubungan antara kognisi dan praksis. Ketika rahman mengklaim elan moral dasar al-Qur’an-kesadaran akan Tuhan dan keadilan sosial-Ia lupa akan sebab-sebab struktural dari ketidakadilan itu.
Sementara itu, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan pada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas dari ideologi, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pengaruhnya. Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat sosial lainnya, disamping dapat dikritik, juga tidak pernah dapat netral ”setiap hermeneutika membutuhkan partisanship secara sadar ataupun tidak.”
Esack ingin menutupi kekurangan-kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan Hermeneutika pembebasannya. Ia yakin bahwa tugas muslim memahami al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal : untuk memaparkan cara interpretasi tradisonal dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk meligitimasi tatanan yang tidak adil, untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan. Dimensi teologis ini secara simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan.
Esack mencari dimensi teologis dalam konteks politik tertentu tidak mengimplikasikan bahwa memandang politik sebagai satu-satunya dimensi iman dan bahwa teks bernilai hanya jika berkaitan langsung dengan kepentingan politik.
Esack melihat ada 3 unsur intrinsik dalam proses memahami teks : Pertama, masuk dalam pikiran pengarang. Dalam kasus al-Qur’an, tuhan dipandang sebagai pengarang. Muslim perlu masuk ke dalam pikiran tuhan. Dalam tradisi mistik islam, terdapat metodologi kesalehan yang dikombinasikan dengan keilmuan untuk melahirkan makna. Oleh karena itu, tuhan berperan langsung dalam pemahaman teks; yang lain menjadikan muhammad sebagai kunci dalam melahirkan makna. Bagi rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di dalam teks dan dapat digali oleh ”pikiran murni.” inilah yang disebut pendekatan personal. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.
Kedua, partsipasi aktif penafsir dalam melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna adalah selalu parsial. Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan pra-pemahaman tentang persoalan yang dikemukaan teks. Makna selalu berada dalam struktur pemahaman itu sendiri. Jadi, ” Tak ada intrpretasi tak berdosa, tak ada penafsir tak berdosa, dan tak ada teks tak berdosa”. Pra pemahaman adalah syarat hidup sejarah. Kita perlu membedakan antara diri dengan kondisi dimana diri itu berada. Mengabaikan ambiguitas bahasa dan sejarah serta dampaknya pada interpretasi, menyebabkan tak ada perbedaan antara islam normatif dan apa yang dipikirkan orang beriman.
Ketiga, Interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi. Makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai. Ini khususnya berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan.
Kunci hermeneutik pembebasan dimunculkan dari perjuangan Afrika Selatan demi kebebasan dan Al-Qur’an. Dalam hal ini Esack mencoba mengelaborasi kata-kata kunci: Taqwa, Tawhid, Al-Naas, al-Mustad’afuun, ’adl dan Qist, serta jihad.
· Taqwa adalah terma yang paling komprehensif, inklusif dan aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan manusia (QS 92: 4-10 dan 49:13). Dengan taqwa. Individu dan pembebasan (QS. 3: 102 : 8:29). Menerima taqwa sebagai kunci hermeneutika memiliki implikasi penting bagi penafsir dan tindakan menafsir; Pertama, penafsir harus terbebas dari pra-sangka (dann) dan Nafsu (hawa). Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an, dengan taqwa sebagai kunci, memastikan intrepetasi bebas dari obseurantisme teologi dan reaksi politik serta spekulatif subjektif. Kedua, Taqwa memfasilitasi keseimbangan estetik dan spiritual dalam kehidupan penafsir. Ketiga, Taqwa mendorong komitmen penafsir pada proses dialektika personal dan transformasi sosio-politik. Keterlibatan al-Qur’an dalam proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri penafsir dalam revolusi tersebut.
· Tawhid, kesatuan tuhan untuk kesatuan manusia. Tawhid adalah fondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam. Ia adalah jantung pandangan dunia sosio-politik, dan tumbuh secara meyakinkan dalam revolusi iran 1979.
· Konteks perjuangan pembebasan tidak hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada teks, teks juga hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada konteks (ketidakadilan dan penindasan di Afrika selatan). Dalam situasi ketidakadilan, Al-Qur’an dipaksa menjadi alat ideologis bagi perlawanan atas penindasan dalam seluruh manifestasinya. Ini mempunyai dua implikasi. Pertama, kita harus mencari jalan mendekati Al-Qur’an untuk digunakan melawan ketidakadilan: netralitas dan objektifitas dalam konteks ini adalah dosa. Kedua, pendekatan terhadap al-Qur’an sebagai alat perlawanan menghendaki komitmen ideologis dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang dikandung dalam kunci-kunci hermeneutika.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Farid esack mencoba mengkaitkan antara jalan Tuhan mengidentikkan diri dengan kemanusiaan (Al-Naas), hubungan antara jalan tuhan dan jalan kemanusiaan, pilihan-Nya atas manusia tertindas dan marginal dan pentingnya menegakkan keadilan (‘adl dan qist) atas dasar tawhid dan taqwa melalui jihad. Melibatkan diri dalam hermeneutika pembebasan Al-Qur’an dalam situasi ketidakadilan adalah melakukan teologi dan mengalami iman sebagai solidaritas terhadap masyarakat tertindas dan marginal dalam perjuangan untuk pembebasan.
G. Kontribusi Penelitian.
Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an berbeda dari teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek. Pertama, Perbedaan terpenting ada pada tempat penafsir, penafsir menentang pendekatan yang lebih relijius atau akademik terhadap teologi. Artinya, Islam hanya dapat menjadi sejati jika dialami sebagai praksis solidaritas untuk pembebasan; bertentangan dengan teologi tradisional yang mereduksi Islam menjadi ritus formal; dan teologi modern yang berada dalam dunia sekuler. Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia marginal. Kedua, Teologi pembebasan hidup dalam dunia ”kekerasan dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik. Ketiga, kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat menjadi mutlak. Gerak hermeneutika secara terus menerus mencari kebenaran yang pada akhirnya membawa pada praksis pembebasan yang lebih besar.
usaddad, KH Ali Maksum dan lain-lain.
“Wawancara dengan Farid Esack.” dalam http//www.tempo.co.id
________________________________________
[1]Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralim,  An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression,  Oneworld Publications, England,  Reprinted 1998, hal. kulit buku bagian belakang.
[2]Beberapa bagian pada Introduction, secara khusus Esack mengungkap sejarah panjang pribadinya (halaman 1-13) , pada bab I The Context Muslims in the Cape, dia ungkap sejarah panjang kaum Muslim Afrika Selatan dan Pakistan (hal. 19-44), dan buku dengan judul On Being a Muslim , Finding a Religious Path in the world Today, -mirip otobiografi intelektual- yang merekam perjalanan panjang Esack di masa pemerintahan apartheid di Afrika Selatan, ketika belajar di Pakistan yang sarat dengan penindasan terhadap minoritas dan perempuan, serta rihlah ilmiah di Eropa dan Timur Tengah.
[3]Perspektif yang dipakai di sini memang sangat kental nuansa postmodernismenya dengan pemilahan narasi besar (grand narasi) dan narasi kecil. Cara pandang oposisi biner semacam ini menjadi kritik postomodernis terhadap kreasi modernitas yang menegasi satu pihak untuk mengangkat pihak lain. Namun pemikiran Theodore Adorno mengritik kecenderungan periferi yang ingin membalik keadaan. Core-nya tetap ada, hanya ganti posisi. Bagi Adorno, kecenderungan posisional itulah yang harus ditiadakan karena cenderung tidak adil.
[4]Penulis sengaja memakai konteks lokal Afrika Selatan sebagai relasi penanda dan petanda (siginifiant dan signifier). Banyak pemikir Islam yang melakukan proses perkawinan antara ortodoksi dengan tradisi lokal di mana ia mengembangkan gagasannya. Thariq Ramadhan, cucu Hasan al-Banna, yang sedang menekuni filsafat Nietze di sebuah universitas di Jerman, juga berambisi menegakkan pemikiran “Islam Eropa. “ Abdurrahman Wahid juga terkenal dengan pemikiran pribumisasi Islam yang meniscayakan akulturasi Islam yang dibawa dari Timur tengah dengan konteks lokal Indonesia yang sebelumnya telah dihuni budaya Hindhu Budha. Inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai budaya hibrida. Cak Nur bahkan mengatakan bahwa al-Quran sendiri banyak mengandung unsur non Arab dilihat dari kosakata yang ditampilkan. Lihat Orasi Ilmiah Nurcholish Madjid dalam Islamic Culrural Center, dimuat di Jawa Pos, “Islam Agama Hibrida,” 11-12 Desember 2001.
[12]Inilah kritik utama Karl Marx terhadap agama. Agama yang didukung agen agama (pastur, romo, kiai dan lain-lain) seringkali dijadikan alat kaum borjuasi untuk melanggengkan penindasan. Agama adalah candu karena merekomendasikan kesadaran palsu (false consciousness). Kritik Marx terhadap agama ini sebenarnya berdasar pada pemikiran Ludwig Feurbach tentang teori proyeksi ilutif.
[13]Aduk-aduk Tempat Sampah agar Bisa Makan,” dalam Tabloid Detak, Op.Cit. dan lihat Farid Esack, al-Qur’an,Liberation, Op Cit., hal. 2.
[14]Irwandi, “Membaca Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack”, dalam Skripsi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, tidak diterbitkan).
[15]Pernyataan Esack yang dimuat dalam wawancara dengan Tempo tersebut menarik disimak karena pandangan semacam ini jelas bertentangan dengan arus umum (mainstream) di kalangan umat Islam. Teologi dalam Islam lebih didominasi paham Asy’ariyah yang menekankan konsep tanzih (kemahakuasaan Tuhan), dan kurang menaruh perhatian pada konsep teologi keadilan dan cinta kasih Tuhan sebagaimana dipraktikkan kaum Mu’tazilah dan sufi. Karena dominasi konsep tanzih inilah yang kemudian mendorong umat Islam untuk melakukan sesuatu demi semata-mata melayani Tuhan. Padahal, seperti dikatakan  Gus Dur, Tuhan tidak perlu diurus dan dibela. Lihat Abdurrahman Wahid,




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar