Kamis, 27 November 2014

Lapisan Masyarakat



LAPISAN MASYARAKAT, KESADARAN KELAS, KELAS SOSIAL DAN PERSAMAAN
Oleh; Sarno Hanipudin

       I.            Pendahuluan
            Dalam kehidupan sosial, manusia berdampingan satu sama yang lain sebagai makhluk homo sosius. Homo sosius bermakna bahwa manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya selalu memerlukan orang lain dalam mengarungi dan menjalankan kehidupannya. Dengan demikian, maka manusia dalam status sosial adalah sama “diperlukan dan saling memerlukan”. Bila sedikit bergeser keranah hukum, maka akan tampak sekali bahwa derajat manusia di mata hukum adalah sama. Meskipun seorang jenderal atupun  presiden didepan adalah sama.  
            Akan tetapi dilapangan kehidupan, masih sering sekali didengar adanya ketidaksamaan. Hal ini dapat dilihat dalam perspektif kekuasaan, dimana sudah menjadi teori bahwa pemegang kekuasaan boleh bertindak sekehendak hati terhadap yang dikuasai, model-model yang seperti inilah yang menghasilkan sistem otoriter dalam berkuasa. Belum dalam bidang pendidikan, gaps itu kian terasa dan kentara, yang kaya bisa sekolah dan si miskin tidak bisa sekolah, sehingga beberapa waktu kemarin muncul istilah “orang miskin dilarang sekolah” atau “orang miskin dilarang sakit”. Hal itu semua merupakan gambaran bahwa masalah sosial, masih menjadi persoalan yang rumit.

            Sering kali kita juga melihat perilaku para penguasa yang mendadak “beda” dengan aslinya sebelum menjadi penguasa, hal-hal yang biasa dilakukan menjadi enggan dilakukan karena satu hal; beda status. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal seperti itu akan menjadi persoalan sosial yang nantinya berdampak pada interaksi sosial dan perilaku sosial.
            Jika merujuk kepada teori, Linton dan Sunarto menguraikan bahwa sejak lahir seseorang telah memperoleh sejumlah status tanpa memandang perbedaan antar individu atau kemampuan berdasarkan status ini anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu.[1] Perbedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam sosiologi dinamakan dengan stratifikasi sosial.
            Sedangkan apabila berlari sedikit kearah agama, khususnya Islam, maka akan ditemukan fakta bahwa Islam tidak pernah membeda-bedakan umatnya berdasarkan status sosial, kekayaan ataupun jabatan, melainkan berdasarkan keimanan yang dipegang oleh seseorang. Hal ini dapat dilihat dalam Surah Al-Hujrat ayat 13, bahwa Allah swt menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya dapat saling mengenal dan yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa. Dalam Surah An-Nisa ayat 1 juga disebutkan bahwa Allah swt menciptakan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang banyak, dari asal yang sama.
            Dalam sebuah haditspun pernah mengungkapkan bahwa semua umatnya berasal dari Adam dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. Oleh sebab itu tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab, kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah swt.
            Dengan demikian, jelaslah bahwa agama Islam menuntut persatuan dan persaudaraan umat manusia dan hanya mengakui perbedaan manusia atas dasar ketakwaan. Maka secara ideal Islam tidak menghendaki pengelompokan untuk dicari dan ditonjolkan perbedaan. Adanya perbedaan ras, suku bangsa juga budaya dan bahasa merupakan keniscayaan sebagai satu kenyataan ciptaan Allah, namun semuanya dimaksudkan untuk saling kenal mengenali guna menjamin kerjasama dalam mencapai kemaslahatan hidup.
    II.            Pembahasan
A.    Lapisan Masyarakat
            Stratification berasal dari stratum/strata yang berarti lapisan, merujuk pada ilmu sosiologi, kata statifiation bermakna pada makna pengelompokan orang kedalam tingkatan atau strata dalam hirarki secara vertikal. Selain itu stratifikasi sosial juga membincang mengenai kedudukan, posisi atau hubungan orang antar orang atau kelompok orang dalam keadaan yang tidak sederajat. Maka stratifikasi seringkali dikaitkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.
            Piritim A Sorokin mengatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (Hirarkis). Perwujudannya adalah adanya pelapisan-pelapisan didalam masyarakat. setiap lapisan itu disebut dengan strata sosial. Ditambahkan pula bahwa stratifikasi sosial merupakan ciri yang tetap pada setiap kelompok sosial yangh teratur. Lapisan-lapisan didalam masyarakat memang tidak disebutkan secara jelas batas-batasnya, akan tetapi akan lebih tampak bahwa setiap lapisan akan terdiri atas individu-individu yang mempunyai tingkatan atau strata sosial yang relatif sama.
            Menurut pendapat Bouman, ia berpendapat bahwa stratifikasi sosial adalah golongan manusia dengan ditandai suatu cara hidup dalam kesadaran akan bebrapa hak istimewa yang tertentu dan arena itu menuntut gengsi kemasyarakatan. Sementara itu, Berger sebagaimana dikutip Sunarto menyatakan bahwa stratifikasi sosial sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan bahwahan atas dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.[2]
            Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa strata sosial adalah pembedaan atau penjenjangan anggota masyarakat yang didasarkan pada status atau faktor tertentu yang dimilikinya dan muncul melalui adanya lapisan dalam masyarakat.
            Stratifikasi sosial adalah pelapisan orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan status sosial. Para anggota strata sosial tertentu seringkali memiliki jumlah penghasilan yang relatif sama. Namun lebih yang lebih penting dari itu adalah mereka memiliki sikap, nilai-nilai dan gaya hidup sama. Semakin rendah kedudukan seseorang didalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan sosialnya.[3]   
            Orang-orang yang berasal dari lapisan sosial rendah misalnya, biasanya lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis organisasi apapun. Ada kecenderungan yang kuat, kelompok yang berasal dari lapisan rendah atau masyarakat miskin biasanya lebih menarik diri dari tata karma umum, mereka mengembangkan sub-kultur tersebut yang seringkali berlawanan dengan sub-kultur kelas sosial tertentu.
            Sebab yang mendasari adanya pelapisan sosial dalam masyarakat bukan saja karena adanya perbedaan, tetapi juga karena kemampuan manusia dalam menilai perbedaan itu berdasarkan berbagai kriteria. Artinya bahwa menganggap ada sesuatu yang dihargai maka sesuatu itu menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. sesuatu yang dihargai itu dapat berupa uang atau benda-benda bernilai ekonomis, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam beragama, atau keturunan keluarga yang terhormat.
            Proses terjadinya sistem lapisan-laisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya, atau sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama. Proses terjadinya pelapisan yang terjadi dengan sendirinya berangkat dari kondisi perbedaan kemampuan antar individu atau antar-kelompok sosial.[4] 
            Secara sederhana dapat disebutkan bahwa setiap individu manusia memiliki perbedaan kemampuan dalam memenuhi asset kebutuhan hidupnya, dalam arti bagi kelompok yang memiliki kamampuan lebih dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tentu akan menempati posisi strata sosial yang lebih tinggi daripada kelompok yang memiliki sedikit kemampuan.
            Adapun sistem lapisan sosial yang sengaja disusun biasanya mengacu kepada pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal. Agar dalam masyarakat manusia hidup dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi-bagi dengan tertur dalam suatu organisasi vertikal atau horizontal. Bila tidak, kemungkinan besar terjadi pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.      
            Terjadinya lapisan masyarakat biasanya karena ada tingkat kepandaian, tingkat senior (umur), tingkat kekayaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Sifat sistem masyarakat bisa bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (open social stratification). Bersifat tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain. Baik gerak ke atas maupun gerak ke bawah, dalam sistem ini satu-satunya jalan untuk menjadi anggota adalah dengan kelahiran.
            Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan diantaranya:
1.      Ukuran kekayaan
2.      Ukuran kekuasaan
3.      Ukuran kehormatan
4.      Ukuran keilmuan
            Didalam masyarakat yang samakin modern, perbedaan sosial yang terbentuk dan berkembang didalam struktur masyarakat umumnya tidak lagi didasarkan pada hal-hal yang bersifat adikodrati seperti perbedaan jenis kelamin dan usia.
            Menurut Jeffris dan Ransford, mereka telah membedakan dimensi stratifikasi sosial menjadi tiga macam, yaitu: hirarki kelas sosial atas dasar penguasaan barang dan jasa, kekuasaan dan kewenangan, dan pembagian atas dasar kehormatan dan status sosial.
1)      Hirarki Ekonomi
      Kekayaan dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak, ia akan termasuk lapisan teratas dalam system pelapisan sosial. Demikian pula sebaliknya, yang tidak memiliki kekayaan akan digolongkan kedalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
      Indikator untuk menentukan hirarki kelas berdasarkan ekonomi relatif beragam. Dalam struktur masyarakat kapitalis tentu indikator dari hirarki kelas atas dasar ekonomi dapat dilihat dari jumlah kepemilikan lahan sebagai alat produksi. Artinya kepemilikan lahan pertanian akan lebih berharga daripada kepemilikan barang-barang berharga lainnya. Pola-pola hidup lebih menghargai harta warisan daripada kekayaan yang diperoleh melalui perdagangan atau bisnis.
       Pada masyarakat feodal yang menitik beratkan pada sektor pertanian, kelas sosial dapat dilihat dari pola-pola hubungan antara tuan tanah atau pemilik tanah dan buruh tani yang mengerjakan lahan milik tuan tanah atau petani penggarap, yaitu sekelompok orang yang mengerjakan lahan milik orang lain dengan ijab kabul penyewa atau bagi hasil.
      Akan tetapi, didalam struktur masyarakat kapitalistik, indikator untuk menentukan kedudukan seseorang didalam masyarakat tidak lagi bertumpu pada faktor kepemilikan tanah. Kelas sosial lebih diukur berdasarkan kepemilikan uang sebagai modal produksi didalam suatu perusahaan. Hubungan sosial didalam struktur masyarakat kapitalis diwarnai oleh interaksi antara pemilik perusahaan dan buruh perusahaan yang oleh Marx disebut kaum borjuis dan proletar.
      Struktur masyarakat kapitalis lebih menitikberatkan pada sektor industri daripada pertanian. Sedang yang dimaksud dengan kekayaan adalah segala sesuatu yang menyangkut kepemilikan benda-benda berharga atau asset produksi seseorang atau keluarga.
      Adapun benda-benda berharga dapat dikategorikan sebagai asset ekonomi juga beragam. Dalam masyarakat agraris misalnya, didalam struktur masyarakat perkotaan yang memiliki karakteristik berbeda dengan masyarakat pertanian perdesaan. Kepemilikan pabrik, mobil mewah, rumah yang mentereng, benda-benda elektronik akan menjadi ukuran kepemilikan kekayaan. Lain halnya dengan masyarakat di daerah pesisir yang ukuran terbentuknya stratifikasi sosial tentunya didasarkan pada kepemilikan perahu dan perangkat alat penangkap ikan.
      Selain kepemilikan jumlah benda-benda berharga juga dapat dilihat berapa jumlah orang-orang yang mengerjakan alat-alat produksi seseorang. Artinya, besar kecilnya investasi modal usaha juga sangat menentukan ukuran kekayaan seseorang didalam masyarakat. jika struktur masyarakat yang ada lebih berorientasi pada sektor agraris tentunya makin luas lahan pertanian dan perkebunan akan memerlukan investasi yang lebih besar dibanding dengan sekelompok petani yang memiliki lahan garapan yang sempit. Demikian juga didalam masyarakat industri dan perdagangan, skala investasi didalam dunia usaha atau bisnis yang dijalankan akan menentukan strata sosialnya didalam masyarakat.      
2)      Hirarki Kekuasaan
      Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
      Dalam struktur masyarakat, kekuasaan dan kewenangan selalu terdistribusi secara tidak merata. Artinya, kekuasaan dan kewenangan terdistribusi secara hirarkis vertikal mengerucut bagai bentuk piramida. Makin keatas distribusi kekuasaan dan wewenang makin mengerucut dan makin kecil jumlah orang yang menempatinya. Dengan kata lain, ada sebagain orang yang memperoleh kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar dibanding dengan kelompok lainnya.
      Ketidakmerataan distribusi kekuasaan dan kewewenangan tersebut sangat tergantung pada mekanisme yang berlaku di dalam struktur sebuah masyarakat. masyarakat yang menganut pola-pola feodal distribusi kekuasaan acapkali tidak didasarkan pada kualifikasi seseorang, lebih ditentukan ada faktor historis orang tersebut. Artinya, sekelompok strata sosial seseorang biasanya mengikuti strata orang tuanya. Biasanya pola-pola stratifikasi sosial didalam struktur masyarakat seperti ini bersifat tertutup artinya tidak mudah bagi seseorang atau sekelompok orang berpindah-pindah status sosialnya.
      Perbedaan antara struktur masyarakat feodal dan liberal yang cenderung menghargai asas demokratis berpengaruh mekanisme kekuasaan tersebut dilaksanakan. Pada struktur masyarakat berpola feodal, seringkali ditemukan mekanisme kekuasaan dan kewenangan yang mengarah pada pola-pola yang lebih demokratis, kendati tidak semua sistem sosial masyarakat seperti itu.
      Beda halnya dengan struktur masyarakat yang menganut pola-pola demokratis, dimana kualifikasi seseorang atau sekelompok orang lebih banyak menentukan strata sosial. Artinya semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses kekuasaan dan kewenangan, asalkan mereka memiliki kemampuan dalam pengaksesan tersebut.
      Vilfredo Pareto dkk,[5] membuat rumusan yang menjadi dasar terbentuknya stratifikasi sosial yang berkaitan dengan kekuasaan dan kewenangan politik dalam lima macam, yaitu:
a)      Kekuasaan dan kewenangan politik selalu terdistribusi kedalam masyarakat secara tidak merata, artinya kekuasaan dan kewenangan politik terdistribusi berdasarkan pola-pola hirarkis vertikal mengerucut dari bawah keatas makin mengecil.
b)      Dalam struktur sosial secara sederhana dikelompokan dalam dua kelompok yaitu kelompok yang memiliki kekuasaan dan kewenangan penting dan kelompok masayarakat yang tidak memilikinya.
c)      Secara internal, elit politik bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok.
d)     Elit politik selalu mengatur sendiri kelangsungan hidupnya dan anggotanya berasal dari lapisan masyarakat yang sangat terbatas.
e)      Kelompok elit pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan dari siapapun diluar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang dibuatnya.
3)      Hirarki Status
      Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, orang tua ataupun orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur.
      Max Weber, mengelompokan manusia kedalam kelompok-kelompok status atas dasar ukuran kehormatan. Ia mendefinisikan kelompok status sebagai kelompok yang anggotanya memiliki gaya hidup sosial tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan sosial dan kehormatan sosial tertentu pula. Dalam bentuk sederhana, ia juga membagi stratifikasi atas dasar status masyarakat kedalam dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang disegani atau dihormati dan kelompok masyarakat biasa.
      Biasannya kelompok masyarakat yang terhormat ini menekankan arti pentingnya akar sejarah yang dijadikan dasar pembenar mengapa kelompok mereka memiliki kedudukan yang istimewa didalam masyarakat. seorang keturunan bangsawan biasanya selalu tampil terhormat didalam masyarakat dan beberapa hal tertentu ia menutup diri didalam lingkar kebangsawanan untuk dimasuki oleh kelompok masyarakat biasa sebagai langkah untuk mempertahankan kemurnian trah kebangsawanannya. Pola-pola sosial seperti ini dapat dilihat dalam masyarakat jawa, inggris dan jepang, dimana kelompok kelas bangsawan mengenal pembagian kelompok antara kaum priyai atau ningrat dan wong cilik atau rakyat jelata.  
      Sistem masyarakat feodal banyak diberlakukan pada negara yang berbentuk kerajaan. Dalam struktur masayarakat tersebut raja dan lingkaran kebangsawanannya biasanya menempati kedudukan tertinggi yang mempunyai kekuasaan mutlak. Adapun dalam masyarakat lapisan bawah terdapat petani yang mengabdi pada golongan bangsawan, tuan tanah dan lingkar orang-orang terhormat.
      Atas dasar inilah masyarakat feodal memiliki keyakinan bahwa kepatuhan yang berlebihan itu tidak hanya sekedar mengabdikan dirinya kepada raja tetapi juga dilatarbelakangi akan aksi ngala barokah dan rasa takut akan kualat jika tidak mau mengabdikan dirinya kepada wakil tuhan atau keturunan dewa tersebut. Berangkat dari fenomena inilah munculnya hak-hak istimewa dikalangan kelompok bangsawan.
      Keluarga kerajaan dan lingkar kebangsawanannya pada kenyataannya ialah sama-sama sebagai manusia juga, akan tetapi tingkat kesamaan itu tidak dapat diterima begitu saja ketika ada manusia yang harus disembah atau tunduk pada manusia.
      Kedudukan manusia yang memiliki ikatan kekerabatan Trah Mangkunagaran memiliki konsekuensi sosial dimana orang-orang yang termasuk golongan trah mangkunagaran mendapatkan hak-hak istimewa dalam kehidupannya. Sistem feodalisme sebenarnya bermula dari adanya suatu keyakinan bahwa raja-raja dianggap sebagai wakil dari tuhan dan bahkan ada yang mengklaim dirinya sebagai keturunan dewa.[6]
      Masyarakat yang agraris (Jawa) mengacu kepada kepemimpinan, mengenal pelapisan dalam masyarakat. lapisan bawah adalah “rakyat banyak” atau disebut “wong cilik” atau orang kecil, bukan pegawai, petani, pedagang dan tukan. Adapun lapisan yang berada diatas, yang langsung menyangga kedudukan raja, adalah kaum “priyai” (para yai, karabat raja), priyai digolongkan kedalam berbagai lapisan kepangkatan dan jarak keluarga dengan raja. Sesudah Belanda datang, priyai ini diinfiltrasi dengan siapa saja yang bersedia duduk pada birokrasi pemerintahan jajahan Belanda. Seorang penduduk swasta meskipun kaya masih dianggap kecil.
      Kemakmuran, kekuasan dan peradaban terpusat pada golongan pegawai atas (abdi dalem), hamba raja yang masih percaya kepada daya gaib pendahulunya yang bermanifestasi sebagai dewa penguasa diatas bumi. Dari istana yang dibangun sebagi mikrokosmos alam semesta, kekuasaan mengalir keluar dan turun melalui hirarki para pegawai.
      Ada dua kriteria dalam menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat; pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan pemegang pemerintahan. Kedua, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh posisi seseorang dalam hirarki birokrasi. Seseorang karena mempunyai salah satu atau kedua kriteria itu, dianggap masuk kedalam golongan elit, dan yang diluar golongan elit itu dianggap sebagai rakyat kebanyakan.
      Dari raja, kekuasaan mengalir keluar (kebawah) melalui hirarki pejabat birokrasi yang disebut abdi dalem. Para abdi dalem diberi hak atas tanah dan menarik pajak dari rakyat, sehingga tumbuh subur struktur sosial baru sistem feodalisme. Sampai abad XIX dan awal abad XX pola-pola ini berlangsung ketat dan oleh pemerintah penjajah Belanda dimanfaatkan untuk mengeruk kekayaan negeri ini.
      Selain itu, kelompok masyarakat yang menduduki posisi terhormat, biasanya memiliki gaya hidup yang eklusif. Dalam pergaulan hidup sehari-hari dapat dilihat dalam bentuk pembatasan pergaulan dengan kelompok orang yang statusnya lebih rendah. Anggota kelompok didalam lingkar kebangsawanannya cenderung menjalankan pola-pola endogami, yaitu prinsip perkawinan yang mengharuskan orang tidak mencari jodoh dilingkungan sosialnya sendiri, misalnya lingkungan kerabat, lingkungan sosial atau lingkungan pemukiman. Dan juga menghindari pernikahan dengan kelompok yang statusnya lebih rendah.
      Kelompok masyarakat yang dihormati ini tidak selalu mutlak harus berasal dari keluarga bangsawan, sebab dalam hal tertentu didunia kepesantrenan terdapat kultur dimana keluarga kyai pengasuh pondok pesantren seringkali berada dalam lingkar kelompok orang-orang yang terhormat dan disegani. Peran dan fungsi kyai sebagai kelompok terhormat didalam lingkungan masyarakat santri karena kyai dianggap sebagai figur alim ulama tempat kaumnya untuk bertanya tentang segala hal dan sebagai patron yang dihormati dan ditaati segala petuahnya.
      Dalam salah satu sekte Islam (Syi’ah) juga menghormati Nabi Muhammad saw secara berlebih-lebihan sebagai simbol fanatisme terhadap Trah Ahlul Bait (kerabat nabi Muhammad) yang pada kenyataannya harus diakui bahwa dalam Islam kendati tidak ada pola-pola kehidupan seperti itu, tetapi pada akhirnya terdapat juga. Hal ini data dilihatpada perilaku Syi’ah yang selain mengagungkan Imam Ali juga berpendapat bahwa yang berhak meneruskan tampuk kepemimpinan Islam sebagai khalifah penerus Nabi Muhammad adalah keturunan Nabi sendiri.
      Secara normatif memang diakui bahwa semua umat manusia berkedudukan sama disisi Tuhannya, sedangkan yang membedakan anatara manusia yang satu dengan lainnya adalah kadar kepatuhannya kepada Tuhan. Akan tetapi kenyataan yang ada strata sosial dalam Islam secara sadar atau tidak ternyata juga berlaku pola-pola sosial seperti itu. Posisi sosial orang-orang alim selalu menempati tempat terhormat didalam struktur masyarakatnya.
4)      Hirarki ilmu Pengetahuan
      Ukuran ilmu pengethaun sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam system pelapian sosial masyarakat yang bersangkutan.
      Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat gelar-gelar akademik atau profesi yang disandang oleh seseorang. Misalnya dokter, insinyur, doktor ataupun gelar-gelar profesional-fungsional seperti professor.
      Namun seringkali timbul akibat-akibat dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut dinilai lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Hal ini terlihat misalnya, dari banyaknya orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaannya, mislanya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dll.
Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat
1.      Kedudukan (status)
Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
 Masyarakat pada umumnya mengembangkan 2 macam kedudukan, yaitu:
a.      Ascribed-status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan.
b.      Archieved-status, adalah kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja, kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran. Tetapi terbuka bagi siapa saja tergantung dari berbagi kemampuan.
2.      Peranan (role)
Merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia melaksanakan suatu peranan. Adapun definisi peranan antara lain:
Þ    Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
Þ    Suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat.
Þ    Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
B.     Kesadaran Kelas
            Secara garis besar, meminjam Hegel, Marx membagi kesadaran kelas proletarian atas dua: class in itself/an sich (kelas pada dirinya sendiri), dan class for itself/für sich (kelas untuk dirinya sendiri). Secara konsepsional, class in itself ini merujuk pada apa yang disebut Drapper sebagai “kelas pekerja yang teratomisasi,” yakni kelas pekerja yang tidak terorganisir. Sebagai buruh, ia sadar dirinya berbeda dengan majikannya tidak lebih. Sementara, class for itself adalah kesadaran bahwa keberadaan sosialnya melekat dalam kebutuhan struktur masyarakat kapitalis yang antagonistik, sehingga jika ia ingin kelasnya bebas maka ia harus menghancurkan kapitalisme; tapi penghancuran itu sendiri bukan hanya prasyarat bagi pembebasan kelasnya, tapi pembebasan masyarakan keseluruhan. Dalam karya klasiknya What Is to Be Done?, Lenin membahasakan kesadaran class in itself sebagai kesadaran serikat buruhisme (trade union conciousness), sementara kesadaran class for itself sebagai kesadaran sosial demokrasi (social-democratic conciousness).[7]
            Ralph Miliband membagi kesadaran kelas ini atas empat lapisan. Pertama, kesadaran kelas yang secara akurat dipersepsikan oleh anggota kelas tersebut, yakni individu proletariat. Seorang individu yang merasa dirinya berbeda dengan majikannya bisa disebut telah memiliki kesadaran kelas. Tetapi, menurut Miliband, individu buruh yang berpikir bahwa dirinya adalah bagian dari kelas menengah, misalnya, tidak bisa dikategorikan telah memiliki kesadaran kelas.
            Kedua, kesadaran kelas merujuk pada kepentingan mendesak dari anggota kelas tesebut. Menurut Miliband, kesadaran tingkat pertama dan kedua ini belum tentu saling berinteraksi: misalnya, boleh jadi anggota dari kelas pekerja ini menjadi sadar, bahkan sangat sadar akan kepentingan mendesaknya sebagai kelas proletariat, tanpa menyadari apa sebenarnya kepentingan mendesak yang mereka butuhkan itu. Bahkan, masih menurut Miliband, jika toh dua level kesadaran itu menyatu dalam anggota kelas, hal itu tidak otomatis yang meningkat ke level ketiga kesadaran kelas, yakni kehendak untuk memajukan kepentingan kelasnya. Jadi, sangatlah mungkin bahwa individu buruh memiliki persepsi yang jelas akan kelasnya dan juga kepentingan kelasnya tapi, tidak berkeinginan untuk melakukan apapun untuk memajukan kepentingannya, apapun alasannya. Misalnya, mereka tidak melihat pentingnya organisasi kelas, tidak merasa berkepentingan untuk terlibat dalam protes-protes yang menuntut pemenuhan kebutuhan mendesaknya. Boleh jadi, yang mereka lakukan adalah mencari cara bagaimana agar kepentingan pribadinya lebih didahulukan ketimbang kepentingan kelasnya. Misalnya, siang hari memburuh, malam hari jualan kacang goring di perkampungan buruh.
            Keempat, dan ini yang paling sulit, yakni kesadaran kelas yang dipahami tidak hanya sebatas makna, tidak hanya kesadaran anggota kelas dan kepentingan tertentu mereka, dan tidak hanya kesadaran untuk memajukan kepentingan kelasnya, tidak hanya persepsi untuk memajukan kepentingan mendesak dan terbatas mereka, melainkan kepentingan yang lebih umum, yang lebih global yang tak lain adalah class for itself. Dan karena itu, dalam perspektif Marxis, demikian Miliband, kelas buruh disebut memiliki kesadaran palsu ketika ‘mereka gagal memahami kepentingannya yang dibutuhkan untuk menghancurkan kapitalisme; dimana penghancuran itu sendiri bukan hanya syarat bagi pembebasan kelasnya, tapi juga masyarakat sebagai keseluruhan.
            Sampai di sini kita dihadapkan pada soal lain, bagaimana ceritanya kelas buruh memiliki kesadaran kelas? Kalangan deterministik dan non-Marxis berpendapat bahwa menurut Marx ada garis lurus yang langsung antara posisi kelas dan kesadaran kelas. Karena ia buruh maka otomatis ia memiliki kesadaran kelas proletariat. Begitu mereka menemukan fakta bahwa kelas buruh tidak otomatis melawan penindasan kapital, mereka menyimpulkan bahwa teori kelas Marx tidak benar dan kelas buruh sebagai kelas yang memanggul tugas historis menghancurkan kapital dan kapitalisme hanyalah mitos.
            Pandangan deterministik ini jelas telah mengebiri teori kelasnya Marx. Seperti ditulis filsuf Istvan Meszaros bahwa kesadaran kelas tidak muncul secara tiba-tiba. Tidak juga kesadaran kelas merupakan produk otomatis dari ekonomi, khususnya moda produksi seperti tuduhanya kalangan post-marxis dan anti-marxis. Kata Meszaros, bahkan di bawah kondisi ekonomi yang tengah mengalami krisis atau juga karena propaganda individu yang tercerahkan, adalah mimpi yang utopis untuk mengatakan bahwa kesadaran kelas proletarian akan muncul secara spontan atau langsung. Ada banyak lapisan kesadaran yang saling berinteraksi; satu ketika hal itu menyebabkan kesadaran kelas tertimbun rapat-rapat, di saat lainnya hal itu mempercepat munculnya kesadaran kelas.
            Keadaan ini, secara tak terelakkan membutuhkan keberadaan organisasi – baik dalam bentuk partai konstitusional maupun bentuk-bentuk organisasi perantara lainnya, sesuai dengan kondisi struktur sosial-historis yang ada. Kembali meminjam Drapper, kelas pekerja tidak memiliki kesadaran kelas karena ia tidak terorganisasi. Dengan adanya organisasi atau kelompok berkesadaran ini, kesadaran kelas proletariat dikelola dan diarahkan, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam konteks waktu tertentu.Namun demikian, adalah keliru besar jika kita mengatakan bahwa kesadaran kelompok adalah cerminan dari kesadaran kelas, apalagi mengklaim bahwa organisasi adalah perwakilan kesadaran kelas proletarian.             Keberadaan organisasi bisa diterima atau dibutuhkan sejauh organisasi tersebut mengabdi pada kepentingan kelas proletarian – yakni terus membuka jalan selebar-lebarnya bagi proletariat untuk menghapuskan struktur masyarakat kapitalis yang antagonistik. Dalam bahasa Engels, “kelas pekerja membutuhkan organisasi hanya demi kelancaran perjuangan; jika hanya untuk mengumpulkan orang per orang kelas pekerja tak butuh organisasi.” Inilah makna dari apa yang disebut Meszaros bahwa perkembangan kesadaran kelas adalah sebuah proses yang bersifat dialektik.
C.    Kelas Sosial
            Kelas sosial dapat dianggap sebagai suatu rangkaian kesatuan yaitu serangkaian posisi sosial dimana setiap anggota masyarakat dapat ditempatkan, para peneliti membagi rangkaian kesatuan itu menjadi rangkaian kesatuan itu menjadi sejumlah kecil kelas sosial yang khusus atau strata. Konsep kelas sosial digunakan untuk menempatkan individu atau keluarga dalam suatu kategori kategori sosial.
            Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hirarki status kelas yang berbeda, sehingga para anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang sama dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Pengertian
            Kata ‘kelas’ dalam pengertian sosial sebenarnya masih relatif baru. Menurut Philip P. Wiener, istilah ini baru muncul dalam bahasa Inggris dan Eropa Barat lainnya pada masa revolusi Industri. Dalam era modern, istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Defoe (1728) untuk mendefinisikan ‘kelas dalam masyarakat’ berdasarkan atas pekerjaan dan pendapatannya. Pada setengah abad pertama abad ke-19, misalnya, para sejarawan menggunakan gagasan tentang perjuangan kelas untuk mempelajari evolusi Eropa Modern. Perjuangan antara bangsawan dan borjuasi menjelaskan dengan baik sejarah Eropa. Thierry, Guizot, Mignet, dan Thiers, menggunakan konsep ini untuk memahami sejarah Perancis sejak abad Pertengahan. Sejak tahun 1850, John Wade dan sejarawan Inggris juga telah menggunakan konsep perjuangan kelas ini. Sebelum dekade 1770an, istilah kelas digunakan untuk merujuk pada pembagian kelompok dalam sekolah atau universitas.


Hubungan Kelas Sosial dan Status Sosial
            Mengukur kelas sosial dari ausut status sosial yaitu dengan membatasi kelas sosial dengan banyaknya status yang dipunyai para anggota dibandingkan dengan anggota kelas sosial. Dalam penelitian kelas sosial (terkadang disebut stratifikasi sosial), status sering dianggap sebagai penggolongan relatif para nggota setiap kelas sosial dari faktor-faktor tertentu.
            Sebagai contoh, kekayaan relatif (banyaknya asset ekonomi), kekuasaan (tingkat pilihan atau pengaruh pribadi terhadap orang lain) dan martabat (tingkat pengakuan yang diperoleh dari orang lain) merupakan tiga faktor yang sering digunakan  ketika menilai kelas sosial.
ª      Kelas sosial merupakan bentuk segmentasi hirarkis dan alamiah
Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hirarki, yang berkisar dari status yang rendah sampai yang tinggi. Penggolongan kelas sosial berarti bahwa orang lain sama dengan mereka (dalam kelas sosial yang sama), superior dibandingkan mereka (kelas sosial yang lebih tinggi) maupun inferior dibandingkan mereka (kelas sosial yang lebih rendah)
ª      Kelas sosial dan segmentasi pasar
Keragaman strata kelas sosial menyediakan dasar dalam segmentasi pasar untuk beberapa produk dan jasa. Peneliti konsumen dapat meghubungkan pemakaian produk dengan keanggotaan kelas sosial.
ª      Kelas sosial dan faktor perilaku
Klasifikasi anggota masyarakat ke dalam kelas sosial membuat peneliti untuk mencatat eksistensi dari nilai, tata karma dan pola perilaku anggota dalam setiap kelas sosial.
ª      Kelas sosial sebagai kerangka referensi
Keanggotaan kelas sosial dipakai konsumen sebagai suatu kerangka rujukn (kelompok rujukan) untuk pengembangan sikap dan perilaku.
Kategori Kelas Sosial
            Belum ada kesepakatan diantara para sosiolog berapa banyak pembagian kelas yang diperlukan untuk dapat menggambarkan dengan cukup jelas struktur kelas di Amerika Serikat. Ada yang membagi menjadi dua, tiga sampai sepuluh kelas sosial.
ü  Dua kategori: kerah biru - kerah putih, rendah - atas, rendah - menengah
ü  Tiga kategori: kerah biru - kerah abu-abu, kerah putih, rendah – menengah - atas
ü  Empat kategori: rendah - menengah ke bawah – menengah ke atas – atas
ü  Lima kategori: rendah – kelas pekerja – menengah bawah – menengah ke atas-atas
ü  Enam kategori: atas (upper-upper class) – atas lapisan bawah (lower – upper classes) – menengah lapisan atas (upper-midle class) – menengah lapisan bawah (lower-middle classe) – bawah lapisan atas (upper lower class) – bawah – lapisan bawah (lower-lower classe)
ü  Sembilan kategori: benar-benar rendah – rendah – kelas pekerja – menengah bawah- menengah atas – atas rendah – atas – benar-benar atas
Faktor Yang Mempengaruhi Penentuan Kelas Sosial
            Engel, Bleckwell dan Miniard (1995) mengemukakan pendapat Gilbert dan Kahl yang menyebutkan bahwa ada sembilan variabel yang menentukan status/kelas sosial seseorang, kesembilan variabel tersebut digolongkan kedalam tiga kategori, yaitu:
1.      Variabel Ekonomi
a)      Status pekerjaan
b)      Pendapatan
c)      Harta benda
2.      Variabel Interaksi
a)      Prestis individu
b)      Asosiasi
c)      Sosialisasi
3.      Variabel Politik
a)      Kekuasaan
b)      Kesadaran kelas
c)      Mobilitas
Pembagian Kelas
            Manifesto memaparkan sejumlah fakta historis dari keberadaan kelas-kelas. Pada jaman Romawi kuno kita temukan kelas bangsawan (patricians), ksatria (knights), rakyat jelata (plebeians), dan budak (slaves); pada abad pertengahan, kelas-kelas yang muncul adalah tuan feodal (feudal lords), petani hamba (vassal), pedagang (guild-master), buruh pengrajin harian (journeyman), buruh magang (apprentices), dan pelayan (serfs). Sementara pada masyarakat borjuasi modern, antagonisme kelas-kelas itu tidak lenyap tapi makin mengerucut pada dua kelas besar yang berhadap-hadapan secara langsung: borjuasi dan proletariat[8].
Pengukuran Kelas Sosial
            Meskipun banyak ahli setuju bahwa kelas sosial adalah konsep yang valid dan berguna. Meskipun banyak ahli setuju bahwa kelas sosial adalah konsep yang valid dan berguna, tapi tidak ada pernyataan umum bagaimana mengukurnya. Pendekatan yang sistematis untuk mengukur kelas sosial tercakup dalam berbagai kategori yang luas, meliputi ukuran subyektif, ukuran reputasi, ukuran obyektif dari kelas sosial.
1.      Ukuran Subyektif
      Untuk mengukur kelas sosial dengan pendekatan ini, para individu diminta untuk menaksir kedudukan kelas sosial mereka masing-masing. Klasifikasi keanggotaan kelas sosial yang dihasilkan didasarkan pada persepsi partisipan terhadap dirinya atau citra diri partisipan. Kelas sosial dianggap sebagai fenomena “pribadi” yaitu fenomena yang menggambarkan rasa memiliki seseorang atau identifikasi dengan orang lain. Rasa keanggotaan kelompok sosial ini sering disebut kesadaran sosial.
2.      Ukuran Reputasi
      Pendekatan reputasi untuk mengukur kelas sosial memerlukan informan mengenai masyarakat yang dipilih untuk membuat pertimbangan awal mengenai keanggotaan kelas sosial orang lain dalam masyarakat
3.      Ukuran Objektif
      Ukuran obyektif terdiri dari berbagai variabel demografis atau sosio-ekonomis yang dipilih mengenai individu yang sedang dipelajari. Ukuran obyektif kelas sosial terbagi menjadi dua kategori pokok yaitu indeks variabel tunggal dan indeks variabel gabungan
·         Indeks Variabel Tunggal
       Indeks variabel tunggal hanya menggunakan satu variabel sosial ekonomi untuk menilai keanggotaan kelas sosial. Beberapa variabel digunakan untuk tujuan sebagai berikut:
o   Pekerjaan, tingkat pendidikan formal seseorang merupakan perkiraan lain bagi kedudukan kelas sosial yang umum diterima. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar kemungkinan orang tersebut memiliki penghasilan yang tinggi dan juga kedudukan yang dikagumi atau dihormati.
o   Penghasilan, yaitu perorangan atau keluarga merupakan variabel sosial ekonomi lain yang sering digunakan untuk memperkirakan kedudukan kelas sosial.
o   Variabel Lain, yang digunakan sebagai sebuah indeks kelas sosial adalah barang yang dimiliki. Skema yang paling terkenal dan merupakan alat penilai yang paling rumit untuk mengevaluasi barang yang dimiliki adalah skala status sosial chapin.
·         Indeks Variabel Gabungan
Indeks gabungan secara sistematis menggabungkan sejumlah faktor sosial ekonomi untuk membentuk satu ukuran kedudukan kelas sosial yang menyeluruh. Indeks ini sangat menarik untuk diteliti karena dapat menggambarkan dengan lebih baik, kompleknya kelas sosial dibandingkan indeks variabel tunggal.
Dua indeks gabungan yang paling penting adalah:
·         Indeks karakteristik status, ukuran gabungan kelas sosial yang klasik adalah Warner’s Index of Status Characteristic (ISC). ISC merupakan ukuran tertimbang dari berbagai variabel sosial ekonomi pekerjaan, penghasilan (jumlah penghasilan), model rumah dan daerah tempat tinggal (kualitas lingkungan).
·         Skor status social ekonomi, sosio-ekonomic status score (SES) menggabungkan tiga variabel, penghasilan keluarga dan tingkat pendidikan. SES ini dikembangkan oleh United states Bureau of The Census.
Perilaku Anggota Kelas Sosial
-          Profil Gaya Hidup Kelas Sosial
Telah ditemukan bukti bahwa di setiap kelas sosial ada faktor-faktor gaya hidup tertentu (kepercayaan, sikap, kegiatan dan perilaku bersama) yang cenderung membedakan anggota setiap kelas dari anggota kelas sosial lainnya. Untuk memotret komposisi gaya hidup dari berbagai pengelompokan kelas sosial, kita harus mengumpulkan dan menyatukan potongan-potongan potret gaya hidup anggota.
-          Gerakan Kelas Sosial
Seseorang tidak selalu berada dalam kelas sosial yang sama. Kadang kelas sosialnya meningkat atau menurun dibandingkan dengan orangtuanya. Gerakan naik ataupun turun yang disebabkan karena tersedianya pendidikan bebas dan berbagai peluang untuk mengembangkan dan memajukan diri. Namun, proses mobilitas ini berjalan lambat.
-          Pengelompokan Geodemografi
Pada tahun-tahun belakangan ini ukuran kelas sosial tradisional telah diperbaiki oleh hubungan antara data geografis dan social-ekonomi konsumen guna menciptakan pengelompokan geodemografi yang lebih kuat. Dasar pemikiran yang melandasi ini adalah “orang yang memiliki persamaan dalam suatu hal biasanya berkumpul bersama-sama”.
-          Konsumen Yang Kaya
Rumah tangga yang kaya merupakan segmen target yang sangat menarik karena anggotanya memiliki penghasilan yang dapat memberikan bagian yang lebih besar dari semua penghasilan mereka yang bebas untuk dipergunakan menurut kemampuan mereka sendiri.
-          Pengungkapan Media Pada Konsumen Kaya
Kebiasaan-kebiasaan media orang kaya berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan media penduduk biasa. Sebagai contoh, orang memiliki penghasilan lebih tinggi menonton TV lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang yang berpenghasilan lebih rendah
-          Membagi Pasar Kaya (The Affuent)
Karena tidak semua konsumen kaya memiliki gaya hidup yang sama, pemasar telah berusaha memisahkan berbagai segmen yang penting dalam pasar kaya ini seperti yang telah dilakukan oleh Mediamark Research, Inc (MRI) yang telah membagi segmen pasar kaya menjadi:
1.      Well-Feathered Nests, rumah tangga dengan paling sedikit satu orang yang memperoleh penghasilan tinggi dan ada anak-anak (37% dari Upper Deck)
2.      No String Attached, rumah tangga dengan paling sedikit satu orang yang memperoleh penghasilan tinggi dan tidak ada anak-anak (32% dari Upper Deck).
3.      Nanny’s in Charge, rumah tangga dengan dua orang atau lebih yang mempunyai penghasilan, tidak ada yang mempunyai penghasilan tinggi dan ada anak (11% dari Upper Deck).
4.      Two Careers, rumah tangga dengan dua orang atau lebih yang mempunyai penghasilan, tidak ada yang mempunyai penghasilan tinggi tetapi tidak ada anak (14% dari Upper Deck).
5.      The Good Life, rumah tangga dengan tingkat kemakmuran tinggi, tanpa adanya orang bekerja dan kepala rumah tangga yang tidak bekerja (6% dari Upper Deck.
        Sedikitnya pesaing pasar lokal, orang kaya pedesaan merupakan segmen bagian pasar kaya yang belum dijangkau. Orang kaya pedesaan biasa dibagi menjadi empat kategori:
1.      Sub-urban Transplants, orang-orang yang pindah keluar kota tetapi masih pulang pergi ke tempat pekerjaan di kota dengan gaji yang tinggi.
2.      Equity-rich Sub-urban Expatriates, penduduk kota yang menjual rumah mereka untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar, kemudian membeli rumah yang jauh lebih murah di kota kecil dan hidup jauh berbeda.
3.City Folks with Country Homes, orang kaya yang suka liburan yang melewatkan musim dingin atau musim panas di daerah-daerah pedesaan yang indah pemandangannya, terutama di gunung dan pantai.
4.Welthy Landowners, para petani dan penduduk asli lain yang kaya yang menjalani hidup senang dari tanahnya.
-          Konsumen Yang Tidak kaya
Orang yang berpenghasilan rendah atau konsumen kelas bawah (penghasilan kurang dari $30,000) mungkin merupakan orang-orang yang setia kepada merk dari pada para konsumen yang lebih kaya karena mereka khawatir akan membuat kesalahan dengan beralih ke merk yang belum mereka kenal.
-          Munculnya Kelas Techno
Kelas ini muncul karena adanya kemajuan tehnologi. Orang-orang yang yang tidak biasa dengan atau kurang mempunyai keterampilan komputer disebut “ketinggalan teknologi”. Adanya anggapan bahwa ketidakmampuan dalam menggunakan teknologi secara memadai  berdampak negatif terhadap gaya dan kualitas hidup. Hal ini berdampak pada terbentuknya “struktur kelas teknologi” yang berpusat disekitar tingginya keterampilan komputer yang dimiliki seseorang.
-          Penerapan Kelas Sosial Ke Perilaku Konsumen Yang Dipilih Pakaian, Mode dan Berbelanja
Para anggota kelas tertentu memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai apa yang mereka anggap sesuai dengan mode atau selera yang baik. Kelas sosial juga merupakan variabel yang penting dalam menentukan dimana seorang konsumen berbelanja.
-          Pencarian Waktu Senggang
Keanggotaan kelas sosial erat hubungannya dengan kegiatan rekreasi dan waktu senggang.
-          Simpanan, Pengeluaran dan Kredit
Simpanan, pengeluaran dan pemakaian kartu kredit memiliki hubungan dengan kedudukan kelas sosial.
-          Kelas Sosial Dan Komunikasi
Pengelompokan kelas sosial berbeda dari sudut kebiasaan media mereka dan bagaimana menyampaikan dan menerima komunikasi. Pengetahuan mengenai perbedaan ini penting bagi para pemasar yang membagi pasar mereka atas dasar kelas-sosial.
D.    Persamaan
            Perubahan masyarakat tradisional kearah modern menimbulkan pergeseran peran serta fungsi lembaga-lembaga lama ke lembaga-lembaga yang baru. Ada yang mempertahankan status quo dan memandang perubahan sebagai ancaman, namun dilain pihak terdapat golongan elit baru yang melancarkan pembaharuan.
            Pergeseran ini melahirkan sejumlah teori pelapisan sosial, ada yang menganggap sebagai sesuatu yang wajar, fungsional dan sebagainya. Tetapi pada hakikatnya pelapisan mengacu kepada urutan atau tatanan yang hirarkis seperti tinggi versus, unggul versus biasa, kyai versus wong cilik, sarjana vesus pengangguran. Perbedaan itu juga mencerminkan pola masyarakat, masyarakat mengatur kedudukan dan peranan pelaku sosial sesuai dengan pola-pola tersebut.
            Indonesia telah menjalani masa penjajahan selama kurang lebih 350 tahun yang penuh dengan penderiataan, kurun waktu selama itu telah menguatkan perasaan kesetiakawanan dan kesadaran akan kesamaan derajat.
            Banyak tradisi yanag mempengaruhi jalan pemikiran manusia seperti sumbangan Yunani, Islam (teosentris), tradisi humanistik, sampai kepada piagam-piagam mengenai hak-hak asasi manusia dengan kelayakan martabata, nilai pribadinya, dan persamaan jalan dalam mengusahakan kemajuan sosial dan taraf yang lebih baik dan kebebasan yang luas.
            Oleh karena itu, perlu kejelasan tentang pelapisan sosial dan persamaan derajat, elit dan masa, baik dalam kegiatan maupun sebagai cita-cita atau hubungan antara keduanya. Agar diketahui mana letak kewajaran fungsi dan rekonstruksi masyarakat, atau generasi-generasi mendatang agar selamat terhindar dari bencana konflik dan antagonis.
            Pelapisan sosial selalu ada kapanpun dimanapun didalam masyarakat. Pelapisan sosial terjadi dengan sendirinya dan sesuatu yang dihargai dalam masyarakat. Pelapisan sosial adalah pembeda antar warga dalam masyarakat ke dalam kelas kelas sosial secara bertingkat. Pelapisan sosial juga sebagai pembatas antar warga negara dan perbedaan terjadi dalam pelapisan sosial karena membedakan derajat sosial dalam masyarakat.
            Kelas kelas dalam pelapisan sosial ada tiga, yaitu kelas tinggi , kelas sedang dan kelas rendah. Pelapisan sosial juga merupakan perbedaan tinggi dan rendahnya posisi seseorang dalam kelompoknya, dan dapat dibandingkan dengan posisi seseorang di kelompok lain. Sebab dari tinggi rendahnya lapisan sosial seseorang itu disebabkan oleh bermacam macam perbedaan. Seperti contohnya perbedaan ekonomi bisa menentukan tinggi rendahnya lapisan sosial seseorang.
            Seperti sudah di jelaskan tadi pelapisan sosial terjadi dengan sendirinya. Orang-orang yang menduduki pelapisan sosial tertentu dibentuk bukan berdasarkan kesenjangan yang disusun masyarakat tetapi berjalan dengan tersendirinya. Ada pula pelapisan sosial yang dibuat secara sengaja. Sistem pelapisan ini sengaja untuk dibuat untuk tujuan mengejar tujuan bersama.dalam pelapisan sosial yang dibuat secara sengaja dibagi menjadi, yang pertama sistem fungsional dan sistem skala. Contoh-contoh dari pelapisan sosial adalah seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, otomatis kita sebagai warga biasa yang memiliki lapisan sosial dibawah mereka kita harus menghormati dan meghargai mereka.
            Kesamaan derajat adalah sifat perhubungan antara manusia dan lingkungan masyarakat. Sebagai seseorang yang menjadi anggota masyarakat mempunyai kewajiban dan haknya masing masing baik kewajiban atau hak terhadap masyarakat maupun kewajiban atau hak terhadap negara. Kesamaan derajat sudah tercantum didalam UUD 1945 dalam pasal 27 ayat 1 yang berisi mengenai kewajiban dasar dan hak asasi yang dimiliki warga negara yaitu menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Dijelaskan pada pasal tersebut bahwa menjunjung tinggi hukum dan pemerintah adalah kewajiban dasar dan hak asasi yang dimiliki warganegara.
            Dalam pasal 27 ayat 2 yang berisi mengenai hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Pada ayat tersebut dimaksudkan sebagai warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Selanjutnya adalah pasal 28, ditetaplan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, menyampaikan pikiran lisan dan tulisan. Disini kita memiliki kebebasan berpendapat dan berserikat. Selanjutnya adalah pasal 29 ayat 2, kebebasan memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh negara.[9]
 III.            Penutup
            Dari uraian mengenai hal diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a)      Pemahaman antara stratifikasi sosial dan kelas sosial seringkali disamakan, karena memang keterkaitan diantara keduanya, namun disisi lain terdapat perbedaan. Jika stratifikasi sosial merujuk pada pengelompokan orang ke dalam tingkatan hirarki secara vertikal dan mengkaji posisi atau kedudukan antar—orang atau kelompok orang dalam keadaan yang tidak sederajat, maka kelas sosial sebenarnya merujuk pada satu lapisan atau strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial.
b)      Kesadaran kelas adalah sebuah kondisi yang muncul dikalangan para pekerja sebagai akibat tereksploitasinya tenaga dan kekuatan mereka oleh kelompok kelas borjuis untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
c)      Dalam masyarakat feodal, tolak ukur kelas sosial selain ditentukan oleh gelar kebangsawanan, juga ditentukan oleh faktor lain, yaitu kepemilikkan lahan pertanian. Struktur masyarakat Indonesia masih banyak diwarnai system feodalisme dengan ditandai oleh berbagai macam symbol yang mempengaruhi prestis seseorang, sehingga tidak mengherankan jika masih ada sebagian orang yang menempuh jenjang pendidikan dengan tujuan mendapatkan gelar atau ijazah.
d)     Dalam masyarakat modern, sifat pelapisan sosial lebih dinamis struktur sosial masyarakatnya sangat kompetitif dan membuka lebih banyak terciptanya dinamika kelas. Ukuran kelas sosialnyapun semakin kompleks merentang dari ukuran kekayaan kekuasaan, kehormatan sampai ilmu pengetahuan.

Referensi

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi (Depok: Lembaga Penerbit             Fakultas Ekonomi Univ Indonesia), 2001
Agus, Bustanudin, Agama dan Fenomena Sosial (Depok: Penerbit Univ     Indonesia), 2010
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Surabaya: PT. Bina Ilmu), 1982
Setiadi, Elly M, Kolip, Pengantar Sosiologi  (Jakarta: Kencana Prenada      Media Group), 2011
Lapidrus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Raja Grapindo), 2000
Echols, John, M. Dan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT.        GramediaPustaka Utama), 2003
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa,            Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 1995
Abdulah Idi & Toto Tasmara, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta:   Tiara Wacana), 2006
Muhammad Jawad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,        (Yogyakarta: Tiara Wacana), 2002
            Ahmad Syafii Maarif, Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan),1995
              Ahmad Tafsir,  Filsafat Pendidikan Islami (Integrasi Jasmani, Rohani, dan                                     Kalbu,                  Memanusiakan Manusia) ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya),                            2006
            Hans Fink, Filsafat Sosial, Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas (Terjemah             Sigit Djatmiko) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003
            Hasbulah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo                                             Persada), 1996
            Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu), 1999
            Hery Noer Ali & Munzier, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung                            Insani), 2003
            Jamali Sahrodi, dkk,Membedah Nalar Pendidikan Islam (Pengantar Ke Arah                                    Ilmu Pendidikan Islam) (Cirebon: Cirebon Press), 2005
            Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Intregatif, Upaya Mengintegrasikan                                 Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka                            Pelajar), 2005
             Jusuf Amir  Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani                                            Press), 1995
            Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme                                                   (Yogyakarta: LKiS), 1996
            Muhammad Sirozi, Agenda Strategis Pendidikan Islam (Yogyakarta: AK                               GROUP ), 2004
            Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Global, Resistensi Tradisionalis Islam                          (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2005
            Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Ciputat Press), 2002
             Yusman Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam               Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 1995
            Yusuf Amin Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani                                            Press),1995
           



                                [1] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit  Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004) Edisi III, 83.           
                                [2] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit  Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004) Edisi I, 499.
                                [3] Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada, 2011), 400 
                                [4] Elly M. Setiadi & Usman Kolip..... 400
                                [5] Elly M. Setiadi & Usman Kolip........., 407
                                [6] Elly M. Setiadi & Usman Kolip....., 409
                [7] Monata Mardika Fajar, Kelas Sosial (www.gerakan.com) diakses 3 mei 2012

                [8] Karl Marx, Manifesto
                [9] UUD 1945

Tidak ada komentar:

Posting Komentar