LAPISAN MASYARAKAT, KESADARAN KELAS, KELAS SOSIAL DAN
PERSAMAAN
Oleh; Sarno Hanipudin
I.
Pendahuluan
Dalam
kehidupan sosial, manusia berdampingan satu sama yang lain sebagai makhluk homo sosius. Homo sosius bermakna bahwa
manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya selalu memerlukan orang lain
dalam mengarungi dan menjalankan kehidupannya. Dengan demikian, maka manusia
dalam status sosial adalah sama “diperlukan dan saling memerlukan”. Bila
sedikit bergeser keranah hukum, maka akan tampak sekali bahwa derajat manusia
di mata hukum adalah sama. Meskipun seorang jenderal atupun presiden didepan adalah sama.
Akan tetapi dilapangan kehidupan,
masih sering sekali didengar adanya ketidaksamaan. Hal ini dapat dilihat dalam
perspektif kekuasaan, dimana sudah menjadi teori bahwa pemegang kekuasaan boleh
bertindak sekehendak hati terhadap yang dikuasai, model-model yang seperti
inilah yang menghasilkan sistem otoriter dalam berkuasa. Belum dalam bidang
pendidikan, gaps itu kian terasa dan
kentara, yang kaya bisa sekolah dan si miskin tidak bisa sekolah, sehingga
beberapa waktu kemarin muncul istilah “orang miskin dilarang sekolah” atau
“orang miskin dilarang sakit”. Hal itu semua merupakan gambaran bahwa masalah
sosial, masih menjadi persoalan yang rumit.
Sering
kali kita juga melihat perilaku para penguasa yang mendadak “beda” dengan
aslinya sebelum menjadi penguasa, hal-hal yang biasa dilakukan menjadi enggan
dilakukan karena satu hal; beda status. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal
seperti itu akan menjadi persoalan sosial yang nantinya berdampak pada
interaksi sosial dan perilaku sosial.
Jika
merujuk kepada teori, Linton dan Sunarto menguraikan bahwa sejak lahir
seseorang telah memperoleh sejumlah status tanpa memandang perbedaan antar
individu atau kemampuan berdasarkan status ini anggota masyarakat
dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan
keanggotaan dalam kelompok tertentu.[1]
Perbedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam
sosiologi dinamakan dengan stratifikasi sosial.
Sedangkan
apabila berlari sedikit kearah agama, khususnya Islam, maka akan ditemukan
fakta bahwa Islam tidak pernah membeda-bedakan umatnya berdasarkan status
sosial, kekayaan ataupun jabatan, melainkan berdasarkan keimanan yang dipegang
oleh seseorang. Hal ini dapat dilihat dalam Surah Al-Hujrat ayat 13, bahwa
Allah swt menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa supaya dapat saling mengenal dan yang paling mulia disisi
Allah adalah yang paling taqwa. Dalam Surah An-Nisa ayat 1 juga disebutkan
bahwa Allah swt menciptakan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan
yang banyak, dari asal yang sama.
Dalam
sebuah haditspun pernah mengungkapkan bahwa semua umatnya berasal dari Adam dan
Adam sendiri diciptakan dari tanah. Oleh sebab itu tidak ada perbedaan antara
orang Arab dan non-Arab, kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah swt.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa agama Islam menuntut persatuan dan persaudaraan umat
manusia dan hanya mengakui perbedaan manusia atas dasar ketakwaan. Maka secara
ideal Islam tidak menghendaki pengelompokan untuk dicari dan ditonjolkan
perbedaan. Adanya perbedaan ras, suku bangsa juga budaya dan bahasa merupakan
keniscayaan sebagai satu kenyataan ciptaan Allah, namun semuanya dimaksudkan
untuk saling kenal mengenali guna menjamin kerjasama dalam mencapai
kemaslahatan hidup.
II.
Pembahasan
A.
Lapisan Masyarakat
Stratification
berasal dari stratum/strata yang
berarti lapisan, merujuk pada ilmu sosiologi, kata statifiation bermakna pada makna pengelompokan orang kedalam
tingkatan atau strata dalam hirarki secara vertikal. Selain itu stratifikasi
sosial juga membincang mengenai kedudukan, posisi atau hubungan orang antar
orang atau kelompok orang dalam keadaan yang tidak sederajat. Maka stratifikasi
seringkali dikaitkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.
Piritim
A Sorokin mengatakan bahwa social
stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (Hirarkis). Perwujudannya adalah adanya
pelapisan-pelapisan didalam masyarakat. setiap lapisan itu disebut dengan
strata sosial. Ditambahkan pula bahwa stratifikasi sosial merupakan ciri yang
tetap pada setiap kelompok sosial yangh teratur. Lapisan-lapisan didalam
masyarakat memang tidak disebutkan secara jelas batas-batasnya, akan tetapi
akan lebih tampak bahwa setiap lapisan akan terdiri atas individu-individu yang
mempunyai tingkatan atau strata sosial yang relatif sama.
Menurut pendapat Bouman, ia
berpendapat bahwa stratifikasi sosial adalah golongan manusia dengan ditandai
suatu cara hidup dalam kesadaran akan bebrapa hak istimewa yang tertentu dan
arena itu menuntut gengsi kemasyarakatan. Sementara itu, Berger sebagaimana
dikutip Sunarto menyatakan bahwa stratifikasi sosial sebagai penjenjangan
masyarakat menjadi hubungan atasan bahwahan atas dasar kekuasaan, kekayaan dan
kehormatan.[2]
Dari beberapa definisi yang telah
dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa strata sosial adalah pembedaan atau
penjenjangan anggota masyarakat yang didasarkan pada status atau faktor
tertentu yang dimilikinya dan muncul melalui adanya lapisan dalam masyarakat.
Stratifikasi sosial adalah pelapisan
orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan status sosial. Para
anggota strata sosial tertentu seringkali memiliki jumlah penghasilan yang
relatif sama. Namun lebih yang lebih penting dari itu adalah mereka memiliki
sikap, nilai-nilai dan gaya hidup sama. Semakin rendah kedudukan seseorang
didalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan
hubungan sosialnya.[3]
Orang-orang yang berasal dari
lapisan sosial rendah misalnya, biasanya lebih sedikit berpartisipasi dalam
jenis organisasi apapun. Ada kecenderungan yang kuat, kelompok yang berasal
dari lapisan rendah atau masyarakat miskin biasanya lebih menarik diri dari
tata karma umum, mereka mengembangkan sub-kultur tersebut yang seringkali berlawanan
dengan sub-kultur kelas sosial tertentu.
Sebab yang mendasari adanya
pelapisan sosial dalam masyarakat bukan saja karena adanya perbedaan, tetapi
juga karena kemampuan manusia dalam menilai perbedaan itu berdasarkan berbagai
kriteria. Artinya bahwa menganggap ada sesuatu yang dihargai maka sesuatu itu
menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. sesuatu yang dihargai itu dapat
berupa uang atau benda-benda bernilai ekonomis, kekuasaan, ilmu pengetahuan,
kesalehan dalam beragama, atau keturunan keluarga yang terhormat.
Proses terjadinya sistem
lapisan-laisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya, atau sengaja
disusun untuk mengejar tujuan bersama. Proses terjadinya pelapisan yang terjadi
dengan sendirinya berangkat dari kondisi perbedaan kemampuan antar individu
atau antar-kelompok sosial.[4]
Secara sederhana dapat disebutkan
bahwa setiap individu manusia memiliki perbedaan kemampuan dalam memenuhi asset
kebutuhan hidupnya, dalam arti bagi kelompok yang memiliki kamampuan lebih
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tentu akan menempati posisi strata sosial
yang lebih tinggi daripada kelompok yang memiliki sedikit kemampuan.
Adapun sistem lapisan sosial yang
sengaja disusun biasanya mengacu kepada pembagian kekuasaan dan wewenang yang
resmi dalam organisasi formal. Agar dalam masyarakat manusia hidup dengan
teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi-bagi dengan tertur
dalam suatu organisasi vertikal atau horizontal. Bila tidak, kemungkinan besar
terjadi pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.
Terjadinya lapisan masyarakat
biasanya karena ada tingkat kepandaian, tingkat senior (umur), tingkat
kekayaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Sifat sistem masyarakat bisa bersifat
tertutup (closed social stratification)
dan terbuka (open social stratification).
Bersifat tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan
ke lapisan lain. Baik gerak ke atas maupun gerak ke bawah, dalam sistem ini
satu-satunya jalan untuk menjadi anggota adalah dengan kelahiran.
Ukuran atau kriteria yang biasa
dipakai untuk menggolongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan diantaranya:
1.
Ukuran kekayaan
2.
Ukuran kekuasaan
3.
Ukuran kehormatan
4.
Ukuran keilmuan
Didalam masyarakat yang samakin
modern, perbedaan sosial yang terbentuk dan berkembang didalam struktur
masyarakat umumnya tidak lagi didasarkan pada hal-hal yang bersifat adikodrati
seperti perbedaan jenis kelamin dan usia.
Menurut Jeffris dan Ransford, mereka
telah membedakan dimensi stratifikasi sosial menjadi tiga macam, yaitu: hirarki
kelas sosial atas dasar penguasaan barang dan jasa, kekuasaan dan kewenangan,
dan pembagian atas dasar kehormatan dan status sosial.
1)
Hirarki Ekonomi
Kekayaan dapat dijadikan
ukuran penempatan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial yang ada,
barang siapa memiliki kekayaan paling banyak, ia akan termasuk lapisan teratas
dalam system pelapisan sosial. Demikian pula sebaliknya, yang tidak memiliki
kekayaan akan digolongkan kedalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat
dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang
dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
Indikator untuk menentukan
hirarki kelas berdasarkan ekonomi relatif beragam. Dalam struktur masyarakat
kapitalis tentu indikator dari hirarki kelas atas dasar ekonomi dapat dilihat
dari jumlah kepemilikan lahan sebagai alat produksi. Artinya kepemilikan lahan
pertanian akan lebih berharga daripada kepemilikan barang-barang berharga
lainnya. Pola-pola hidup lebih menghargai harta warisan daripada kekayaan yang
diperoleh melalui perdagangan atau bisnis.
Pada masyarakat feodal yang menitik beratkan pada
sektor pertanian, kelas sosial dapat dilihat dari pola-pola hubungan antara
tuan tanah atau pemilik tanah dan buruh tani yang mengerjakan lahan milik tuan
tanah atau petani penggarap, yaitu sekelompok orang yang mengerjakan lahan
milik orang lain dengan ijab kabul penyewa atau bagi hasil.
Akan tetapi, didalam struktur
masyarakat kapitalistik, indikator untuk menentukan kedudukan seseorang didalam
masyarakat tidak lagi bertumpu pada faktor kepemilikan tanah. Kelas sosial
lebih diukur berdasarkan kepemilikan uang sebagai modal produksi didalam suatu
perusahaan. Hubungan sosial didalam struktur masyarakat kapitalis diwarnai oleh
interaksi antara pemilik perusahaan dan buruh perusahaan yang oleh Marx disebut
kaum borjuis dan proletar.
Struktur masyarakat kapitalis
lebih menitikberatkan pada sektor industri daripada pertanian. Sedang yang
dimaksud dengan kekayaan adalah segala sesuatu yang menyangkut kepemilikan
benda-benda berharga atau asset produksi seseorang atau keluarga.
Adapun benda-benda berharga
dapat dikategorikan sebagai asset ekonomi juga beragam. Dalam masyarakat
agraris misalnya, didalam struktur masyarakat perkotaan yang memiliki
karakteristik berbeda dengan masyarakat pertanian perdesaan. Kepemilikan
pabrik, mobil mewah, rumah yang mentereng, benda-benda elektronik akan menjadi
ukuran kepemilikan kekayaan. Lain halnya dengan masyarakat di daerah pesisir
yang ukuran terbentuknya stratifikasi sosial tentunya didasarkan pada
kepemilikan perahu dan perangkat alat penangkap ikan.
Selain kepemilikan jumlah
benda-benda berharga juga dapat dilihat berapa jumlah orang-orang yang
mengerjakan alat-alat produksi seseorang. Artinya, besar kecilnya investasi
modal usaha juga sangat menentukan ukuran kekayaan seseorang didalam
masyarakat. jika struktur masyarakat yang ada lebih berorientasi pada sektor
agraris tentunya makin luas lahan pertanian dan perkebunan akan memerlukan
investasi yang lebih besar dibanding dengan sekelompok petani yang memiliki
lahan garapan yang sempit. Demikian juga didalam masyarakat industri dan
perdagangan, skala investasi didalam dunia usaha atau bisnis yang dijalankan
akan menentukan strata sosialnya didalam masyarakat.
2)
Hirarki Kekuasaan
Seseorang yang mempunyai
kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem
pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering
tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat
biasanya dapat menguasai orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan
dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Dalam struktur masyarakat,
kekuasaan dan kewenangan selalu terdistribusi secara tidak merata. Artinya,
kekuasaan dan kewenangan terdistribusi secara hirarkis vertikal mengerucut
bagai bentuk piramida. Makin keatas distribusi kekuasaan dan wewenang makin
mengerucut dan makin kecil jumlah orang yang menempatinya. Dengan kata lain,
ada sebagain orang yang memperoleh kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar
dibanding dengan kelompok lainnya.
Ketidakmerataan distribusi
kekuasaan dan kewewenangan tersebut sangat tergantung pada mekanisme yang
berlaku di dalam struktur sebuah masyarakat. masyarakat yang menganut pola-pola
feodal distribusi kekuasaan acapkali tidak didasarkan pada kualifikasi seseorang,
lebih ditentukan ada faktor historis orang tersebut. Artinya, sekelompok strata
sosial seseorang biasanya mengikuti strata orang tuanya. Biasanya pola-pola
stratifikasi sosial didalam struktur masyarakat seperti ini bersifat tertutup
artinya tidak mudah bagi seseorang atau sekelompok orang berpindah-pindah
status sosialnya.
Perbedaan antara struktur
masyarakat feodal dan liberal yang cenderung menghargai asas demokratis
berpengaruh mekanisme kekuasaan tersebut dilaksanakan. Pada struktur masyarakat
berpola feodal, seringkali ditemukan mekanisme kekuasaan dan kewenangan yang
mengarah pada pola-pola yang lebih demokratis, kendati tidak semua sistem
sosial masyarakat seperti itu.
Beda halnya dengan struktur
masyarakat yang menganut pola-pola demokratis, dimana kualifikasi seseorang
atau sekelompok orang lebih banyak menentukan strata sosial. Artinya semua orang
memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses kekuasaan dan kewenangan, asalkan
mereka memiliki kemampuan dalam pengaksesan tersebut.
Vilfredo Pareto dkk,[5]
membuat rumusan yang menjadi dasar terbentuknya stratifikasi sosial yang
berkaitan dengan kekuasaan dan kewenangan politik dalam lima macam, yaitu:
a)
Kekuasaan dan kewenangan politik
selalu terdistribusi kedalam masyarakat secara tidak merata, artinya kekuasaan
dan kewenangan politik terdistribusi berdasarkan pola-pola hirarkis vertikal
mengerucut dari bawah keatas makin mengecil.
b)
Dalam struktur sosial secara
sederhana dikelompokan dalam dua kelompok yaitu kelompok yang memiliki
kekuasaan dan kewenangan penting dan kelompok masayarakat yang tidak
memilikinya.
c)
Secara internal, elit politik
bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok.
d)
Elit politik selalu mengatur
sendiri kelangsungan hidupnya dan anggotanya berasal dari lapisan masyarakat
yang sangat terbatas.
e)
Kelompok elit pada hakikatnya
bersifat otonom, kebal akan gugatan dari siapapun diluar kelompoknya mengenai
keputusan-keputusan yang dibuatnya.
3)
Hirarki Status
Ukuran kehormatan dapat
terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani
atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial
masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional,
biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada
masyarakat, orang tua ataupun orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur.
Max Weber, mengelompokan
manusia kedalam kelompok-kelompok status atas dasar ukuran kehormatan. Ia
mendefinisikan kelompok status sebagai kelompok yang anggotanya memiliki gaya
hidup sosial tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan sosial dan kehormatan
sosial tertentu pula. Dalam bentuk sederhana, ia juga membagi stratifikasi atas
dasar status masyarakat kedalam dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang
disegani atau dihormati dan kelompok masyarakat biasa.
Biasannya kelompok masyarakat
yang terhormat ini menekankan arti pentingnya akar sejarah yang dijadikan dasar
pembenar mengapa kelompok mereka memiliki kedudukan yang istimewa didalam
masyarakat. seorang keturunan bangsawan biasanya selalu tampil terhormat
didalam masyarakat dan beberapa hal tertentu ia menutup diri didalam lingkar
kebangsawanan untuk dimasuki oleh kelompok masyarakat biasa sebagai langkah
untuk mempertahankan kemurnian trah kebangsawanannya.
Pola-pola sosial seperti ini dapat dilihat dalam masyarakat jawa, inggris dan
jepang, dimana kelompok kelas bangsawan mengenal pembagian kelompok antara kaum
priyai atau ningrat dan wong cilik atau rakyat jelata.
Sistem masyarakat feodal
banyak diberlakukan pada negara yang berbentuk kerajaan. Dalam struktur
masayarakat tersebut raja dan lingkaran kebangsawanannya biasanya menempati
kedudukan tertinggi yang mempunyai kekuasaan mutlak. Adapun dalam masyarakat
lapisan bawah terdapat petani yang mengabdi pada golongan bangsawan, tuan tanah
dan lingkar orang-orang terhormat.
Atas dasar inilah masyarakat
feodal memiliki keyakinan bahwa kepatuhan yang berlebihan itu tidak hanya
sekedar mengabdikan dirinya kepada raja tetapi juga dilatarbelakangi akan aksi ngala barokah dan rasa takut akan kualat jika tidak mau mengabdikan
dirinya kepada wakil tuhan atau keturunan dewa tersebut. Berangkat dari
fenomena inilah munculnya hak-hak istimewa dikalangan kelompok bangsawan.
Keluarga kerajaan dan lingkar
kebangsawanannya pada kenyataannya ialah sama-sama sebagai manusia juga, akan
tetapi tingkat kesamaan itu tidak dapat diterima begitu saja ketika ada manusia
yang harus disembah atau tunduk pada manusia.
Kedudukan manusia yang
memiliki ikatan kekerabatan Trah
Mangkunagaran memiliki konsekuensi sosial dimana orang-orang yang termasuk
golongan trah mangkunagaran mendapatkan hak-hak istimewa dalam kehidupannya.
Sistem feodalisme sebenarnya bermula dari adanya suatu keyakinan bahwa
raja-raja dianggap sebagai wakil dari tuhan dan bahkan ada yang mengklaim
dirinya sebagai keturunan dewa.[6]
Masyarakat yang agraris
(Jawa) mengacu kepada kepemimpinan, mengenal pelapisan dalam masyarakat.
lapisan bawah adalah “rakyat banyak” atau disebut “wong cilik” atau orang
kecil, bukan pegawai, petani, pedagang dan tukan. Adapun lapisan yang berada
diatas, yang langsung menyangga kedudukan raja, adalah kaum “priyai” (para yai, karabat raja), priyai digolongkan
kedalam berbagai lapisan kepangkatan dan jarak keluarga dengan raja. Sesudah
Belanda datang, priyai ini diinfiltrasi dengan siapa saja yang bersedia duduk
pada birokrasi pemerintahan jajahan Belanda. Seorang penduduk swasta meskipun
kaya masih dianggap kecil.
Kemakmuran, kekuasan dan
peradaban terpusat pada golongan pegawai atas (abdi dalem), hamba raja yang masih percaya kepada daya gaib
pendahulunya yang bermanifestasi sebagai dewa penguasa diatas bumi. Dari istana
yang dibangun sebagi mikrokosmos alam semesta, kekuasaan mengalir keluar dan
turun melalui hirarki para pegawai.
Ada dua kriteria dalam
menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat; pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah
seseorang dengan pemegang pemerintahan.
Kedua, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh posisi seseorang dalam
hirarki birokrasi. Seseorang karena mempunyai salah satu atau kedua kriteria itu,
dianggap masuk kedalam golongan elit, dan yang diluar golongan elit itu
dianggap sebagai rakyat kebanyakan.
Dari raja, kekuasaan mengalir
keluar (kebawah) melalui hirarki pejabat birokrasi yang disebut abdi dalem. Para abdi dalem diberi hak
atas tanah dan menarik pajak dari rakyat, sehingga tumbuh subur struktur sosial
baru sistem feodalisme. Sampai abad XIX dan awal abad XX pola-pola ini
berlangsung ketat dan oleh pemerintah penjajah Belanda dimanfaatkan untuk
mengeruk kekayaan negeri ini.
Selain itu, kelompok
masyarakat yang menduduki posisi terhormat, biasanya memiliki gaya hidup yang
eklusif. Dalam pergaulan hidup sehari-hari dapat dilihat dalam bentuk
pembatasan pergaulan dengan kelompok orang yang statusnya lebih rendah. Anggota
kelompok didalam lingkar kebangsawanannya cenderung menjalankan pola-pola
endogami, yaitu prinsip perkawinan yang mengharuskan orang tidak mencari jodoh
dilingkungan sosialnya sendiri, misalnya lingkungan kerabat, lingkungan sosial
atau lingkungan pemukiman. Dan juga menghindari pernikahan dengan kelompok yang
statusnya lebih rendah.
Kelompok masyarakat yang
dihormati ini tidak selalu mutlak harus berasal dari keluarga bangsawan, sebab
dalam hal tertentu didunia kepesantrenan terdapat kultur dimana keluarga kyai
pengasuh pondok pesantren seringkali berada dalam lingkar kelompok orang-orang
yang terhormat dan disegani. Peran dan fungsi kyai sebagai kelompok terhormat
didalam lingkungan masyarakat santri karena kyai dianggap sebagai figur alim
ulama tempat kaumnya untuk bertanya tentang segala hal dan sebagai patron yang
dihormati dan ditaati segala petuahnya.
Dalam salah satu sekte Islam
(Syi’ah) juga menghormati Nabi Muhammad saw secara berlebih-lebihan sebagai simbol
fanatisme terhadap Trah Ahlul Bait (kerabat
nabi Muhammad) yang pada kenyataannya harus diakui bahwa dalam Islam kendati
tidak ada pola-pola kehidupan seperti itu, tetapi pada akhirnya terdapat juga.
Hal ini data dilihatpada perilaku Syi’ah yang selain mengagungkan Imam Ali juga
berpendapat bahwa yang berhak meneruskan tampuk kepemimpinan Islam sebagai
khalifah penerus Nabi Muhammad adalah keturunan Nabi sendiri.
Secara normatif memang diakui
bahwa semua umat manusia berkedudukan sama disisi Tuhannya, sedangkan yang
membedakan anatara manusia yang satu dengan lainnya adalah kadar kepatuhannya
kepada Tuhan. Akan tetapi kenyataan yang ada strata sosial dalam Islam secara
sadar atau tidak ternyata juga berlaku pola-pola sosial seperti itu. Posisi
sosial orang-orang alim selalu menempati tempat terhormat didalam struktur
masyarakatnya.
4)
Hirarki ilmu Pengetahuan
Ukuran ilmu pengethaun sering
dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi
dalam system pelapian sosial masyarakat yang bersangkutan.
Penguasaan ilmu pengetahuan
ini biasanya terdapat gelar-gelar akademik atau profesi yang disandang oleh
seseorang. Misalnya dokter, insinyur, doktor ataupun gelar-gelar
profesional-fungsional seperti professor.
Namun seringkali timbul
akibat-akibat dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut dinilai
lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Hal ini terlihat
misalnya, dari banyaknya orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar
untuk memperoleh gelar kesarjanaannya, mislanya dengan membeli skripsi,
menyuap, ijazah palsu dll.
Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat
1.
Kedudukan (status)
Kedudukan
diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Masyarakat pada umumnya mengembangkan 2 macam
kedudukan, yaitu:
a. Ascribed-status, yaitu
kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan
rohaniah dan kemampuan.
b. Archieved-status, adalah
kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja,
kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran. Tetapi terbuka bagi siapa
saja tergantung dari berbagi kemampuan.
2.
Peranan (role)
Merupakan
aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia melaksanakan suatu peranan.
Adapun definisi peranan antara lain:
Þ
Peranan meliputi norma-norma yang
dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
Þ
Suatu konsep tentang apa yang
dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat.
Þ
Peranan juga dapat dikatakan
sebagai perilaku yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
B.
Kesadaran Kelas
Secara garis besar,
meminjam Hegel, Marx membagi kesadaran kelas proletarian atas dua: class in
itself/an sich (kelas pada dirinya sendiri), dan class for itself/für
sich (kelas untuk dirinya sendiri). Secara konsepsional, class in itself
ini merujuk pada apa yang disebut Drapper sebagai “kelas pekerja yang
teratomisasi,” yakni kelas pekerja yang tidak terorganisir. Sebagai buruh, ia
sadar dirinya berbeda dengan majikannya tidak lebih. Sementara, class for
itself adalah kesadaran bahwa keberadaan sosialnya melekat dalam kebutuhan
struktur masyarakat kapitalis yang antagonistik, sehingga jika ia ingin
kelasnya bebas maka ia harus menghancurkan kapitalisme; tapi penghancuran itu
sendiri bukan hanya prasyarat bagi pembebasan kelasnya, tapi pembebasan
masyarakan keseluruhan. Dalam karya klasiknya What Is to Be Done?, Lenin
membahasakan kesadaran class in itself sebagai kesadaran serikat buruhisme (trade
union conciousness), sementara kesadaran class for itself sebagai
kesadaran sosial demokrasi (social-democratic conciousness).[7]
Ralph Miliband membagi kesadaran
kelas ini atas empat lapisan. Pertama, kesadaran kelas yang secara
akurat dipersepsikan oleh anggota kelas tersebut, yakni individu proletariat.
Seorang individu yang merasa dirinya berbeda dengan majikannya bisa disebut
telah memiliki kesadaran kelas. Tetapi, menurut Miliband, individu buruh yang
berpikir bahwa dirinya adalah bagian dari kelas menengah, misalnya, tidak bisa
dikategorikan telah memiliki kesadaran kelas.
Kedua, kesadaran kelas
merujuk pada kepentingan mendesak dari anggota kelas tesebut. Menurut Miliband,
kesadaran tingkat pertama dan kedua ini belum tentu saling berinteraksi:
misalnya, boleh jadi anggota dari kelas pekerja ini menjadi sadar, bahkan
sangat sadar akan kepentingan mendesaknya sebagai kelas proletariat, tanpa
menyadari apa sebenarnya kepentingan mendesak yang mereka butuhkan itu. Bahkan,
masih menurut Miliband, jika toh dua level kesadaran itu menyatu dalam anggota
kelas, hal itu tidak otomatis yang meningkat ke level ketiga kesadaran
kelas, yakni kehendak untuk memajukan kepentingan kelasnya. Jadi, sangatlah
mungkin bahwa individu buruh memiliki persepsi yang jelas akan kelasnya dan
juga kepentingan kelasnya tapi, tidak berkeinginan untuk melakukan apapun untuk
memajukan kepentingannya, apapun alasannya. Misalnya, mereka tidak melihat
pentingnya organisasi kelas, tidak merasa berkepentingan untuk terlibat dalam
protes-protes yang menuntut pemenuhan kebutuhan mendesaknya. Boleh jadi, yang
mereka lakukan adalah mencari cara bagaimana agar kepentingan pribadinya lebih
didahulukan ketimbang kepentingan kelasnya. Misalnya, siang hari memburuh,
malam hari jualan kacang goring di perkampungan buruh.
Keempat, dan ini yang paling
sulit, yakni kesadaran kelas yang dipahami tidak hanya sebatas makna, tidak
hanya kesadaran anggota kelas dan kepentingan tertentu mereka, dan tidak hanya
kesadaran untuk memajukan kepentingan kelasnya, tidak hanya persepsi untuk
memajukan kepentingan mendesak dan terbatas mereka, melainkan kepentingan yang
lebih umum, yang lebih global yang tak lain adalah class for itself. Dan karena
itu, dalam perspektif Marxis, demikian Miliband, kelas buruh disebut memiliki
kesadaran palsu ketika ‘mereka gagal memahami kepentingannya yang dibutuhkan
untuk menghancurkan kapitalisme; dimana penghancuran itu sendiri bukan hanya
syarat bagi pembebasan kelasnya, tapi juga masyarakat sebagai keseluruhan.
Sampai di sini kita
dihadapkan pada soal lain, bagaimana ceritanya kelas buruh memiliki kesadaran
kelas? Kalangan deterministik dan non-Marxis berpendapat bahwa menurut Marx ada
garis lurus yang langsung antara posisi kelas dan kesadaran kelas. Karena ia
buruh maka otomatis ia memiliki kesadaran kelas proletariat. Begitu mereka
menemukan fakta bahwa kelas buruh tidak otomatis melawan penindasan kapital,
mereka menyimpulkan bahwa teori kelas Marx tidak benar dan kelas buruh sebagai
kelas yang memanggul tugas historis menghancurkan kapital dan kapitalisme
hanyalah mitos.
Pandangan deterministik ini jelas
telah mengebiri teori kelasnya Marx. Seperti ditulis filsuf Istvan Meszaros
bahwa kesadaran kelas tidak muncul secara tiba-tiba. Tidak juga kesadaran kelas
merupakan produk otomatis dari ekonomi, khususnya moda produksi seperti
tuduhanya kalangan post-marxis dan anti-marxis. Kata Meszaros, bahkan di bawah
kondisi ekonomi yang tengah mengalami krisis atau juga karena propaganda
individu yang tercerahkan, adalah mimpi yang utopis untuk mengatakan bahwa
kesadaran kelas proletarian akan muncul secara spontan atau langsung. Ada
banyak lapisan kesadaran yang saling berinteraksi; satu ketika hal itu
menyebabkan kesadaran kelas tertimbun rapat-rapat, di saat lainnya hal itu
mempercepat munculnya kesadaran kelas.
Keadaan ini, secara tak terelakkan membutuhkan keberadaan
organisasi – baik dalam bentuk partai konstitusional maupun bentuk-bentuk
organisasi perantara lainnya, sesuai dengan kondisi struktur sosial-historis
yang ada. Kembali meminjam Drapper, kelas pekerja tidak memiliki kesadaran
kelas karena ia tidak terorganisasi. Dengan adanya organisasi atau kelompok
berkesadaran ini, kesadaran kelas proletariat dikelola dan diarahkan, untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam konteks waktu tertentu.
Namun demikian, adalah keliru besar
jika kita mengatakan bahwa kesadaran kelompok adalah cerminan dari kesadaran
kelas, apalagi mengklaim bahwa organisasi adalah perwakilan kesadaran kelas
proletarian. Keberadaan
organisasi bisa diterima atau dibutuhkan sejauh organisasi tersebut mengabdi
pada kepentingan kelas proletarian – yakni terus membuka jalan selebar-lebarnya
bagi proletariat untuk menghapuskan struktur masyarakat kapitalis yang
antagonistik. Dalam bahasa Engels, “kelas pekerja membutuhkan organisasi hanya
demi kelancaran perjuangan; jika hanya untuk mengumpulkan orang per orang kelas
pekerja tak butuh organisasi.” Inilah makna dari apa yang disebut Meszaros
bahwa perkembangan kesadaran kelas adalah sebuah proses yang bersifat
dialektik.
C.
Kelas Sosial
Kelas
sosial dapat dianggap sebagai suatu rangkaian kesatuan yaitu serangkaian posisi
sosial dimana setiap anggota masyarakat dapat ditempatkan, para peneliti
membagi rangkaian kesatuan itu menjadi rangkaian kesatuan itu menjadi sejumlah
kecil kelas sosial yang khusus atau strata. Konsep kelas sosial digunakan untuk
menempatkan individu atau keluarga dalam suatu kategori kategori sosial.
Kelas
sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu
hirarki status kelas yang berbeda, sehingga para anggota setiap kelas secara
relatif mempunyai status yang sama dan para anggota kelas lainnya mempunyai
status yang sama dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih
tinggi atau lebih rendah.
Pengertian
Kata ‘kelas’ dalam pengertian sosial
sebenarnya masih relatif baru. Menurut Philip P. Wiener, istilah ini baru
muncul dalam bahasa Inggris dan Eropa Barat lainnya pada masa revolusi
Industri. Dalam era modern, istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh
Defoe (1728) untuk mendefinisikan ‘kelas dalam masyarakat’ berdasarkan atas
pekerjaan dan pendapatannya. Pada setengah abad pertama abad ke-19, misalnya,
para sejarawan menggunakan gagasan tentang perjuangan kelas untuk mempelajari
evolusi Eropa Modern. Perjuangan antara bangsawan dan borjuasi menjelaskan
dengan baik sejarah Eropa. Thierry, Guizot, Mignet, dan Thiers, menggunakan
konsep ini untuk memahami sejarah Perancis sejak abad Pertengahan. Sejak tahun
1850, John Wade dan sejarawan Inggris juga telah menggunakan konsep perjuangan
kelas ini. Sebelum dekade 1770an, istilah kelas digunakan untuk merujuk pada
pembagian kelompok dalam sekolah atau universitas.
Hubungan Kelas Sosial dan Status Sosial
Mengukur
kelas sosial dari ausut status sosial yaitu dengan membatasi kelas sosial
dengan banyaknya status yang dipunyai para anggota dibandingkan dengan anggota
kelas sosial. Dalam penelitian kelas sosial (terkadang disebut stratifikasi
sosial), status sering dianggap sebagai penggolongan relatif para nggota setiap
kelas sosial dari faktor-faktor tertentu.
Sebagai
contoh, kekayaan relatif (banyaknya asset ekonomi), kekuasaan (tingkat pilihan
atau pengaruh pribadi terhadap orang lain) dan martabat (tingkat pengakuan yang
diperoleh dari orang lain) merupakan tiga faktor yang sering digunakan ketika menilai kelas sosial.
ª
Kelas sosial merupakan bentuk segmentasi hirarkis dan
alamiah
Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hirarki, yang
berkisar dari status yang rendah sampai yang tinggi. Penggolongan kelas sosial
berarti bahwa orang lain sama dengan mereka (dalam kelas sosial yang sama),
superior dibandingkan mereka (kelas sosial yang lebih tinggi) maupun inferior
dibandingkan mereka (kelas sosial yang lebih rendah)
ª
Kelas sosial dan segmentasi pasar
Keragaman strata kelas sosial menyediakan dasar dalam
segmentasi pasar untuk beberapa produk dan jasa. Peneliti konsumen dapat
meghubungkan pemakaian produk dengan keanggotaan kelas sosial.
ª
Kelas sosial dan faktor perilaku
Klasifikasi anggota masyarakat ke dalam kelas sosial membuat
peneliti untuk mencatat eksistensi dari nilai, tata karma dan pola perilaku
anggota dalam setiap kelas sosial.
ª
Kelas sosial sebagai kerangka referensi
Keanggotaan kelas sosial dipakai konsumen sebagai suatu kerangka
rujukn (kelompok rujukan) untuk pengembangan sikap dan perilaku.
Kategori Kelas Sosial
Belum ada
kesepakatan diantara para sosiolog berapa banyak pembagian kelas yang
diperlukan untuk dapat menggambarkan dengan cukup jelas struktur kelas di Amerika
Serikat. Ada yang membagi menjadi dua, tiga sampai sepuluh kelas sosial.
ü Dua kategori: kerah biru - kerah
putih, rendah - atas, rendah - menengah
ü Tiga kategori: kerah biru - kerah
abu-abu, kerah putih, rendah – menengah - atas
ü Empat kategori: rendah - menengah ke
bawah – menengah ke atas – atas
ü Lima kategori: rendah – kelas
pekerja – menengah bawah – menengah ke atas-atas
ü Enam kategori: atas (upper-upper class) – atas lapisan bawah
(lower – upper classes) – menengah
lapisan atas (upper-midle class) –
menengah lapisan bawah (lower-middle
classe) – bawah lapisan atas (upper
lower class) – bawah – lapisan bawah (lower-lower
classe)
ü Sembilan kategori: benar-benar
rendah – rendah – kelas pekerja – menengah bawah- menengah atas – atas rendah –
atas – benar-benar atas
Faktor Yang Mempengaruhi
Penentuan Kelas Sosial
Engel, Bleckwell dan
Miniard (1995) mengemukakan pendapat Gilbert dan Kahl yang menyebutkan bahwa
ada sembilan variabel yang menentukan status/kelas sosial seseorang, kesembilan
variabel tersebut digolongkan kedalam tiga kategori, yaitu:
1.
Variabel Ekonomi
a)
Status pekerjaan
b)
Pendapatan
c)
Harta benda
2.
Variabel Interaksi
a)
Prestis individu
b)
Asosiasi
c)
Sosialisasi
3.
Variabel Politik
a)
Kekuasaan
b)
Kesadaran kelas
c)
Mobilitas
Pembagian Kelas
Manifesto memaparkan
sejumlah fakta historis dari keberadaan kelas-kelas. Pada jaman Romawi kuno
kita temukan kelas bangsawan (patricians), ksatria (knights),
rakyat jelata (plebeians), dan budak (slaves); pada abad
pertengahan, kelas-kelas yang muncul adalah tuan feodal (feudal lords),
petani hamba (vassal), pedagang (guild-master), buruh
pengrajin harian (journeyman), buruh magang (apprentices),
dan pelayan (serfs). Sementara pada masyarakat borjuasi modern,
antagonisme kelas-kelas itu tidak lenyap tapi makin mengerucut pada dua kelas
besar yang berhadap-hadapan secara langsung: borjuasi dan proletariat[8].
Pengukuran Kelas Sosial
Meskipun banyak ahli setuju
bahwa kelas sosial adalah konsep yang valid dan berguna. Meskipun
banyak ahli setuju bahwa kelas sosial adalah konsep yang valid dan berguna,
tapi tidak ada pernyataan umum bagaimana mengukurnya. Pendekatan yang
sistematis untuk mengukur kelas sosial tercakup dalam berbagai kategori yang
luas, meliputi ukuran subyektif, ukuran reputasi, ukuran obyektif dari kelas
sosial.
1.
Ukuran Subyektif
Untuk mengukur kelas
sosial dengan pendekatan ini, para individu diminta untuk menaksir kedudukan
kelas sosial mereka masing-masing. Klasifikasi keanggotaan kelas sosial yang
dihasilkan didasarkan pada persepsi partisipan terhadap dirinya atau citra diri
partisipan. Kelas sosial dianggap sebagai fenomena “pribadi” yaitu fenomena
yang menggambarkan rasa memiliki seseorang atau identifikasi dengan orang lain.
Rasa keanggotaan kelompok sosial ini sering disebut kesadaran sosial.
2.
Ukuran Reputasi
Pendekatan reputasi untuk
mengukur kelas sosial memerlukan informan mengenai masyarakat yang dipilih
untuk membuat pertimbangan awal mengenai keanggotaan kelas sosial orang lain
dalam masyarakat
3.
Ukuran Objektif
Ukuran obyektif terdiri dari
berbagai variabel demografis atau sosio-ekonomis
yang dipilih mengenai individu yang sedang dipelajari. Ukuran obyektif kelas
sosial terbagi menjadi dua kategori pokok yaitu indeks variabel tunggal dan
indeks variabel gabungan
·
Indeks Variabel Tunggal
Indeks variabel
tunggal hanya menggunakan satu variabel sosial ekonomi untuk menilai
keanggotaan kelas sosial. Beberapa variabel digunakan untuk tujuan sebagai
berikut:
o Pekerjaan, tingkat pendidikan formal seseorang merupakan perkiraan lain bagi
kedudukan kelas sosial yang umum diterima. Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka semakin besar kemungkinan orang tersebut memiliki penghasilan yang tinggi
dan juga kedudukan yang dikagumi atau dihormati.
o Penghasilan, yaitu perorangan atau keluarga merupakan variabel sosial ekonomi lain yang
sering digunakan untuk memperkirakan kedudukan kelas sosial.
o Variabel Lain, yang digunakan sebagai sebuah indeks kelas sosial adalah barang yang
dimiliki. Skema yang paling terkenal dan merupakan alat penilai yang paling
rumit untuk mengevaluasi barang yang dimiliki adalah skala status sosial
chapin.
·
Indeks Variabel Gabungan
Indeks gabungan
secara sistematis menggabungkan sejumlah faktor sosial ekonomi untuk membentuk
satu ukuran kedudukan kelas sosial yang menyeluruh. Indeks ini sangat menarik
untuk diteliti karena dapat menggambarkan dengan lebih baik, kompleknya kelas
sosial dibandingkan indeks variabel tunggal.
Dua
indeks gabungan yang paling penting adalah:
·
Indeks karakteristik status, ukuran gabungan
kelas sosial yang klasik adalah Warner’s Index of Status Characteristic (ISC).
ISC merupakan ukuran tertimbang dari berbagai variabel sosial ekonomi
pekerjaan, penghasilan (jumlah penghasilan), model rumah dan daerah tempat
tinggal (kualitas lingkungan).
·
Skor status social ekonomi, sosio-ekonomic
status score (SES) menggabungkan tiga variabel, penghasilan keluarga dan
tingkat pendidikan. SES ini dikembangkan oleh United states Bureau of The
Census.
Perilaku Anggota Kelas Sosial
-
Profil Gaya Hidup Kelas Sosial
Telah ditemukan
bukti bahwa di setiap kelas sosial ada faktor-faktor gaya hidup tertentu
(kepercayaan, sikap, kegiatan dan perilaku bersama) yang cenderung membedakan
anggota setiap kelas dari anggota kelas sosial lainnya. Untuk memotret
komposisi gaya hidup dari berbagai pengelompokan kelas sosial, kita harus
mengumpulkan dan menyatukan potongan-potongan potret gaya hidup anggota.
-
Gerakan Kelas Sosial
Seseorang tidak
selalu berada dalam kelas sosial yang sama. Kadang kelas sosialnya meningkat
atau menurun dibandingkan dengan orangtuanya. Gerakan naik ataupun turun yang
disebabkan karena tersedianya pendidikan bebas dan berbagai peluang untuk
mengembangkan dan memajukan diri. Namun, proses mobilitas ini berjalan lambat.
-
Pengelompokan Geodemografi
Pada tahun-tahun
belakangan ini ukuran kelas sosial tradisional telah diperbaiki oleh hubungan
antara data geografis dan social-ekonomi konsumen guna menciptakan
pengelompokan geodemografi yang lebih kuat. Dasar pemikiran yang melandasi ini
adalah “orang yang memiliki persamaan dalam suatu hal biasanya berkumpul
bersama-sama”.
-
Konsumen Yang Kaya
Rumah tangga yang
kaya merupakan segmen target yang sangat menarik karena anggotanya memiliki
penghasilan yang dapat memberikan bagian yang lebih besar dari semua
penghasilan mereka yang bebas untuk dipergunakan menurut kemampuan mereka
sendiri.
-
Pengungkapan Media Pada
Konsumen Kaya
Kebiasaan-kebiasaan media orang kaya berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan
media penduduk biasa. Sebagai contoh, orang memiliki penghasilan lebih tinggi
menonton TV lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang yang berpenghasilan
lebih rendah
-
Membagi Pasar Kaya (The
Affuent)
Karena tidak
semua konsumen kaya memiliki gaya hidup yang sama, pemasar telah berusaha
memisahkan berbagai segmen yang penting dalam pasar kaya ini seperti yang telah
dilakukan oleh Mediamark Research, Inc (MRI) yang telah membagi segmen pasar
kaya menjadi:
1.
Well-Feathered
Nests, rumah tangga dengan paling
sedikit satu orang yang memperoleh penghasilan tinggi dan ada anak-anak (37%
dari Upper Deck)
2.
No String
Attached, rumah tangga dengan paling
sedikit satu orang yang memperoleh penghasilan tinggi dan tidak ada anak-anak
(32% dari Upper Deck).
3.
Nanny’s in
Charge, rumah tangga dengan dua orang
atau lebih yang mempunyai penghasilan, tidak ada yang mempunyai penghasilan
tinggi dan ada anak (11% dari Upper Deck).
4.
Two Careers, rumah tangga dengan dua orang atau lebih yang mempunyai penghasilan,
tidak ada yang mempunyai penghasilan tinggi tetapi tidak ada anak (14% dari
Upper Deck).
5.
The Good Life, rumah tangga dengan tingkat kemakmuran tinggi, tanpa adanya orang bekerja
dan kepala rumah tangga yang tidak bekerja (6% dari Upper Deck.
Sedikitnya pesaing pasar lokal, orang kaya pedesaan merupakan segmen bagian pasar kaya yang belum
dijangkau. Orang kaya pedesaan biasa dibagi menjadi empat kategori:
1.
Sub-urban
Transplants, orang-orang yang pindah keluar
kota tetapi masih pulang pergi ke tempat pekerjaan di kota dengan gaji yang
tinggi.
2.
Equity-rich
Sub-urban Expatriates, penduduk kota
yang menjual rumah mereka untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar,
kemudian membeli rumah yang jauh lebih murah di kota kecil dan hidup jauh
berbeda.
3.City Folks with Country Homes, orang kaya
yang suka liburan yang melewatkan musim dingin atau musim panas di
daerah-daerah pedesaan yang indah pemandangannya, terutama di gunung dan
pantai.
4.Welthy Landowners, para petani
dan penduduk asli lain yang kaya yang menjalani hidup senang dari tanahnya.
-
Konsumen Yang Tidak kaya
Orang yang
berpenghasilan rendah atau konsumen kelas bawah (penghasilan kurang dari
$30,000) mungkin merupakan orang-orang yang setia kepada merk dari pada para konsumen yang lebih kaya karena mereka khawatir akan membuat kesalahan
dengan beralih ke merk yang belum mereka kenal.
-
Munculnya Kelas Techno
Kelas ini
muncul karena adanya kemajuan tehnologi. Orang-orang yang yang tidak biasa
dengan atau kurang mempunyai keterampilan komputer disebut “ketinggalan teknologi”. Adanya anggapan bahwa
ketidakmampuan dalam menggunakan teknologi secara memadai berdampak negatif terhadap gaya dan kualitas hidup. Hal ini
berdampak pada terbentuknya “struktur kelas teknologi” yang berpusat disekitar
tingginya keterampilan komputer yang dimiliki seseorang.
-
Penerapan Kelas Sosial Ke
Perilaku Konsumen Yang Dipilih Pakaian, Mode dan Berbelanja
Para anggota
kelas tertentu memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai apa yang mereka
anggap sesuai dengan mode atau selera yang baik. Kelas sosial juga merupakan
variabel yang penting dalam menentukan dimana seorang konsumen berbelanja.
-
Pencarian Waktu Senggang
Keanggotaan
kelas sosial erat hubungannya dengan kegiatan rekreasi dan waktu senggang.
-
Simpanan, Pengeluaran dan
Kredit
Simpanan,
pengeluaran dan pemakaian kartu kredit memiliki hubungan dengan kedudukan kelas
sosial.
-
Kelas Sosial Dan Komunikasi
Pengelompokan
kelas sosial berbeda dari sudut kebiasaan media mereka dan bagaimana
menyampaikan dan menerima komunikasi. Pengetahuan mengenai perbedaan ini
penting bagi para pemasar yang membagi pasar mereka atas dasar kelas-sosial.
D. Persamaan
Perubahan
masyarakat tradisional kearah modern menimbulkan pergeseran peran serta fungsi
lembaga-lembaga lama ke lembaga-lembaga yang baru. Ada yang mempertahankan status quo dan memandang perubahan
sebagai ancaman, namun dilain pihak terdapat golongan elit baru yang
melancarkan pembaharuan.
Pergeseran
ini melahirkan sejumlah teori pelapisan sosial, ada yang menganggap sebagai
sesuatu yang wajar, fungsional dan sebagainya. Tetapi pada hakikatnya pelapisan
mengacu kepada urutan atau tatanan yang hirarkis seperti tinggi versus, unggul
versus biasa, kyai versus wong cilik, sarjana vesus pengangguran. Perbedaan itu
juga mencerminkan pola masyarakat, masyarakat mengatur kedudukan dan peranan
pelaku sosial sesuai dengan pola-pola tersebut.
Indonesia
telah menjalani masa penjajahan selama kurang lebih 350 tahun yang penuh dengan
penderiataan, kurun waktu selama itu telah menguatkan perasaan kesetiakawanan
dan kesadaran akan kesamaan derajat.
Banyak
tradisi yanag mempengaruhi jalan pemikiran manusia seperti sumbangan Yunani,
Islam (teosentris), tradisi humanistik, sampai kepada piagam-piagam mengenai
hak-hak asasi manusia dengan kelayakan martabata, nilai pribadinya, dan
persamaan jalan dalam mengusahakan kemajuan sosial dan taraf yang lebih baik
dan kebebasan yang luas.
Oleh
karena itu, perlu kejelasan tentang pelapisan sosial dan persamaan derajat,
elit dan masa, baik dalam kegiatan maupun sebagai cita-cita atau hubungan
antara keduanya. Agar diketahui mana letak kewajaran fungsi dan rekonstruksi
masyarakat, atau generasi-generasi mendatang agar selamat terhindar dari
bencana konflik dan antagonis.
Pelapisan sosial selalu ada kapanpun
dimanapun didalam masyarakat. Pelapisan sosial terjadi dengan sendirinya dan
sesuatu yang dihargai dalam masyarakat. Pelapisan sosial adalah pembeda antar
warga dalam masyarakat ke dalam kelas kelas sosial secara bertingkat. Pelapisan
sosial juga sebagai pembatas antar warga negara dan perbedaan terjadi dalam
pelapisan sosial karena membedakan derajat sosial dalam masyarakat.
Kelas kelas dalam pelapisan
sosial ada tiga, yaitu kelas tinggi , kelas sedang dan kelas rendah. Pelapisan
sosial juga merupakan perbedaan tinggi dan rendahnya posisi seseorang dalam
kelompoknya, dan dapat dibandingkan dengan posisi seseorang di kelompok lain.
Sebab dari tinggi rendahnya lapisan sosial seseorang itu disebabkan oleh
bermacam macam perbedaan. Seperti contohnya perbedaan ekonomi bisa menentukan
tinggi rendahnya lapisan sosial seseorang.
Seperti sudah di jelaskan tadi pelapisan sosial terjadi
dengan sendirinya. Orang-orang yang menduduki pelapisan sosial tertentu
dibentuk bukan berdasarkan kesenjangan yang disusun masyarakat tetapi berjalan
dengan tersendirinya. Ada pula pelapisan sosial yang dibuat secara sengaja.
Sistem pelapisan ini sengaja untuk dibuat untuk tujuan mengejar tujuan
bersama.dalam pelapisan sosial yang dibuat secara sengaja dibagi menjadi, yang
pertama sistem fungsional dan sistem skala. Contoh-contoh dari pelapisan sosial
adalah seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, otomatis kita
sebagai warga biasa yang memiliki lapisan sosial dibawah mereka kita harus
menghormati dan meghargai mereka.
Kesamaan derajat adalah sifat
perhubungan antara manusia dan lingkungan masyarakat. Sebagai seseorang yang
menjadi anggota masyarakat mempunyai kewajiban dan haknya masing masing baik
kewajiban atau hak terhadap masyarakat maupun kewajiban atau hak terhadap
negara. Kesamaan derajat sudah tercantum didalam UUD 1945 dalam pasal 27 ayat 1
yang berisi mengenai kewajiban dasar dan hak asasi yang dimiliki warga negara
yaitu menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Dijelaskan pada pasal tersebut
bahwa menjunjung tinggi hukum dan pemerintah adalah kewajiban dasar dan hak
asasi yang dimiliki warganegara.
Dalam pasal 27 ayat 2 yang berisi mengenai hak setiap warga
negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Pada ayat
tersebut dimaksudkan sebagai warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak. Selanjutnya adalah pasal 28, ditetaplan
bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, menyampaikan pikiran lisan dan
tulisan. Disini kita memiliki kebebasan berpendapat dan berserikat. Selanjutnya
adalah pasal 29 ayat 2, kebebasan memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh
negara.[9]
III.
Penutup
Dari
uraian mengenai hal diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a) Pemahaman antara stratifikasi sosial
dan kelas sosial seringkali disamakan, karena memang keterkaitan diantara
keduanya, namun disisi lain terdapat perbedaan. Jika stratifikasi sosial
merujuk pada pengelompokan orang ke dalam tingkatan hirarki secara vertikal dan
mengkaji posisi atau kedudukan antar—orang atau kelompok orang dalam keadaan
yang tidak sederajat, maka kelas sosial sebenarnya merujuk pada satu lapisan atau
strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial.
b) Kesadaran kelas adalah sebuah
kondisi yang muncul dikalangan para pekerja sebagai akibat tereksploitasinya
tenaga dan kekuatan mereka oleh kelompok kelas borjuis untuk mewujudkan
masyarakat tanpa kelas.
c) Dalam masyarakat feodal, tolak ukur
kelas sosial selain ditentukan oleh gelar kebangsawanan, juga ditentukan oleh
faktor lain, yaitu kepemilikkan lahan pertanian. Struktur masyarakat Indonesia
masih banyak diwarnai system feodalisme dengan ditandai oleh berbagai macam
symbol yang mempengaruhi prestis seseorang, sehingga tidak mengherankan jika
masih ada sebagian orang yang menempuh jenjang pendidikan dengan tujuan
mendapatkan gelar atau ijazah.
d) Dalam masyarakat modern, sifat
pelapisan sosial lebih dinamis struktur sosial masyarakatnya sangat kompetitif
dan membuka lebih banyak terciptanya dinamika kelas. Ukuran kelas sosialnyapun
semakin kompleks merentang dari ukuran kekayaan kekuasaan, kehormatan sampai
ilmu pengetahuan.
Referensi
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi (Depok: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Univ
Indonesia), 2001
Agus, Bustanudin, Agama dan Fenomena Sosial (Depok:
Penerbit Univ Indonesia), 2010
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Surabaya: PT. Bina Ilmu), 1982
Setiadi, Elly M, Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2011
Lapidrus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Raja Grapindo), 2000
Echols, John, M. Dan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. GramediaPustaka Utama), 2003
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 1995
Abdulah Idi & Toto Tasmara, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Tiara Wacana), 2006
Muhammad Jawad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Tiara Wacana), 2002
Ahmad Syafii Maarif, Intelektualisme
Islam di Indonesia (Bandung: Mizan),1995
Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islami (Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia) ( Bandung: PT Remaja
Rosdakarya), 2006
Hans Fink, Filsafat Sosial, Dari
Feodalisme Hingga Pasar Bebas (Terjemah Sigit
Djatmiko) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003
Hasbulah, Kapita Selekta
Pendidikan Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada),
1996
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu), 1999
Hery Noer Ali & Munzier, Watak
Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani),
2003
Jamali Sahrodi, dkk,Membedah
Nalar Pendidikan Islam (Pengantar Ke Arah Ilmu
Pendidikan Islam) (Cirebon: Cirebon Press), 2005
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan
Islam Intregatif, Upaya Mengintegrasikan Kembali
Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar),
2005
Jusuf
Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan
Islam (Jakarta: Gema Insani Press),
1995
Johan
Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme (Yogyakarta: LKiS),
1996
Muhammad Sirozi, Agenda Strategis
Pendidikan Islam (Yogyakarta: AK GROUP
), 2004
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era
Global, Resistensi Tradisionalis Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2005
Yasmadi, Modernisasi Pesantren
(Jakarta: Ciputat Press), 2002
Yusman
Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada),
1995
Yusuf Amin Faisal, Reorientasi
Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press),1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar